281 pekerja migran menghadapi hukuman mati
- keren989
- 0
Pemerintah diminta lebih proaktif dan tidak hanya menunggu pemberitahuan dari negara terkait
JAKARTA, Indonesia – Sebanyak 59 pekerja migran menunggu eksekusi, sementara 219 lainnya menghadapi hukuman mati.
Menurut Migrant Care, kurangnya deteksi dini oleh pemerintah dan minimnya pemberitahuan dari negara terkait menyebabkan kasus-kasus yang melibatkan pekerja asal Indonesia terlambat ditangani.
Anis Hidayah, direktur eksekutif Migrant Care, mengatakan sebagian besar pekerja migran terancam hukuman mati saat bekerja di Malaysia. Di Negeri Jiran, terdapat 212 pekerja migran yang terancam hukuman mati, 3 di antaranya telah dijatuhi hukuman tetap.
“Di Malaysia kasus narkoba lebih banyak, pembunuhan juga ada, tapi mayoritas kasus narkoba,” kata Anis kepada Rappler, Sabtu 10 Oktober. Narkotika adalah obat bius dan obat-obatan terlarang.
Anis mengatakan, para pekerja migran yang terpidana kasus narkoba di Malaysia awalnya direkrut, kemudian diminta oleh majikannya untuk membawa barang. Belakangan diketahui barang yang diangkut mengandung narkoba.
Berdasarkan temuan tersebut, Anis melihat ada perjumpaan antara sindikat narkoba dan perdagangan manusia. Dia melihat metode yang sama di Tiongkok.
Anis mencontohkan kasus Dwi Wulandari, warga negara Indonesia. Wulandari ditangkap pada 30 September 2012 di Terminal Satu Bandara Internasional Ninoy Aquino, Filipina, karena kedapatan membawa 8 kilogram kokain.
Sementara di Arab Saudi, kata Anis, kasus pembunuhan mendominasi. “Kebanyakan dari mereka terpaksa membunuh majikannya karena akan diperkosa,” ujarnya.
Anis mengatakan, buruh migran dituding memalsukan keterangan saksi saat memberikan kesaksian sehingga terancam hukuman mati. Di Tiongkok, terdapat sembilan pekerja migran yang telah mendapat hukuman tetap, dan 18 orang masih dalam proses tuntutan hukum.
Di negara-negara lain di Iran, Uni Emirat Arab, Qatar, Taiwan dan Singapura, masing-masing satu pekerja migran menghadapi hukuman mati.
Sudah terlambat untuk ditangani
Temuan lain yang diungkap Anis adalah lambatnya pemerintah dalam menangani kasus yang melibatkan pekerja migran.
Anis menanggapi Pemerintah Singapura yang memberikan informasi mengenai kasus-kasus yang melibatkan pekerja migran. Namun di beberapa negara, seperti Arab Saudi dan Malaysia, kasus yang melibatkan pekerja migran baru diketahui setelah diajukan banding.
“Ada yang kedapatan dijatuhi hukuman di pengadilan rendah, pengadilan banding, jadi hanya didampingi. “Kalau diolah seperti itu di tengah-tengah, agak sulit penanganannya,” ujarnya.
Di Arab Saudi, persoalannya lebih rumit. “Sudahlah diumumkan, hanya dilaksanakan saja, kita tidak diberitahu,” ucapnya.
Belum lagi kendala bahasa yang dihadapi para migran. Hampir di semua kasus para pekerja ini tidak ada bantuan atau fasilitas penerjemahan.
Apa yang bisa dilakukan pemerintah?
Menurut Anis, pemerintah sebaiknya mengevaluasi penanganan kasus pekerja migran di Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Ketenagakerjaan. “Mana yang perlu diperbaiki, mana yang perlu diperkuat,” kata Anis.
Misalnya, pemerintah lebih proaktif dengan mengunjungi lembaga pemasyarakatan. Oleh karena itu, tidak perlu menunggu pemberitahuan dari negara yang bersangkutan, ujarnya.
Dia juga merekomendasikan hal itu di sana prosedur operasi standar (SOP) dalam pelayanan. Bagaimana intensifnya mendampingi buruh migran menghadapi proses hukum, termasuk pengacara mana yang harus disewa, ujarnya.
Dan yang terpenting, kata Anis, pemerintah harus transparan terhadap keluarga dan masyarakat. Jadi kita tahu mana yang bisa dijaga ekstra, ujarnya. —Rappler.com
BACA JUGA