• September 16, 2024

5 tahun berlalu, nasib warga Rohingya di Medan masih terkatung-katung

MEDAN, Indonesia – Muhammad Yunus, 37, berusaha keras menahan air mata saat bercerita tentang pahitnya kehidupan yang dijalaninya. Matanya penuh air mata. Suaranya serak.

Dia menundukkan kepalanya sesekali, dengan tenang. Sesaat kemudian, ia dengan lancar kembali menceritakan kisah liku-liku hidupnya sejak terpaksa meninggalkan Myanmar pada tahun 1994.

Yunus mengenang ayahnya yang meninggal pada tahun 2012. Ia tidak bisa menemani ayahnya hingga waktu peristirahatan terakhirnya. Sang ayah yang sedang sakit tidak mendapat perawatan medis karena adiknya tidak berani membawanya ke rumah sakit.

Diakui Yunus, saat ayahnya meninggal, ia sangat ingin kembali ke kampung halamannya di Maungdaw, kota yang dihuni mayoritas Muslim Rohingya di kawasan Rakhine, Myanmar. Tapi apa boleh buat, dia tidak punya uang.

Belum lagi kerusuhan sedang melanda wilayah Rakhine. Muslim Rohingya dibantai oleh milisi Buddha yang didukung oleh pasukan keamanan pemerintah Myanmar. Ribuan anggota minoritas Rohingya dilaporkan dalam kekerasan yang terjadi pada tahun 2012.

(BACA: Kisah Manusia Perahu Rohingya yang Terdampar di Aceh)

Yunus menjadi pengungsi Rohingya di Medan, Sumatera Utara sejak 2010. Bersama sekitar 270 pengungsi Rohingya, Yunus sedang menunggu penempatan di negara ketiga dari Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR). Namun hingga saat ini, belum ada satu pun pengungsi Rohingya di Medan yang mendapat suaka politik.

Pengungsi Rohingya menempati empat “hotel” kelas budget di Medan. Empat “hotel” tempat mereka menginap didanai oleh Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM). IOM juga memberikan biaya hidup setiap pengungsi Rohingya sebesar Rp1,25 juta per bulan. Sedangkan setiap anak menerima Rp500 ribu per bulan.

“Terkadang kami sedih karena menerima pengungsi dari Afghanistan, Somalia, Irak dan beberapa negara lainnya relokasi setelah tinggal di Medan selama satu atau dua tahun,” kata Yunus saat ditemui Rappler, Sabtu 6 Juni 2015 lalu.

“Ketika kami bertanya kepada UNHCR, mereka mengatakan bahwa mereka terus berupaya agar kami mendapatkan suaka di negara ketiga. Kami disuruh bersabar. Tapi sampai kapan kita harus bersabar?”

Juru bicara IOM Indonesia Paul Dillon melalui telepon membenarkan bahwa pihaknya hanya memberikan bantuan logistik kepada pengungsi Rohingya di Medan. “Kami tidak melakukan prosesnya relokasi karena itu kewenangan UNCHR,” ujarnya.

Mitra Salima Suryono, juru bicara UNHCR di Indonesia, yang beberapa kali menghubungi Rappler untuk meminta konfirmasi tentang lambatnya proses relokasi bagi pengungsi Rohingya di Medan mereka tidak menjawab telepon. Ia juga tidak membalas pesan singkat yang dikirimkannya.

Ingin mencoba peruntungan di Australia?

Yunus menceritakan, saat pertama kali kabur dari kampung halamannya pada tahun 1994, usianya baru 16 tahun. Dia terpaksa melarikan diri karena aparat keamanan Myanmar ingin dia melakukan kerja paksa. Dia mengembara di Bangladesh selama dua tahun.

Jika situasi di Maungdaw membaik, Yunus akan kembali ke kampung halamannya. Ia sering bolak-balik Myanmar dan Bangladesh hingga tahun 2010. Ayahnya adalah seorang pengusaha yang memiliki dua perahu nelayan dan dua toko pakaian. Kehidupan Yunus dan sembilan saudara laki-lakinya cukup baik. Dia bisa menyelesaikan sekolah menengah atas.

Kehidupan Jonah berangsur-angsur berubah karena ia tidak bisa bekerja. Selain itu, bisnis ayahnya bangkrut karena sering diteror oleh kelompok milisi Budha yang didukung aparat keamanan Myanmar.

Pada tahun 2010, Yunus memutuskan untuk berangkat ke Australia. Dia menaiki perahu bersama pengungsi Rohingya ke Thailand dari Bangladesh. Lalu pergi ke Malaysia. Yunus baru sebulan berada di Malaysia.

(Pengungsi Rohingya dan impian bertemu keluarga di Malaysia)

Usai membayar agen perjalanan ilegal di Malaysia, Yunus dan sejumlah pengungsi Rohingya menaiki perahu menuju Tanjung Balai, Sumatera Utara. Ia ditangkap petugas imigrasi Medan yang menahannya di Belawan selama 9 bulan. Kemudian petugas IOM membawanya ke Hotel Padang Bulan di Medan.

Kisah Yunus yang ingin mengadu nasib di Australia hampir sama dengan yang dialami sebagian besar pengungsi Rohingya di Medan. Mereka meninggalkan Malaysia dengan perahu. Selama perjalanan di Indonesia, mereka ditangkap oleh petugas imigrasi dan ditahan selama beberapa bulan hingga akhirnya dijemput oleh IOM untuk ditempatkan di hotel.

Muhammad Khan (39 tahun) dan istrinya Marwani (37) serta ketiga anaknya terpaksa meninggalkan Malaysia karena anaknya tidak bisa bersekolah di Negeri Jiran. Mereka ingin mengadu nasib di Australia, pada tahun 2013. Sayangnya, mereka dan pengungsi Rohingya lainnya ditangkap petugas imigrasi saat transit di Sumatera Utara. Beberapa bulan setelah berada di Medan, istrinya melahirkan anak perempuan kembar.

“Anak tertua saya sering bertanya di negara mana kami sebenarnya menjadi warga negara. “Dia juga sering bilang kenapa harus dilahirkan ke dunia ini jika tidak punya harapan masa depan karena belum jelas kewarganegaraannya,” kata Khan yang mengaku istrinya merupakan WNI asal Aceh yang dinikahinya pada tahun 2000. di Malaysia. .

“Kalau anak saya menanyakan hal itu, saya hanya bisa bilang bersabar dan berdoa karena UNHCR sedang berusaha mencari negara ketiga. “Terkadang saya dan istri sering menangis di malam hari saat memikirkan masa depan anak-anak kami,” kata Khan.

Tidak diperbolehkan bekerja

Khan mengaku istrinya tidak menerima biaya hidup dari IOM karena berstatus WNI. Selain dia, ada dua pengungsi Rohingya yang juga mempunyai istri WNI. Mereka setia mendampingi suaminya yang tinggal di Medan dengan segala kebutuhannya.

Pengungsi Rohingya di Medan hanya bisa meninggalkan wilayah sekitar ibu kota provinsi Sumut. Mereka dilarang keluar kota Medan. Pengungsi Rohingya juga tidak diperbolehkan bekerja sehingga mereka hanya duduk di hotel sambil berpikir setiap hari dan berharap suatu saat mereka mendapatkan keajaiban suaka politik di negara ketiga.

(FOTO: Potret Sedih Anak-anak Rohingya di Aceh)

“Burung pun punya sangkar, tapi kami orang Rohingya tidak boleh membangun rumah,” kata Nur Alam (39). Ia tinggal bersama istri dan lima anaknya di Medan sejak empat tahun lalu. Dua anaknya lahir di Medan.

Nur meninggalkan Rakhine yang mayoritas penduduknya Muslim pada tahun 1997 setelah tanahnya disita oleh pemerintah. Ia merantau ke Malaysia untuk bekerja secara ilegal sebagai kuli bangunan di negara tetangga selama 14 tahun.

Saat putra pertamanya berusia tujuh tahun, Nur ingin menyekolahkannya di Malaysia. Namun tidak ada sekolah yang mau menerima anaknya karena status Nur sebagai pengungsi.

Terakhir, Nur ingin membawa istri dan ketiga anaknya ke Australia. Dia membayar agen perjalanan ilegal sebesar 28.000 Ringgit Malaysia untuk biaya keluarganya. Perjalanan menuju Australia melalui Sumatera Utara menggunakan perahu. Namun, Nur dan 13 pengungsi Rohingya ditangkap petugas imigrasi di Medan setelah mereka ditinggalkan tanpa tujuan oleh penyelundup manusia.

Ketika ditanya bagaimana nasib hampir 1.000 pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh dalam tiga gelombang pada Mei lalu, Yunus menjawab: “Mungkin nasib mereka akan sama dengan nasib kami.”

“Kami sebenarnya sangat ingin menjenguk saudara-saudara kami yang diselamatkan nelayan Aceh, namun kami tidak diperbolehkan ke sana. “Saya sangat sedih karena dunia tampak begitu kecil bagi masyarakat Rohingya,” katanya. —Rappler.com

pragmatic play