• October 6, 2024

9 Tahun Lumpur Lapindo, Kapan Ganti Kerugiannya?

Sembilan tahun telah berlalu sejak bencana lumpur Lapindo terjadi pada tahun 2006. Warga Porong, Sidoarjo yang menjadi korban lumpur masih mendapat janji ganti rugi, namun realisasinya masih belum jelas.

Sore itu, Rabu 27 Mei 2015, Hadi Priyanto sedang tidur di bawah pohon di salah satu tanggul Dataran Lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo. Susilo, salah satu rekannya, membangunkannya. “Itu tamunya!” ujar Susilo.

Hadi terbangun, bingung. Ia mengusap mata dan wajahnya serta membersihkannya dari debu yang menempel akibat lumpur kering. Musim panas membuat kawasan tersebut aman dari banjir. Tapi, setiap hari debu beterbangan. Bau khas lumpur dan kandungan minyak di dalamnya pun semakin kuat.

“Tamu” yang dimaksud Susilo adalah warga luar kota yang datang melihat kawasan lumpur Lapindo. Mereka ingin melihat langsung desa, persawahan, dan 3 kecamatan seluas 174 hektare yang berpotensi terendam lumpur. Tak hanya rumah warga yang tertelan lumpur, pabrik, masjid, sekolah, kuburan, taman, hingga jalan tol juga terendam lumpur.

Memasuki tahun ke-9 sejak bencana tanggal 29 Mei 2006, hampir tidak ada lagi yang tersisa di Porong. Daerah tersebut kini telah diratakan dan berubah menjadi ladang lumpur yang sangat besar. Sejauh mata memandang hanya terlihat lumpur kering dengan beberapa bagian retak akibat kepanasan.

“Ayo, Tuan. Pergilah ke tengah semprotan. Hanya Rp 30 ribu. Lumayan jauh kalau jalan kaki, 3 km dari sini. “Ini harga yang pantas,” ucap Hadi kepada salah satu anggota yang datang. Sesaat kemudian, keduanya berkendara bersama menuju titik ledakan.

Hadi merupakan salah satu dari 8.146 orang yang menjadi korban longsor Lapindo 9 tahun lalu. Saat itu, ia tinggal di Desa Jatirejo yang hanya berjarak 100 meter dari pusat ledakan. Ketika lumpur perlahan mulai menenggelamkan desa, dia terpaksa mengungsi dan menjadi pengungsi. Nyawanya terkoyak oleh lumpur. Dia kehilangan pekerjaannya, rumahnya, dan masa depannya.

“Sudahlah bekerja. Pabrik beton tempat saya bekerja juga tenggelam, kata pria berusia 35 tahun itu.

Hampir satu dekade berlalu, kompensasi atas tanah Hadi yang masuk dalam peta terdampak belum juga dibayarkan. PT Minarak Lapindo Jaya sebagai pembayar kompensasi hanya memberinya 20 persen. Padahal, ganti rugi hanya sebatas tanah yang ditinggalinya. Belum termasuk kerugian lainnya, kerugian non-materi seperti kehilangan pekerjaan, suramnya masa depan dirinya dan anak-anaknya.

“Setelah lumpur kami evakuasi. Kemudian berkontraksi untuk bergerak. “Anak-anak sudah lama enggan bersekolah karena stres sebagai penerus korban lumpur,” kata Mustofa, rekan Hadi.

Mustofa, Hadi dan Susilo adalah beberapa orang yang masih bertahan di kawasan lumpur Lapindo. Setelah kehilangan pekerjaan, yang bisa mereka lakukan hanyalah menjadi tukang ojek lumpur Lapindo. Beberapa lainnya harus rela bekerja sebagai kuli bangunan.

“Beruntung kami tidak gila. Saat itu banyak sekali orang gila. Mereka sudah pergi sekarang. Entah sudah meninggal atau sudah dipulangkan ke kampung orang tuanya,” kata Mustofa.

Mustofa kehilangan anak pertamanya saat masih dalam kandungan istrinya. Istrinya mengalami keguguran saat tinggal di kamp pengungsi. Kini anak tunggal Mustofa adalah anak keduanya. Dia berumur 7 tahun. “Dia bahkan tidak punya menang (mengalami) semburan lumpur. Sembilan tahun adalah waktu yang lama,” katanya. Mustofa menyewa rumah di kawasan Gempol, sekitar 10 km dari Porong.

Tahun ini, pemerintah berjanji akan membayar kewajiban kompensasi PT Lapindo Brantas Ing dengan dana penyelamatan dari APBN. Jumlahnya mencapai Rp 827,1 miliar. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan, pencairannya dilakukan menjelang Idul Fitri.

Hadi mendengar berita itu. Namun, dia terlihat tidak antusias. “Dulu pemerintah juga bilang akan dilunasi pada bulan April. Namun hal itu tidak terwujud. Sekarang katanya sebelum Idul Fitri. SAYA TIDAK tahu apakah itu benar atau tidak mengatakan seperti sebelumnya,” katanya.

Wakil Ketua DPRD Sidoarjo Emir Firdaus memahami alasan warga ragu terhadap pemerintah. Menurut dia, ada beberapa poin dalam Keputusan Presiden (kepres) RI Nomor 11 Tahun 2015 tentang Tim Percepatan Penyelesaian Pembayaran dan Jual Beli Tanah dan Bangunan Korban Lumpur yang justru menghambat percepatan pencairan. .

Korban lumpur yang menjadi tukang ojek mengajak tamu melihat episentrum letusan.  Kondisi yang berlumpur membuat mereka harus turun dari sepeda motor dan berjalan kaki.  Foto oleh Agung Putu Iskandar/Rappler

Dia mengatakan, pemerintah pusat antara lain meminta bunga atas dana talangan yang mereka keluarkan. Selain itu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam keputusan presiden tersebut juga meminta jaminan kepada PT Lapindo Brantas atau PT Minarak Lapindo Jaya berupa aset kedua perusahaan tersebut. Tujuannya, jika mereka gagal mengembalikan dana talangan, pemerintah bisa menyita aset tersebut.

Untuk mewujudkannya, Perpres mengarahkan tim percepatan untuk melakukan perundingan dan penandatanganan kesepakatan dengan Lapindo Brantas Inc atau PT Minarak Lapindo Jaya.

Menurut Emir, hal ini menjadi kabar buruk bagi warga. Sebab, kedua perusahaan milik Aburizal Bakrie akan sulit sepakat dengan pemerintah. Proses pembayaran akan memakan waktu lebih lama.

“Itu hanya membuang-buang waktu. Hanya perlu dicairkan terlebih dahulu. Negosiasi dengan Lapindo bisa dilanjutkan setelahnya. Pembayaran harus dilakukan dengan mudah sehingga dapat segera dibayarkan. “Warga sudah terlalu lama menderita,” kata Emir.

Semakin lama pencairan, maka semakin lama pula Hadi, Mustofa, Susilo dan ribuan warga lainnya harus membangun kembali kehidupannya. Janji mencair ibarat lumpur Lapindo saat hujan. Kekacauannya kacau. Bagi mereka, warga negara hanyalah statistik yang diam dan tak bernyawa. — Rappler.com

sbobet