Mode masa kini, racun penggosok beras
- keren989
- 0
Coba lihat isi lemari pakaianmu, apakah ada produk GAP atau Nike yang disimpan?
Jika iya, bisa jadi Anda secara tidak langsung turut menyumbang sampah di Sungai Sitarum.
Laporan terbaru Greenpeace Indonesia Diketahui, PT Gistex – salah satu pemasok produk tekstil dengan merek retail GAP – menjadi salah satu perusahaan yang terindikasi membuang sampah ke Sungai Citarum di Desa Lagadar, Provinsi Jawa Barat.
Untuk tiga dolar, GAP juga enggan berkomitmen untuk membersihkan rantai pasokannya dari praktik-praktik polusi.
GAP bukan satu-satunya perusahaan yang enggan berkomitmen membersihkan rantai pasoknya dari praktik polusi. Siapa sangka pakaian mewah buatan desainer ternama seperti D&G, Giorgio Armani, dan Versace juga kurang memiliki kesadaran untuk membersihkan rantai pasoknya.
Lain halnya dengan Nike, komitmennya untuk membersihkan rantai pasokan bahan kimia berbahaya, belum menunjukkan kemajuan yang menggembirakan. Oleh karena itu, perusahaan yang meraup laba bersih hingga US$698 juta pada akhir tahun lalu ini mendapat predikat Pencuci hijausemacam kebohongan hijau.
Artinya, Nike gagal membuktikan janjinya untuk melaksanakan komitmen yang dibuat pada tahun 2011.
Nike dan GAP adalah dua contoh merek pakaian yang dikalahkan oleh Adidas, Puma, H&M, Uniqlo, Levi’s, Esprit dan Mango. Ketujuh perusahaan tersebut – mulai tahun 2011 hingga 2014 – mengambil inisiatif untuk berkomitmen membersihkan rantai pasokan mereka dari bahan kimia berbahaya. Ini termasuk Burberry, yang akhirnya mengikuti jejaknya tahun lalu komitmen detoks.
(BACA: Model bertopeng menyoroti kerusakan lingkungan di Indonesia)
Namun komitmen ini tidak serta merta membuat seluruh pakaian yang diproduksi oleh merek-merek tersebut bebas dari bahan kimia berbahaya. Perubahan tidak terjadi dengan cepat karena dibutuhkan banyak waktu dan upaya luar biasa untuk mentransformasikan kebijakan ke implementasi di gurita bisnis mereka.
Komitmen dikenal sebagai Mode bebas racun 2020 Hal ini merupakan komitmen untuk menghilangkan penggunaan bahan kimia berbahaya, dan menghentikan pembuangan limbah berbahaya dari seluruh rantai pasokan pada tanggal 1 Januari 2020.
Mengapa ini penting bagi kami?
Karena pakaian kerenmu itu bisa mencemari air minummu sendiri!
80% sumber air minum di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) berasal dari Sungai Citarum. Sedangkan Citarum menyandang predikat sebagai sungai terkotor di dunia, antara lain karena pabrik tekstil membuang limbahnya ke sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Barat.
Bagaimana pemerintah bisa membiarkan sungai yang menjadi sumber air baku menyuplai air paling kotor di dunia?
Lebih dari itu, Sungai Citarum memiliki fungsi penting dalam pembangunan perekonomian, tidak hanya bagi masyarakat sekitar Citarum yang berprofesi sebagai petani atau nelayan, tetapi juga bagi perekonomian nasional.
(BACA: Saatnya Selamatkan Sungai Citarum)
Wilayah Sungai Citarum saat ini didominasi oleh industri manufaktur seperti tekstil, bahan kimia, kertas, kulit, logam, farmasi dan produk makanan dan minuman. Industri TPT di sepanjang Citarum berkontribusi hingga 65% terhadap industri TPT nasional, sedangkan seluruh industri di sepanjang Citarum menyumbang hingga 20% Produk Nasional Bruto (GNP) Indonesia.
80% sumber air minum di Jabodetabek berasal dari Sungai Citarum. Sedangkan Citarum menyandang predikat sungai terkotor di dunia, karena pabrik tekstil membuang limbahnya di sini.
Seperti halnya revolusi industri di negara maju, industrialisasi di Indonesia juga menimbulkan permasalahan lingkungan yang tidak terkendali. Pada tahun 2007, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jawa Barat merilis data 359 perusahaan di empat wilayah administrasi sepanjang Sungai Sitarum Hulu, yang memberikan kontribusi besar terhadap pembuangan arsen, kadmium, kromium, timbal, tembaga dan seng di tahun 2007. badan sungai.
Bahkan di beberapa daerah ditemukan kromium heksavalen (Cr6+), tembaga (Cu), seng (Zn), timbal (Pb), merkuri (Hg), mangan (Mn) dan besi (Fe) dalam konsentrasi berbahaya. Pencemaran logam berat dari industri tekstil berasal dari proses pencelupan dan pencetakan.
Sementara itu, proses pemurnian juga menghilangkan senyawa organologam seperti antijamur, antibau, dan alat pemadam api yang kemungkinan besar mengandung timbal, antimon, dan seng.
Apa manfaat polusi logam ini selain membantu menghasilkan pakaian paling lucu di lemari kita? Konsentrasi logam berat yang tinggi dapat membunuh organisme yang tidak toleran terhadap logam berat, sebaliknya kadar logam berat yang rendah dapat mengganggu fisiologi, metabolisme atau merusak organ.
Logam berat merupakan bahan kimia yang mematikan, orang yang terpapar logam berat karsinogenik dalam jangka panjang dapat terkena kanker jaringan.
Faktanya, kita tidak hanya meminum air olahan dari Citarum saja, tetapi juga mengonsumsi sumber makanan yang bergantung pada air Citarum, salah satunya adalah beras produksi Rancaekek.
Lumbung padi Rancaekek, sejarahmu sekarang
Kawasan Kecamatan Rancaekek merupakan salah satu kawasan persawahan terluas di Kabupaten Bandung, namun sejak tahun 1978 pencemaran semakin tidak terkendali sehingga menurunkan produktivitas lahan, dan tidak jarang pemilik lahan mengalihfungsikan lahannya karena gagal panen.
Sawah terkontaminasi seluas ± 415 Ha yang tersebar di empat wilayah desa, yaitu Desa Linggar (120 Ha), Desa Sukamulya (40 Ha), Desa Jelegong (175 Ha), dan Desa Bojongloa (80 Ha).
Pusat Penelitian Tanah Kementerian Pertanian melakukan observasi sifat-sifat tanah di Kecamatan Rancaekek pada tahun 2000. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan natrium dan daya hantar listrik akibat akumulasi logam berat di daerah tersebut.
Satu dekade kemudian, pada tahun 2011, BPLHD Provinsi Jawa Barat juga melakukan uji kualitas tanah di wilayah yang sama. Uji kualitas tanah menunjukkan bahwa produktivitas sawah terkontaminasi menurun kurang dari 10% dibandingkan tanah tidak terkontaminasi, atau 0,5 ton-0,6 ton/ha dari 5 ton-7 ton/ha.
Padahal Pemkab Bandung menargetkan produksi gabah kering giling (GKG) sebanyak 508.241 ton pada tahun ini. Sedangkan produksi GKG pada Januari 2015 mencapai 49.855 ton, dimana 40,41% atau 20.148 ton berasal dari Rancaekek.
Bayangkan jika 203.296 ton GKG di Kabupaten Bandung atau 40% dari total target produksi berasal dari Rancaekek dan merupakan campuran beras yang terkontaminasi logam berat.
Kemudian MPD yang terkontaminasi didistribusikan ke konsumen. Dengan demikian, konsumen pun tanpa sadar mengonsumsi pencemaran logam berat yang mengendap pada beras.
Jika hal ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin tragedi Minimata bisa terjadi di Indonesia. Minimata adalah sebuah kota di Jepang. 900 orang meninggal di Minimata pada tahun 1956 dan 2.265 orang menderita kontaminasi merkuri. Diperkirakan butuh waktu 50 tahun agar ikan di Minimata bisa aman dikonsumsi kembali.
Penelitian telah dilakukan, bahkan oleh pemerintah Indonesia sendiri. Namun, adakah upaya mitigasi atas kejadian yang terjadi, atau mungkin upaya preventif agar masalah ini tidak terus terjadi?
Secara umum model kebijakan pengendalian pencemaran air di Indonesia masih bertumpu pada pendekatan regulasi dan pengawasan (komando dan kendali). Melalui pendekatan ini, pemerintah menerapkan standar kualitas dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha, serta melakukan pengawasan dan penegakan hukum.
Kelemahan umum pendekatan ini adalah kurangnya kemampuan mendeteksi pelanggaran serta kemampuan merespons secara cepat dan tegas terhadap pelanggaran yang ditemukan.
Padahal, deteksi pelanggaran sebenarnya bisa dilakukan melalui pelaporan independen oleh masyarakat, bukan sekadar pengawasan pemerintah. Tapi apa yang terjadi jika orang melaporkannya?
Seperti yang dituturkan Adi M. Yadi, Ketua Persatuan Warga Peduli yang berupaya melakukan sosialisasi dan pelestarian lingkungan persawahan warga yang tercemar limbah, Abah Dayat yang melapor kepada pemerintah kota:
“Laporannya banyak, yang dijanjikan hanya datanya saja. Katanya ada kompensasi dari perusahaan, tapi saya juga tidak menerima kompensasi apa pun. Meren duitnamah diberikan kepada palinterweh tua,” ucap Abah Dayat dalam bahasa Sunda. (Sering ada laporan yang hanya sekedar dicatat dan dijanjikan. Katanya ada kompensasi ini dan itu dari perusahaan, tapi Abah tidak pernah mendapat sepeser pun. Mungkin uang itu dimakan orang pintar.)
Baca cerita lengkap tentang Abah Dayat di sini kolom Greenpeace.
Membuang air limbah melalui saluran-saluran liar dengan cara membuang limbah ke tempat yang tidak ditentukan dalam izin dapat digolongkan sebagai tindak pidana. dumping. Namun, pendekatan regulasi dan pengawasan menyulitkan pemerintah daerah untuk membuktikan kejahatan ini.
(BACA: Air Bersih, Riwayatmu Sekarang)
Berdasarkan fakta ini, Greenpeace menilai prinsip “pengendalian polusi” yang diusung pemerintah telah gagal melindungi lingkungan dan manusia. Membatasi jumlah unsur pencemar yang dibiarkan ada tidak dapat menjadi jaminan mengingat banyaknya racun yang terus terakumulasi di alam.
Selain itu, saat ini terdapat lebih dari 150.000 bahan kimia yang beredar yang belum tentu aman, dan industri terus memproduksi sekitar 1.500 bahan kimia baru setiap tahunnya. Sedangkan Indonesia hanya mengatur 264 bahan berbahaya dan beracun (B3).
Karena isi lemari kita berhak atas fashion yang trendy, kekinian dan tidak merusak lingkungan.
Oleh karena itu, harus ada perubahan paradigma dari hanya mengandalkan peraturan pembuangan akhir menjadi mencegah, menghilangkan dan mengganti bahan beracun dari sumber awalnya, atau dengan kata lain menciptakan produksi bersih.
Apalagi pemerintah atau lembaga manapun di Indonesia hingga saat ini belum memiliki database pabrik-pabrik yang membuang limbahnya, kemana dibuangnya dan apa saja limbahnya.
Misalnya, saat ini Republik Rakyat Tiongkok melalui organisasi nirlaba The Institute of Public and Environmental Affairs (IPE) memiliki database polusi untuk memantau aktivitas perusahaan. Data seperti inilah yang dibutuhkan Indonesia.
Haruskah produk fesyen dan makanan kita tetap terkontaminasi?
Tentu saja tidak. Oleh karena itu, pemerintah harus berkomitmen untuk mencapai nihil emisi bahan kimia berbahaya dan beracun, serta menetapkan target dan rencana untuk mencapainya. Selain itu, pemerintah harus memenuhi hak masyarakat atas informasi mengenai pengelolaan bahan kimia berbahaya dan beracun seperti yang dilakukan oleh IPE.
Karena isi lemari kita berhak atas fashion yang trendy, kekinian dan tidak merusak lingkungan. —Rappler.com
Rika Novayanti adalah mantan jurnalis ekonomi Bisnis Indonesia. Ia kemudian bergabung dengan Greenpeace Indonesia. Rika tertarik pada isu lingkungan dan perempuan. Ikuti Twitter-nya @RikaNova atau kunjungi blognya di www.rikanova.com.