• November 25, 2024

Dampak peraturan tarif terhadap maskapai penerbangan dan penumpang

Kementerian Perhubungan menaikkan batas bawah tarif tiket pesawat pada Desember lalu. Kebijakan ini diklaim diperlukan untuk menjaga tingkat keselamatan penerbangan. Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menilai maskapai yang menjual tiket terlalu murah berpotensi mengabaikan aspek keselamatan penerbangan.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah mengkritisi kebijakan ini sejak November. Nawir Messi, Ketua KPPU, menilai penyerahan mekanisme pengawasan keamanan ke mekanisme tarif adalah tindakan yang naif dan tidak tepat.

Tarif tidak menunjukkan tingkat keamanan dan keselamatan dalam industri penerbangan. Setiap maskapai penerbangan – baik yang menawarkan tiket murah atau premium – harus memenuhi standar operasional dan keselamatan yang sama.

Selain masalah keselamatan, apa dampak nyata penerapan batas bawah ini bagi maskapai penerbangan?

Perhitungan batas atas

Sebelum batas bawah diberlakukan, Kementerian Perhubungan sudah terlebih dahulu menetapkan batas atas atau tarif maksimum untuk tiket pesawat domestik kelas ekonomi. Plafon tarif ini diterapkan secara berbeda berdasarkan jenis maskapai penerbangan.

Menurut undang-undang no. 1 Tahun 2009, maskapai penerbangan niaga berjadwal di Indonesia dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan standar pelayanan kepada penumpang: pelayanan penuh, sedangDan tanpa embel-embel/biaya rendah.

Layanan udara pelayanan penuh atau premium adalah maskapai penerbangan yang menawarkan standar pelayanan maksimal. Maskapai penerbangan menengah menawarkan standar layanan menengah, sementara biaya rendah atau maskapai penerbangan bertarif rendah menawarkan standar minimum. Untuk bisa dikategorikan premium, maskapai harus menyediakan fasilitas bagasi 20 kg, serta layanan makanan dan minuman kepada penumpang.

Garuda Indonesia dan Batik Air masuk dalam kategori maskapai premium. Aviastar, Kalstar, Sriwijaya, Transnusa, Trigana, Xpress Air dan Nam Air masuk kategori menengah. Citilink, AirAsia Indonesia, Lion Air, Wings Air dan Susi Air adalah maskapai penerbangan bertarif rendah.

Batasan atas tarif untuk maskapai penerbangan premium, menengah, dan rendah masing-masing sebesar 100%, 90%, dan 85% dari tarif yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri.

Kemudian Kementerian Perhubungan yang saat itu masih dipimpin oleh EE Mangindaan juga menerapkan kebijakan batas bawah tiket pesawat pada 30 September 2014. Oleh Peraturan Menteri No. 51batas bawah ditetapkan sebesar 50% dari batas atas yang telah ditetapkan sebelumnya.

Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa apabila suatu maskapai penerbangan ingin menawarkan tarif lebih rendah dari 50% batas atas, maka harus mendapat persetujuan Direktur Jenderal Perhubungan Udara.

19 November 2014, persentase batas bawah ini direvisi menjadi 30% oleh Jonan.

30 Desember 2014, dua hari setelah jatuhnya AirAsia QZ8501, batas bawah direvisi lagi menjadi 40%. Di sinilah isu rate caps menarik perhatian banyak orang.

Berdasarkan aturan tersebut, ruang gerak tarif maskapai penerbangan akan selalu dikaitkan dengan batas atas yang ditentukan dalam peraturan menteri. Bagaimana cara menghitung batas atas? Berdasarkan uraian Pasal 14 PM No. 51, batas atas dihitung dari biaya operasional penerbangan ditambah margin keuntungan 10% – dinyatakan per penumpang per satuan jarak.

Misalnya, rute dengan jarak 751 hingga 900 km memiliki batas atas Rp. 1.706 per penumpang-km.

Jadi, rute Jakarta-Surabaya (778 km), salah satu rute tersibuk di Indonesia, akan memiliki kisaran harga tiket Rp. 530.800—Rp. 1.327.000 untuk penerbangan premium dan Rp. 451.180—Rp. 1.127.950 untuk penerbangan murah.

Siapa yang dirugikan?

KPPU dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai penerapan batas bawah ini merugikan konsumen dan maskapai tertentu.

Melihat biaya unit dan tarif yang ditawarkan masing-masing perusahaan, maskapai penerbangan bertarif rendah berpotensi lebih terdampak dibandingkan maskapai premium.

Biaya satuan kedua jenis maskapai penerbangan ini sangat berbeda. Unit cost AirAsia Indonesia misalnya berdasarkan laporan keuangan tahun 2013 adalah Rp. 490 per penumpang-km, sedangkan Garuda Indonesia Rp. 946 per penumpang-km.

Harga tiket yang ditawarkan pun beragam tentunya. Pada rute Jakarta-Surabaya, tiket AirAsia Februari 2015 terendah yang dibeli sebulan sebelum keberangkatan adalah sekitar Rp. 382.000, sedangkan Garuda Indonesia sekitar Rp. 696.000.

Perbandingan tarif tiket batas bawah dan atas rute Jakarta-Surabaya

Biaya rendah Pelayanan penuh
Lantai tarif Rp. 451 180 Rp. 530.800
Nilai batas atas Rp. 1.127.950 Rp. 1.327.000

Perbandingan maskapai premium dan maskapai bertarif rendah rute Jakarta-Surabaya

Air Asia Indonesia Garuda Indonesia

Biaya satuan per penumpang-km (2013)

Rp. 490 Rp. 946
Tarif tiket terendah Februari 2015 Rp. 382.000 Rp. 696.000
Melayani Bagasi 15kg

Bagasi 20 kg, makanan/minuman, hiburan

Jika peraturan ini benar-benar berlaku, AirAsia harus menaikkan tarifnya di bawah batas bawah. Garuda tidak, tarif tiketnya antara batas bawah dan atas.

Konsumen AirAsia juga harus membayar lebih mulai dari Rp. 382.000 menjadi Rp. 451 180.

Jadi KPPU dan YLKI benar, batas bawah tersebut merugikan konsumen dan dampaknya akan signifikan mengingat pasar dalam negeri Indonesia merupakan pasar yang sensitif terhadap harga. Jumlah penumpang yang biasanya melakukan perjalanan dengan maskapai bertarif rendah berpotensi menurun.

Berdasarkan data tahun 2013, 45,4 juta dari total 75,7 juta penumpang domestik Indonesia dilayani oleh maskapai penerbangan bertarif rendah.

Nilai fleksibilitas

Penetapan batas bawah suatu barang atau jasa, di atas harga pasar, cenderung menyebabkan kelebihan pasokan – akan ada konsumen yang tidak mampu lagi membeli barang atau jasa tersebut.

“Menetapkan batas bawah suatu barang atau jasa cenderung menyebabkan kelebihan pasokan – akan ada konsumen yang tidak mampu lagi membeli.”

Industri penerbangan di Indonesia saat ini sedang mengalami kelebihan kapasitas, akibat pertumbuhan penumpang yang menurun.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, jumlah penumpang domestik pada tahun 2013 hanya tumbuh sebesar 7%, lebih rendah dibandingkan tahun 2011 dan 2012 yang tumbuh sebesar 16% dan 19%.

Sejauh ini, untuk menyesuaikan kapasitas dan permintaan, strategi utama maskapai ini adalah fleksibilitas tarif.

Tarif tinggi dapat ditawarkan ketika permintaan mendekati kapasitas pesawat penuh, sedangkan tarif rendah dapat ditawarkan ketika permintaan rendah. Maskapai penerbangan memiliki insentif untuk menjual tiket dengan harga sangat murah daripada membiarkan kursi kosong tidak terisi.

Dengan pembatasan tarif, fleksibilitas ini terganggu. Hal ini akan menyebabkan penurunan persentase kursi yang ditempati penumpang (faktor beban), sehingga mengurangi efisiensi penggunaan pesawat.

Murni untuk keamanan?

Kebijakan batas bawah ini diklaim akan membantu meningkatkan margin keuntungan sehingga maskapai dapat menjaga keselamatan penerbangan.

Namun maskapai penerbangan, terutama maskapai berbiaya rendah, berpotensi memperoleh pendapatan lebih sedikit jika kebijakan ini diterapkan dengan baik.

Peraturan tarif mengganggu kemampuan maskapai penerbangan untuk menyesuaikan kapasitas kursi dengan permintaan. Konsumen juga akan dirugikan dengan kenaikan tarif tiket.

Pada akhirnya aturan ini hanya akan membebani industri penerbangan di Indonesia.

Batari Saraswati adalah peneliti di Institut Teknologi Tokyo. Bidang penelitiannya meliputi manajemen dan perencanaan transportasi udara.

Keluaran SDY