Jokowi tentang Paniai: ‘Terlalu sedikit, sudah terlambat’
- keren989
- 0
Arman Dhani mengajak Presiden Joko Widodo belajar dari Presiden sebelumnya Abdurahman ‘Gus Dur’ Wahid. Gus Dur belajar bahwa dengan menjadi presiden, seseorang mempunyai kekuatan lebih untuk menegakkan keadilan.
Sosok Kuranosuke Oishi di film terkenal itu 47 Ronin Produksi tahun 1941 memilih bungkam ketika kehormatannya dihina. Bahkan karakter yang diperankan Chojuro Kawarasaki hanya tersenyum ketika dipermalukan dan dianggap sebagai rekan kriminal. Beberapa tindakan besar tidak memerlukan pengakuan, beberapa tindakan benar memerlukan penjelasan. Namun lebih dari itu, setia pada kemanusiaan dan idealisme adalah tindakan yang paling sulit dilakukan.
Gus Dur melepaskan belenggu prasangka buruk terhadap masyarakat Tionghoa dengan mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang pertunjukan kebudayaan Tionghoa.
Sosok Kuranosuke Oishi mengingatkan saya pada Gus Dur, sosok yang sering disalahpahami sikap dan perkataannya. Kita tahu betapa mendiang mantan Presiden Abdurahman Wahib begitu bertekad menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dibandingkan para pendahulu dan penerusnya. Gus Dur, begitu kita disapa, dalam masa kepemimpinannya yang singkat, banyak memberikan contoh bagaimana akal sehat dan hati nurani harus dijaga.
Gus Dur melepaskan belenggu prasangka buruk terhadap masyarakat Tionghoa dengan mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang pertunjukan kebudayaan Tionghoa. Gus Dur jugalah yang mengembalikan harkat dan martabat kemanusiaan bangsa pada kesempatan tersebut Secangkir kopi bersama Gus Dur yang disiarkan langsung oleh TVRI, 15 Maret 2000. Dalam hal itu, Gus Dur secara terbuka meminta maaf dan akan mengusulkan pencabutan TAP MPRS XXV/1966.
Memang butuh keberanian dan hati yang besar untuk meminta maaf, namun lebih dari itu harus menjadi manusia yang bisa memahami permasalahan kemanusiaan. Hal inilah yang dimanfaatkan Gus Dur dalam upayanya mengatasi konflik di Papua. Alih-alih menggunakan peluru dan senjata, Gus Dur mendekati masyarakat Papua dengan pendekatan dialogis dan memahami keluh kesah mereka sebagai bangsa yang setara. Tidak mungkin terjadi dialog jika salah satu pihak merasa lebih unggul dari pihak lainnya.
Gus Dur belajar bahwa dengan menjadi presiden, seseorang mempunyai kekuatan lebih untuk menegakkan keadilan. Gus Dur sebagai presiden dan individu tidak mempunyai martabat untuk mengakui adanya kejahatan HAM. Dia meminta maaf, mengadili yang bersalah dan mencabut peraturan yang diskriminatif dan menindas.
Ia pun berani membubarkan lembaga-lembaga yang diskriminatif seperti Badan Koordinasi Bantuan Stabilitas Nasional atau Bakorstanas, lembaga yang bertugas memata-matai WNI yang diduga “mencium” PKI. Gus Dur jugalah yang menyerukan dan mendorong WNI yang diasingkan akibat pembantaian tahun 1965 untuk kembali pulang. Gus Dur juga merupakan orang yang berani mengibarkan bendera Bintang Kejora di Papua dengan syarat “tidak lebih tinggi dari merah putih,” ujarnya.
Ia pun berani membubarkan lembaga-lembaga yang diskriminatif seperti Badan Koordinasi Bantuan Stabilitas Nasional atau Bakorstanas, lembaga yang bertugas memata-matai WNI yang diduga “mencium” PKI.
Jadi ketika Joko “Jokowi” Widodo terpilih menjadi presiden, semangat penegakan HAM sangat kuat. Dalam dokumen pendaftaran calon presiden dan wakil presiden yang diunggah KPU ke website www.kpu.go.id, terdapat visi dan misi komitmen penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Bahkan, salah satu poin dari 42 prioritas utama kebijakan penegakan hukum, pasangan ini berkomitmen menyelesaikan kasus kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, penghilangan paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, dan kasus korupsi. Tragedi 1965 Dijelaskan, kasus HAM masa lalu terus menjadi beban politik bangsa Indonesia.
Namun melihat kondisi selama beberapa bulan terakhir, janji tersebut sepertinya masih jauh dari harapan. Selama berbulan-bulan Jokowi menjabat Presiden, ia tidak pernah sekalipun mengunjungi peserta Kamisan yang jaraknya hanya beberapa meter dari tempatnya bekerja. Saat pembantaian lima siswa sekolah terjadi di Paniai, Jokowi bertindak sangat lambat, sedikit terlambat. Dia tidak berbicara sampai beberapa minggu setelah insiden berdarah itu.
Sikap Jokowi seperti biasa hanya bersifat normatif, hanya mengatakan: “Rakyat Papua harus didengarkan”. Didengarkan tanpa ada upaya untuk berdamai menurut saya hanya basa-basi saja. Gus Dur melakukan ‘upaya mendengarkan’ dengan membebaskan tahanan politik di Papua dan melakukan pendekatan ekstrem dengan membuka pintu dialog yang setara. Dalam pidato Natalnya, Jokowi hanya dua kali menyebut Paniai, selebihnya ia hanya berharap.
Jokowi bungkam saat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno melontarkan komentar tak puas terhadap penegakan HAM di masa lalu. Padahal, jika kita mau mengingat dan mencermati, Jokowi sendiri berjanji akan mengkaji ulang UU Peradilan Militer yang pada masa lalu dianggap sebagai sumber pelanggaran HAM. Ini merupakan upaya untuk menghilangkan segala bentuk impunitas yang melindungi tukang daging dan penjahat terhadap kemanusiaan.
Jokowi pernah menulis dalam siaran persnya bahwa dirinya adalah bagian dari Islam rahmatan lil alamin. Islam hidup dan bekerja secara turun temurun di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjunjung UUD 45. Bhinneka Tunggal Ika merupakan anugerah dari Tuhan. Bahwa dia bukan bagian dari kelompok Islam yang seenaknya saja mengkafirkan saudaranya sendiri. Namun apakah ia termasuk golongan umat Islam yang akan diam saja jika hal ini terjadi? Seperti apa yang dilakukan kelompok fundamentalis ekstrem terhadap kelompok minoritas Ahmadiyah dan Syiah?
Jokowi juga tak berkomentar terkait penutupan Gereja GKI Yasmin, serta maraknya pembatalan diskusi dan pemutaran film. Kesunyian. Tentu bukan tugas presiden untuk mengomentari setiap peristiwa. Namun jika Anda berjanji untuk menegakkan keadilan dan menghilangkan impunitas, hal paling sederhana yang dapat Anda lakukan adalah menjamin penyebaran informasi tentang bagaimana peristiwa ’65 terjadi. Jika Jokowi tidak bisa sendiri, lupakan upaya mendamaikan peristiwa tahun 65 karena hal itu tidak mungkin terjadi.
Agak menyesakkan bagi mereka yang menganggap negara hanya memperbolehkan pelarangan pemutaran film Kesunyian, sementara sekelompok orang fanatik secara terbuka mendukung negara yang diperangi ISIS. Di Malang, lembaga sensor film merekomendasikan pelarangan pemutaran film Kesunyian, namun di Semarang pertahanan tablig akbar melawan ISIS bisa tetap lancar. Akankah negara ini memilih untuk mempertahankan pembantaian dengan melarangnya? Kesunyian dan mendukung ISIS?
Saat pembantaian lima siswa sekolah terjadi di Paniai, Jokowi bertindak sangat lambat, sedikit terlambat. Dia tidak berbicara sampai beberapa minggu setelah insiden berdarah itu.
Almarhum Gus Dur pernah menulis artikel indah berjudul Islam dan Hak Asasi Manusia. Ia menawarkan gagasan progresif bahwa hukum Islam harus bergerak selaras dengan zeitgeist. Jika ingin menjadikan Islam sebagai agama yang damai, harus dibarengi dengan keinginan untuk memperbaiki diri. Hal ini, menurut Gus Dur, bermula dari pengakuan adanya pelanggaran HAM yang sangat serius di negara-negara Islam, termasuk di Indonesia.
Jokowi bukan Gus Dur, tidak perlu jadi Gus Dur. Persoalan penegakan hukum dan penghapusan impunitas hanyalah persoalan bersama. Saya yakin Jokowi bisa memenuhi setengah dari janjinya tentang penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
Ketika memilih Menteri Agama Lukman Saifuddin yang berkomitmen pada kebebasan beragama, saya yakin Jokowi punya inisiatif bagus. Namun semua akan sia-sia jika menteri yang bertanggung jawab atas penegakan hak asasi manusia percaya bahwa permasalahan di masa lalu hanya menghambat kemajuan.
Revolusi Spiritual tanpa komitmen implementasi hanya akan menjadi slogan belaka, seperti iklan plester dan sabun mandi. —Rappler.com
Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Penulisannya bergaya satir penuh sarkasme. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.