• September 24, 2024
Jam malam baru di Aceh terhadap perempuan: diskriminatif atau dibenarkan?

Jam malam baru di Aceh terhadap perempuan: diskriminatif atau dibenarkan?

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Aktivis hak asasi manusia angkat bicara, namun pihak berwenang mengklaim hal ini demi kepentingan perempuan itu sendiri.

BANDA ACEH, Indonesia – Setelah jam 11 malam, di jalan-jalan Banda Aceh, ibu kota satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan hukum Syariah Islam, tidak ada perempuan yang terlihat di jalan tanpa orang asing.

Muhrim mengacu pada pria mana pun yang memiliki hubungan darah atau pernikahan.

Pada awal bulan Juni, kafe internet, tempat wisata, fasilitas olah raga dan tempat hiburan diperintahkan untuk menolak layanan kepada perempuan setelah jam 11 malam kecuali didampingi oleh suami atau anggota keluarga laki-laki. Perempuan juga akan dilarang bekerja di bisnis tersebut setelah batas waktu tersebut.

Peraturan tersebut merupakan pembatasan terbaru terhadap perempuan di kota tersebut, di mana anak perempuan juga dilarang mengenakan celana ketat.

Aktivis hak asasi manusia angkat bicara, namun pihak berwenang mengklaim hal ini demi kepentingan perempuan itu sendiri.

‘Perlindungan’

Illiza Sa’aduddin Djamal, Wali Kota Banda Aceh, mengatakan keputusan tersebut “dipolitisasi” dan bertujuan melindungi perempuan dari pelecehan seksual.

“Tujuan kami memberikan perlindungan kepada pegawai perempuan, terutama yang bekerja di bidang-bidang seperti kafe, restoran, warung internet, dan tempat wisata,” ujarnya.

Perempuan yang melanggar peraturan akan ditegur, namun perusahaan yang bersikeras agar karyawan perempuan mereka bekerja di luar jam malam berisiko kehilangan izin usaha mereka.

Menteri Dalam Negeri, yang mempunyai wewenang untuk membatalkan peraturan daerah yang bertentangan dengan undang-undang nasional, juga membela penerapan jam malam.

“Hal ini dalam konteks tingginya angka kejahatan dan keselamatan perempuan di Aceh. Artinya mereka tidak boleh keluar sendirian pada malam hari,” kata Tjahjo Kumolo seperti dilansir Kompas.com.

Ia menambahkan, jam malam tersebut hanya bersifat sementara dan akan dievaluasi setelah dua hingga tiga bulan.

Mengapa tidak mendidik laki-laki?

Namun Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berpendapat bahwa hal tersebut merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

“Kalau kita bicara konstitusi, laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama, termasuk hak politik dan kebebasan berekspresi. Artinya kalau pemerintah menetapkan jam kerja yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, itu diskriminatif karena ada pembatasannya,” kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Masruchah kepada Rappler.

“Tujuannya adalah untuk melindungi, tetapi bukan untuk melindungi. Bagaimana dengan perempuan yang bekerja hingga larut malam sebagai aktivis politik atau jurnalis? Hal ini tidak hanya membatasi pekerjaan, tetapi juga hak mereka untuk berekspresi, terutama karena kita melihat keputusan sering kali diambil pada malam hari. “

Lalu bagaimana seharusnya pemerintah melindungi perempuan?

“Jika pemerintah melihat perempuan sebagai calon korban kekerasan, maka pemerintah harus mendidik calon pelakunya. Jangan sampai perempuan yang sudah menjadi korban menjadi korban lagi,” ujarnya.

Azriana, Ketua Komnas Perempuan, menambahkan bahwa pemerintah harus berhenti mencampuri urusan perempuan.

“Jika niat pemerintah Aceh untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan, seharusnya pemerintah Aceh mendidik masyarakat dan laki-laki untuk menghormati perempuan atau memberikan keamanan di tempat hiburan malam,” ujarnya. – Laporan Adelia Putri dan Agence France-Presse/Rappler.com