Dangkalnya makna pernikahan di Indonesia
- keren989
- 0
Keterkaitan kebijakan poligami PNS di Kementerian Pertahanan menunjukkan betapa dangkalnya makna pernikahan di negara kita.
Belakangan ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan pemberitaan mengenai kebijakan poligami PNS di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) yang dinilai merendahkan perempuan dan tidak manusiawi.
Saya kira itu bukan suatu keharusan, tapi terkesan sebuah keistimewaan yang tidak hanya merendahkan perempuan, tapi juga mempertanyakan makna pernikahan secara umum di Indonesia.
Dalam surat edaran Kementerian Pertahanan no. SE/71/VII/2015, tertulis 3 poin yang memperbolehkan anggota Kementerian Pertahanan laki-laki melakukan poligami dengan catatan khusus jika istri pertama adalah:
- Tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri
- Mengalami cacat fisik atau penyakit yang tidak kunjung sembuh
- Tidak dapat menghasilkan keturunan
Mari kita bahas satu per satu detailnya dan lihat di mana letak kerancuan kebijakan ini yang menunjukkan rapuhnya pemahaman pernikahan di Indonesia.
Tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri
Apa yang dimaksud dengan “kewajiban” seorang wanita? Apakah hanya sebatas tugas di dapur, mengurus anak dan segala urusan rumah tangga?
Membangun rumah tangga di zaman yang serba cepat dan sibuk ini, kini rumah kerap diibaratkan sebagai sarang kosong yang ditinggalkan oleh sepasang suami istri yang bekerja sehari-hari. Tapi apakah itu hal yang buruk?
Mungkin ya. Namun jika karena untuk memenuhi tuntutan hidup, tidak banyak yang bisa dihindari kecuali menerimanya.
Lalu bagaimana dengan pasangan suami istri yang sudah menikah dan mempunyai anak? Apakah mereka kemudian ditinggalkan? Dan salah siapa sehingga mereka diabaikan?
//
Saya merasa tanggung jawab dalam rumah tangga tidak hanya menjadi tanggung jawab perempuan. Karena saya percaya bahwa pernikahan adalah kompromi seumur hidup. Housekeeping adalah kebijakan bersama dan bukan saling tuduh antara siapa yang benar dan salah.
Menyalahkan istri secara sepihak karena tidak mampu menangani semua urusan rumah tangga adalah hal yang sangat aneh dan merupakan jalan pintas untuk keluar dari suatu masalah. Apapun profesi wanita, mau menjadi ibu rumah tangga atau wanita profesional, tidak baik jika seorang wanita dijadikan kambing hitam atas segala hal yang terjadi dalam rumah tangga.
Coba pikirkan: Apakah adil jika perempuan diperbolehkan berpoliandri jika laki-laki dianggap tidak mampu menafkahi istrinya secara materi dan finansial sebagai kepala keluarga?
Oleh karena itu, akan selalu mudah digunakan ketika pria merasa kebutuhan eksternalnya tidak terpenuhi.
Jadi benar apa yang dikatakan Andreas Harsono, bahwa “…sepertinya pernikahan itu hanya soal seks.” Hal-hal yang terasa begitu pribadi harus diselesaikan secara kekeluargaan antara suami dan istri.
Di zaman yang penuh dengan bimbingan, pengertian dan kesabaran merupakan hal yang penting dan wajib dijaga bagi sebuah keluarga. Sebijaksana menuntut kewajiban seperti laki-laki harus melakukan A, sedangkan istri melakukan B, hendaknya hal tersebut dianggap sebagai formalitas belaka, karena perbedaan kewajiban seperti ini tidak memperkokoh sebuah perkawinan, namun hanya melemahkannya.
Tentu saja kuncinya adalah komunikasi.
Mengalami cacat fisik atau penyakit yang tidak kunjung sembuh
Lantas apakah itu bentuk cinta dan tanggung jawab seorang pria ketika istrinya berada dalam situasi yang buruk dan tidak terduga?
Kita sering menonton adegan pernikahan dari film-film Hollywood, di mana sang suami berjanji akan mencintai istrinya baik sehat maupun sakit. Mungkin kita harus mulai melihat adegan ini lebih dari sekedar embel-embel lucu dalam film. Tapi kita juga harus menepati janji seperti ini. Dibutuhkan seseorang yang memiliki hati yang besar untuk menemani pasangannya dalam kesulitan.
Tidak dapat menghasilkan keturunan
Kelahiran kembali atau menghasilkan keturunan dalam perkawinan di Indonesia merupakan suatu hal yang sangat sensitif. Tak heran jika penyakit ini menjadi wabah, terutama di kalangan pasangan yang baru menikah.
Padahal, menunggu kelahiran anak seharusnya menjadi proses yang membahagiakan secara mental, fisik, dan emosional. Namun, tekanan membuat segalanya berbeda.
Di sini lagi-lagi saya melihat seorang perempuan atau perempuan diposisikan seperti orang tua atau pabrik. Ini tidak seperti seorang ibu yang benar-benar menyayangi dan peduli.
Memang ada perempuan yang terlahir mandul, namun keadaan ini jangan sampai menjadikan mereka “kurang” perempuan. Mereka tetaplah wanita seutuhnya dan tidak ada alasan untuk dipermalukan dengan cara apapun.
Selain itu, ada cara lain untuk mempunyai anak selain hamil, yaitu melalui adopsi. Sayangnya, sebagian orang tua yang dikaruniai anak tidak mensyukuri apa yang dimilikinya dengan membuang janin atau bayinya. Lihat saja berita kekerasan dan penelantaran anak yang sering kita lihat di media akhir-akhir ini.
Jika kita memiliki hati yang besar dan memandangnya dari sudut pandang yang berbeda, kita tidak hanya bisa membuat kehidupan rumah tangga kita bahagia, tapi kita juga bisa membuat hidup orang lain lebih mudah dan bahagia.
Intinya, saya berharap laki-laki juga memahami perjuangan perempuan dan selalu mendukung mereka yang berada di bawah tekanan. Tidak pergi, menelantarkan atau bahkan berpikir untuk menikah lagi.
Hal ini juga berlaku bagi kaum perempuan, sebisa mungkin kita mendukung, mendorong dan melayani laki-laki kita dengan ikhlas. Rumah tangga tidak selalu berjalan mulus dan pasti ada tantangannya. Kekuatan, kesabaran, dan keikhlasanmu akan diuji disana.
Saya bertanya-tanya mengapa pernikahan bisa dianggap begitu rumit dan menyebalkan. Perempuan dan laki-laki harus saling melengkapi dan mendukung. Karena itulah tujuan pernikahan, bukan? Ini seharusnya bukan pertarungan ego. —Rappler.com
Ayu Meutia adalah manusia copywriter di sebuah agensi kreatif independen di Jakarta dan pecinta puisi. Kunjungi pemikirannya di adjoemoetia.blogspot.com.
BACA JUGA: