• September 28, 2024

Anak muda Indonesia memilih ‘korupsi’ untuk menghindari berurusan dengan polisi

Kesimpangsiuran penyebutan jabatan Komisaris Jenderal (Pol) Badrodin Haiti menjadi sumber pemberitaan seputar pencalonan Komisaris Jenderal Pol Budi Gunawan. Pemberitaan media dan perbincangan di media sosial sangat intens, apalagi sejak Budi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pemberitaan media yang meliput perkembangan terkini kisruh pengangkatan Kapolri menjadi bahan cuitan di status Twitter dan Facebook, dua media sosial paling populer untuk menyampaikan aspirasi politik dan sosial. Pembicaraan di media sosial dilakukan melalui media siber dan media tradisional untuk mengembangkan isu.

Yang menjadi pusat perbincangan publik, juga di media sosial, masih tertuju pada Presiden Joko “Jokowi” Widodo, sosok kunci yang menentukan apakah Budi Gunawan akan dilantik atau tidak. Jokowi memutuskan untuk menunda (bukan membatalkan) pelantikan Budi Gunawan yang disetujui DPR RI sebagai calon Kapolri. Jokowi memecat Kapolri Jenderal Sutarman dan mengeluarkan keputusan presiden yang memberikan wewenang kepada Wakil Kapolri Badrodin Haiti sebagai Kapolri. Senin (19/1), Wakil Kapolri Badrodin diundang menghadiri rapat kabinet.

Melalui timeline-nya, Iwan Setyawan (@Iwan9S10A), CEO Provetic, lembaga riset dan konsultan media sosial, mengunggah data perbincangan netizen tentang Jokowi melalui akun Twitter. @jokowi_do2.

Akun ini terakhir kali men-tweet pada 22 Agustus 2014, saat Mahkamah Konstitusi mengumumkan telah mengukuhkan kemenangan pasangan Jokowi-JK dalam pemilu presiden. Sejak dilantik sebagai presiden, Jokowi lebih aktif menyampaikan pemikirannya melalui Facebook.

//

Menurut Iwan, sejak 1 November 2014 hingga 15 Januari 2015, terkumpul 1,4 juta tweet tentang Joko Widodo atau rata-rata 19 ribu tweet per hari.

Dari 1,4 juta cuitan tersebut, Jokowi cenderung dibicarakan secara netral. Rata-rata dalam 3 bulan terakhir, sentimen positif Jokowi selalu lebih tinggi dari sentimen negatif (25% vs 17%), per 15 Januari 2015.

Untuk pertama kalinya dalam tiga bulan, pada 15 Januari, sentimen negatif terhadap Jokowi tercatat tertinggi. Iwan, novelis yang pernah menjabat Direktur Internal Client Management, Nielsen Consumer Research, New York, AS selama 10 tahun, mengatakan perbincangan paling dominan sepanjang Januari 2015 adalah soal pencalonan Kapolri (22,497%) disusul topik terkait untuk bahan bakar minyak (BBM).

Pada Jumat (16/1), Jokowi mengumumkan harga bahan bakar baru yang diturunkan agar sesuai dengan harga internasional. Harga baru berlaku mulai Senin (19/1) pukul 00.00 WIB.

Selain pencalonan Kapolri yang kontroversial dan ditentang sebagian masyarakat serta sebagian relawan Jokowi, pembahasan terkait Jokowi juga dipicu oleh tema Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) (14,756%) dan Megawati Soekarnoputri ( 6,782%). Pada 15 Januari, kata “Kapolri”, “Tersangka”, “Jokowi”, dan “Tuhan” masuk dalam empat dari 10. Topik populer Twitter di wilayah Jakarta.

Saat saya hubungi Iwan, dia mengaku tidak memiliki data usia yang mendominasi perbincangan soal Jokowi dan Kapolri. Namun, kita bisa berasumsi bahwa pengguna aktif Twitter adalah generasi muda.

Jadi, hangatnya perbincangan soal Jokowi dan Kapolri banyak didukung kalangan muda. Pembahasan pergantian Kapolri tak lepas dari persoalan rekening gemuk yakni rekening bank milik jenderal polisi yang dianggap mencurigakan oleh masyarakat karena jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan akumulasi gaji seorang jenderal polisi.

Budi Gunawan menjadi salah satu nama yang disebut-sebut terkait RUU Gemuk tersebut. Badrodin Haiti juga. Keduanya menyangkalnya dan berkata “tampak” berdasarkan penyelidikan internal Polri. Artinya, akun “gemuk” mereka dinilai tidak melanggar aturan Polri. Namun Budi Gunawan kini menjadi tersangka korupsi.

Persepsi generasi muda terhadap korupsi

Kekhawatiran generasi muda terhadap nasib Mabes Polri dan persoalan korupsi yang tercermin dari maraknya perbincangan di media sosial tentu sangat menggembirakan. Disadari atau tidak, perbincangan di media sosial menjadi “akademi digital” agar pengguna lebih peka terhadap permasalahan politik, sosial, ekonomi dan hukum. Jangan tanya gosip seputar dunia hiburan dan perkembangan teknologi komunikasi, termasuk perlengkapan terkini. Juga debat klub olahraga favorit.

Bagaimana sebenarnya pandangan generasi muda Indonesia terhadap isu korupsi?

Tahun lalu, Transparency International merilis Survei Integritas Pemuda, sebuah survei mengenai persepsi kaum muda terhadap korupsi. Survei tersebut dilakukan pada paruh kedua tahun 2012 terhadap responden berusia 15-30 tahun di empat negara, yaitu Indonesia, Fiji, Sri Lanka, dan Korea Selatan. Survei tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan generasi muda terhadap korupsi dan integritas, termasuk pengalaman mereka menangani isu korupsi di berbagai lembaga publik.

Hasilnya menarik. Terlepas dari permukaan bahwa isu korupsi semakin menjadi perhatian generasi muda dan antusias mereka untuk berpartisipasi dalam isu pemberantasan korupsi, tingkat integritas mereka berada dalam situasi “krisis”. Sebanyak 57% responden Indonesia menjawab “Ya” ketika ditanya apakah mereka pernah berhubungan dengan percobaan korupsi dalam 12 bulan terakhir. Angka 57% merujuk pada mereka yang ingin menghindari berurusan dengan polisi. Ini merupakan angka tertinggi.

Kaum muda yang disurvei di empat negara menunjukkan kecenderungan bersikap permisif terhadap korupsi jika hal itu menguntungkan mereka. Misalnya saja untuk mendapatkan tempat di sekolah, atau untuk mendapatkan akses terhadap pekerjaan. Di Indonesia, selain menghindari berurusan dengan polisi, tindakan yang bertentangan dengan prinsip integritas juga dilakukan terkait pengurusan dokumen, termasuk dokumen kesehatan dan izin usaha, serta memastikan lulus ujian sekolah.

Tak heran, di mata responden Indonesia, persentase tertinggi lembaga publik yang dinilai memiliki integritas buruk adalah penyelenggara pemerintahan pusat, yakni sebesar 55%. Pemerintah daerah menempati urutan kedua sebagai lembaga yang integritasnya buruk yaitu 30%, disusul lembaga pendidikan negara sebesar 28%, dan kepolisian sebesar 24%.

Sebanyak 80% responden percaya bahwa orang yang berintegritas baik tidak pernah berbohong, dan 75% percaya bahwa orang seperti ini tidak pernah melanggar aturan atau hukum. Tidak kurang dari 72% anak muda yang disurvei di empat negara menyatakan mereka akan melanggar aturan demi kepentingan pribadi, misalnya menerima bantuan dari keluarga dan/atau kenalan untuk mendapatkan pekerjaan.

Sepertiga atau 33% responden mengatakan mereka yang terlibat aksi korupsi dan melanggar aturan berpeluang lebih sukses dalam karier dan bisnisnya.

Di Indonesia, Fiji, dan Sri Lanka, 30% responden mengatakan bahwa memberikan hadiah kecil, termasuk memberikan uang, kepada pejabat atau pejabat publik adalah hal yang wajar. Di Korea Selatan, orang yang menjawab seperti ini mencapai 72%. Artinya memberi tip kepada petugas tidak dianggap korupsi, melainkan diperbolehkan.

Selain data miris di atas, ada hal yang cukup menggembirakan. Sebanyak 50% responden melaporkan bahwa mereka tidak mengalami korupsi, dan 80% ingin ikut serta dalam pemberantasan korupsi dan membangun integritas, meskipun mereka masih ragu apakah aspirasi mereka akan didengar oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Singkatnya, salah satu temuan umum survei ini adalah sikap permisif generasi muda di empat negara, termasuk Indonesia, untuk melanggar aturan, termasuk melakukan korupsi dalam bentuk reward, selama hal itu menguntungkan mereka, apalagi jika bisa. menjadikan mereka lebih kaya.

Hasil lengkap survei integritas ini tersedia baca di sini.

Terdapat kontradiksi antara keinginan generasi muda untuk berpartisipasi dalam kegiatan pemberantasan korupsi dengan sikap mereka sehari-hari ketika berhadapan dengan pihak berwenang. Hal ini tidak lepas dari persepsi bahwa pejabat yang korup masih tinggi, sehingga kita sering berkata dengan sikap, “Kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah?”

Pada Indeks Persepsi Korupsi tahun 2014, Indonesia berada pada peringkat 107. Sedikit membaik dibandingkan tahun lalu, dimana Indonesia berada pada peringkat 114.

Daniel Dudis, direktur senior kebijakan dan akuntabilitas pemerintah Transparency International, memuji upaya pemerintah Indonesia dalam memberantas korupsi pada peluncuran Indeks Persepsi Korupsi, Desember 2014. Menurut Dudis, pemerintahan baru di bawah Jokowi menunjukkan keseriusan pemberantasan korupsi dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengevaluasi calon menteri kabinetnya.

Saat mencalonkan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri, Jokowi tidak melibatkan KPK. Juga dalam penunjukan Jaksa Agung.

Kini semua menunggu komitmen Jokowi, apakah ia akan tetap seperti yang dijanjikan saat kampanye atau malah layu karena pengaruh kepentingan politik praktis dan hasrat kekuasaan? —Rappler.com

Uni Lubis, mantan Pemimpin Redaksi ANTV, menulis blog tentang 100 hari pemerintahan Jokowi. Ikuti Twitter-nya @unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com


Keluaran Sidney