• November 27, 2024
Kontroversi penangkapan lesbian di Banda Aceh

Kontroversi penangkapan lesbian di Banda Aceh

Wali Kota Banda Aceh mengatakan, kedua tersangka lesbian tersebut tidak ditahan, melainkan dilatih

JAKARTA, Indonesia – Penangkapan dua tersangka lesbian di Aceh baru-baru ini menarik perhatian pendiri GAYa Nusantara Dede Oetomo. Ia mengaku kecewa dengan keputusan polisi syariah yang menangkap pasangan tersebut.

“Lesbian tidak boleh dikriminalisasi,” kata Dede kepada Rappler, Senin, 5 Oktober.

Wilayatul Hisbah (Polisi Syariah) Kota Banda Aceh sebelumnya menangkap dua perempuan yang diduga pasangan lesbian. Keduanya kedapatan berpelukan dan berpelukan pada Selasa, 28 September, sekitar pukul 23.00.

Kedua wanita tersebut masing-masing berinisial AS (18 tahun) dan N (19). AS mengaku berasal dari Makassar dan baru tiba di Banda Aceh selama dua hari.

Sedangkan N merupakan warga Gampong Landom, Kecamatan Lueng Bata, Banda Aceh.

Menurut Dede, lesbian harus dibebaskan seperti di negara lain. “Di negara maju itu dibebaskan, bukan dikriminalisasi,” kata Dede.

Kepala Bidang Penegakan Hukum dan Wilayatul Hisbah Islam Kota Banda Aceh Evendi Latif menjelaskan, keduanya ditangkap saat petugas sedang berpatroli di kawasan Ulee Lheue, Banda Aceh. Saat itu, petugas melihat kedua wanita tersebut bertingkah mencurigakan.

“Karena mereka duduk bersebelahan dan berpelukan, petugas langsung memeriksanya dan kami curigai mereka adalah pasangan lesbian.” Bahkan berkata.

Apa alasan penangkapan mereka?

Penjabat Tugas Sehari-hari (Plt) Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal mengatakan, lesbian yang ditangkap polisi tidak ditahan melainkan dilatih untuk mematuhi syariat Islam.

“Semuanya selalu dibangun,” katanya Illiza, pada Rappler Senin.

Menurutnya, pembinaan itu dilakukan agar keduanya taat pada kaidah syariat Islam. “Dalam hidup ada pilihan, menurut aturan syariah hal itu tidak dibenarkan,” ujarnya.

Ia mengatakan lesbian adalah bagian dari moralitas, bukan sekadar pilihan hidup. “Dari segi norma agama dan aturan hukum, saya coba pendalaman sendiri,” ujarnya.

Alasan hukum Islam saja tidak cukup

Aktivis Human Rights Watch Andreas Harsono mengatakan hukum Islam saja tidak cukup. Sebab dalam perjanjian-perjanjian sebelumnya, homoseksualitas tidak dianggap sebagai tindak pidana.

“Dalam Perjanjian Helsinki, baik Indonesia maupun GAM (Gerakan Aceh Merdeka) sepakat, secara hitam dan putih, bahwa Aceh mempunyai hak untuk membendung qanun jinnayat atau hukum pidana,” kata Andreas.

“Dalam perjanjian yang sama disepakati bahwa seluruh peraturan di Aceh tidak boleh bertentangan dengan konstitusi Indonesia atau perjanjian internasional tentang hak-hak sipil dan politik yang biasa disebut ICCPR, di mana homoseksualitas tidak dianggap sebagai kejahatan,” ujarnya.

ICCPR, atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, adalah salah satu perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang paling penting.

Artinya Aceh harus merevisi larangan homoseksualitas, atau Menteri Dalam Negeri harus merevisinya sesuai dengan ketentuan prosedur hukum di Indonesia, kata Andreas kembali.

Sedangkan menurut Dede, dalam hukum Islam, kesalahannya bukan hanya pada perjanjiannya saja, tapi pelaksanaannya juga salah. “Kesalahan awalnya adalah Aceh diberi keistimewaan hukum. Kelompok LGBT menderita,” kata Dede.

GAYa adalah organisasi nirlaba yang bekerja untuk kesetaraan dan kesejahteraan kaum Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks, Bertanya, dan orang-orang dengan beragam orientasi seksual, identitas gender, dan ekspresi.—Rappler.com

BACA JUGA:

slot online pragmatic