• October 7, 2024

Anak-anak menghasilkan karya dari balik jeruji penjara

KARANGASEM, BALI Lembaga Pemasyarakatan Anak Gianyar di Karangasem, Bali, diubah menjadi bioskop mini pada Jumat, 8 Mei. Di salah satu sudut aula, sekitar 25 anak duduk di kursi plastik penjara. Mereka menonton video dokumenter berdurasi 8 menit berjudul Bekerja di balik jeruji besi.

Begitu saya selesai menayangkan film pendek tersebut, saya bertanya kepada mereka. “Bagaimana rasanya?”

Anak-anak terdiam. Kesunyian. Lalu salah satu anak menjawab pelan seperti sedang bergumam. “Baik, paman.”

Aula penjara anak Karangasem kembali hening sejenak. Padahal, awalnya aula itu riuh oleh tawa dan canda anak-anak.

“Lagunya sedih,” kata anak yang lain.

Video amatir yang saya buat ini menggunakan musikalisasi puisi dengan judul masa lalu. Dani (nama samaran), salah satu narapidana, memainkan gitar akustiknya mengiringi puisi Agus (nama samaran).

Berikut bait demi bait puisi Agus:

Harapanku sepertinya hilang. Nafas di hatiku terasa berat. Waktu sepertinya tidak lagi baik. Untuk beberapa alasan.

Aku tidak bisa merasakan kebisingannya lagi. Jantungku sepertinya tidak berhenti berdetak. Segar memudar perlahan. Untuk beberapa alasan.

Berhenti berbicara. Ini sudah berakhir. Sebelum saya mulai.

Petikan gitar Dani terasa sungguh pedih bila mengiringi syair. Kesan suram dan sedih saya dapatkan pada lirik puisi dan permainan gitar sebagai bentuk musikalisasi puisi masa lalu Ini. Hal serupa juga dirasakan anak-anak di Lapas Anak Karangasem.

masa lalu adalah salah satu puisi yang ditulis oleh para narapidana penjara ini. Puluhan anak lainnya telah membuat cerita pendek, buku harian, atau musik seperti Dani.

Beberapa karya tersebut telah terekam dalam karya sastra Di Balik Jeruji besi. Buku setebal 108 halaman ini diluncurkan pada pembukaan Bali Emerging Writers Festival (BEWF) akhir April lalu. BEWF dan Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) menjadi penggagas buku ini.

Buku Di Balik Jeruji besi Buku ini dibuat sebagai bagian dari rangkaian BEWF yang merupakan agenda rutin setiap tahunnya bagi para penulis muda di Bali. Manajer Program UWRF Indonesia I Wayan Juniarta mengatakan, BEWF tahun ini ingin memberikan lebih banyak ruang bagi kelompok marginal. Alhasil, mereka mendampingi anak-anak di penjara untuk menciptakan karya sastra.

Tema BEWF tahun ini Suara-suara yang perlu Anda dengar. Menurut Juniarta, tema yang diangkat adalah memberikan suara kepada kelompok marjinal yang selama ini terlupakan. Anak-anak di penjara hanyalah salah satunya.

“Kami percaya bahwa kemampuan menulis akan meningkatkan kepercayaan diri seseorang untuk mengungkapkan pikiran dan aspirasinya,” kata Juniarta, jurnalis The Jakarta Post.

“Sangat penting untuk memberikan tempat bagi kelompok marginal yang seringkali tidak didengarkan dalam diskusi dan narasi publik,” lanjut Juniarta.

Dari kesulitan menulis hingga menulis panjang

Alhasil, BEWF kemudian mendampingi anak-anak di penjara untuk menghasilkan karya sastra. Selama dua bulan, bersama Sloka Institute dan penulis Bali Cok Sawitri, mereka mengadakan pelatihan sastra di lembaga pemasyarakatan anak. Setiap dua minggu sekali tim fasilitator bolak-balik dari Denpasar ke Karangasem yang berjarak sekitar 1,5 jam perjalanan.

Sloka Institute adalah lembaga pengembangan media, jurnalisme dan informasi tempat saya terlibat. Kami sering menawarkan pelatihan penulisan jurnalistik, khususnya bagi kelompok marginal di Bali.

Mendampingi anak di penjara bukanlah hal yang mudah, menurut Cok Sawitri. “Mengajak menulis karya sastra bukanlah tawaran yang menyenangkan bagi siapa pun yang tidak bisa menulis kreatif di bidang fiksi ini,” ujarnya.

Sulitnya mengundang mereka diperparah dengan rendahnya kemampuan menulis anak. Selama dua bulan pendampingan, anak-anak di Lapas harus menuliskan karyanya masing-masing di buku catatan.

Mereka menulis dengan pena, suatu kegiatan yang sudah lama mereka tinggalkan. Tidak mengherankan jika ada yang tidak bisa menulis. Mengeja nama sendiri itu sulit.

Bagaimanapun, anak-anak pada akhirnya bisa menulis cerita mereka. Ada anak yang awalnya tidak mau menulis sama sekali, lalu mengarang cerita panjang-panjang. Ada yang menulis cerita pendek, prosa, dan puisi.

Berwarna-warni

Hasil karya anak sendiri bermacam-macam. Misalnya saja soal kasus yang menjebloskan mereka ke penjara, pengalaman mereka diperiksa polisi, dan perasaan mereka selama berada di tahanan remaja.

“Kami membebaskan mereka untuk menulis apa pun yang ada dalam pikiran mereka,” kata Luh De Suriyani, fasilitator program.

DMS yang ditangkap karena kasus narkoba menceritakan kisah tersebut dalam tulisannya yang bertajuk Dalam perjalanan menuju gelar saya yang menceritakan pengalamannya saat baru masuk penjara.

Saya hanya melihat sekeliling tembok dan jeruji. Kondisi sel yang kotor dan dingin mulai membuatku takut. Grafiti yang saya baca sepertinya sangat menyedihkan untuk dibaca. Saya tidak tahu siapa yang menulisnya. Suara tetesan air keran yang seolah tak henti-hentinya keluar dari kamar mandi membuatku semakin was-was.

Kebanyakan tulisannya berbentuk narasi mengenai kasus yang mereka hadapi. Namun, ada juga tulisan yang agak vulgar tentang hubungan seksual mereka dengan pacarnya, sesama anak di bawah umur, dan dilanjutkan dengan laporan ke polisi oleh keluarga perempuan tersebut.

Pekerjaan anak-anak di balik penjara memang menjadi pelampiasan bagi anak-anak tersebut. “Semoga apa yang saya tulis ini bisa menjadi pelajaran bagi anak-anak lain di luar sana,” kata Carlie, nama samaran, yang menulis kisahnya sebagai seorang pencuri.

Menurut Carlie, cerpen dan puisi yang ditulis anak-anak ini menjadi bukti bahwa penjara bukanlah sebuah hambatan. “Meski jenazah kita di penjara, kita tetap bisa menghasilkan karya,” ujarnya.

Karya sastra hanyalah salah satu bentuk karya anak di penjara. Sebelumnya mereka juga didampingi oleh Sana Sini Arts Foundation atau lebih dikenal dengan One Dollar for Music (ODFM), dan Sloka Institute. Selama satu tahun, anak-anak belajar tentang musik dan melukis.

Jejak bantuan tersebut tergambar dalam mural warna-warni di dinding Lapas Anak Karangasem. Mereka sendiri membuat mural dengan berbagai gambar di dinding lapangan futsal, di teras rumah, dan di sel tempat mereka sehari-hari dikurung.

Mural kini memberi warna tersendiri antara kegelapan sel dan kisah orang-orang di dalamnya. —Rappler.com

Anton Muhajir adalah seorang jurnalis dan blogger di Bali. Kunjungi blognya di anton.nawalapatra.com dan ikuti Twitter-nya @antonemus.