• September 22, 2024

Penggusuran Warga Kampung Pulo: Ahok dan Tangan Besinya

Kegilaan Hitler terjadi bukan karena ia adalah seorang fasis jahat dengan megalomania, melainkan karena kurangnya kritik dan kontrol dari para pendukungnya. Ketika Hitler menggunakan kekerasan, dia menjadi simbol kekuasaan. Jerman yang kalah dan terhina menemukan kembali harga dirinya melalui kekerasan.

Ia dipuji karena tegas, dipuji karena keberaniannya, namun kita tahu bahwa setiap kekerasan yang dilakukannya selalu mengorbankan kewarasan.

Fasisme di Eropa setelah Perang Dunia I membuat banyak orang merasa tidak berdaya. Ada yang kemudian beralih ke gagasan nasionalis yang berujung pada fasisme. Orang-orang seperti Benito Mussolini dan Hitler menemukan panggung tersebut. Mereka yang memiliki kharisma tegas, tidak kenal kompromi dan jelas tidak segan-segan menggunakan kekerasan.

Para pendukungnya terpana dengan sikap tegas tersebut, mereka meninggalkan nalar, meninggalkan hati nurani, dan yang paling parah, membunuh empati. Mereka membiarkan kelompok minoritas yang rentan ditindas demi “kebaikan bersama”, “kepentingan nasional”, “stabilitas umum” dan “kebaikan yang lebih besar”.

Tapi haruskah kita membenarkannya?

Munculnya pemimpin yang tegas dan kharismanya meningkat memang memberi harapan. Seseorang yang bisa menyelesaikan masalah, seseorang yang kejam, seseorang yang tidak bisa dikendalikan. Singkirkan mereka, sampah, pariya dan kelompok yang tidak diinginkan. Mereka adalah sekelompok orang miskin yang lintah, bodoh, penipu, dan hanya parasit dalam sistem.

Sosok pemberani ini akan selalu dirindukan. Karena kami sendiri tidak berani menghadapinya, tidak berani menghadapi kelompok ini secara langsung. Kita meminjam tangan orang lain untuk menyingkirkan orang yang tidak kita sukai, hanya karena mengganggu kenyamanan kita. Mereka yang “berjualan di trotoar”, “pendatang yang menyebabkan kemacetan”, “pencuri yang menempati tanah pemerintah”, dan lain sebagainya.

Hanya orang buta yang akan membenarkan setiap kebijakan yang diambil pujaannya, ia menutup ruang terhadap pilihan-pilihan alternatif pemecahan masalah.

Kita, oh tidak, saya terlalu penakut jika harus bertatap muka dengan mereka, bertanya langsung, mencari tahu dari sumber pertama, mengapa mereka parasit, mengapa mereka menjadi beban, mengapa mereka merambah tanah pemerintah. Saya mungkin hanya tahu bahwa mereka menduduki tanah pemerintah, tanpa ada rasa peduli untuk memahami dari mana mereka berasal, mengapa mereka menempati tanah ini?

Kita malas peduli, enggan peduli karena kita sudah merasa nyaman dengan apa yang kita punya.

Jika mendapat banyak dukungan atau didukung banyak orang itu sama dengan benar, betapa sengsaranya peradaban kita. Hari-hari ini Teman akun media sosial Ahok mengatakan kejadian Kampung Pulo menjadi populer, jika biasanya mereka hanya bisa mengumpulkan beberapa KTP, karena kejadian tersebut tiba-tiba pengumpulan KTPnya bertambah.

Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama membutuhkan KTP warganya agar bisa berpartisipasi kembali pada Pilkada 2017 Belakangan, ia teringat kini tak lagi berpartai setelah keluar dari Gerindra tahun lalu.

Tak ada yang menyebut meningkatnya dukungan terhadap pemberian KTP karena tindakan brutal Ahok terhadap warga Kampung Pulo. Hanya orang bodoh yang beranggapan bahwa seseorang harus dibela dengan kekejaman. Saya menolak kekerasan, menolak melepaskan akal sehat untuk menerima kekerasan sebagai solusi. Apa pun alasannya, kekerasan hanya akan menumpulkan akal dan hati nurani.

Banyak cara untuk menyelesaikan masalah, tentu tindakan tegas adalah salah satunya, namun tegas bukan berarti menggunakan kekerasan. Non-kekerasan tidak berarti anti-kemajuan. Mendukung kemajuan bukan berarti membenarkan kekerasan. Hanya orang buta yang akan membenarkan setiap kebijakan yang diambil pujaannya, ia menutup ruang terhadap pilihan-pilihan alternatif pemecahan masalah.

Jadi ketika konflik Kampung Pulo terjadi, saya berpikir ada cara untuk menyelesaikan masalah tersebut. Apa solusinya? Entahlah, saya hanya seorang penulis yang hanya bisa mengkritik.

Orang genit yang tidak mau berpikir meminta solusi tanpa ada keinginan untuk memahami masalahnya. Mereka menuntut solusi yang cepat, namun pernahkah mereka mengambil waktu sejenak untuk berpikir, memahami permasalahan secara perlahan dan mencoba mencari jalan keluar bersama? Jika kekerasan dan kecepatan adalah satu-satunya cara, lalu apa gunanya otak dan pengetahuan?

Kekerasan merupakan salah satu solusi untuk menyelesaikan masalah, namun bukan hal yang terpenting. Sejarah menyebutkan, republik ini selalu sulit mengalahkan kaum miskin, kaum marjinal, namun menjilat pantat dan mengabdi pada kaum kaya yang berkuasa. Solusi cepat dan mudah memang menggunakan kekerasan, namun haruskah selalu menjadi pilihan utama?

Tindakan tegas dan keras seringkali hanya memangsa orang lemah, jarang sekali orang mapan yang dikorbankan. Saat Ahok memutuskan menggusur warga Kampung Pulo, sejumlah pendukungnya membenarkan. Mereka mengatakan terkadang dibutuhkan pemimpin yang keras kepala untuk memperbaiki keadaan. Lebih dari itu, dimaki-maki warga Kampung Pulo.

Yang menuntut ganti rugi dianggap semaunya, yang menempati tanah dituduh sebagai perampas tanah, hal itu dilakukan tanpa verifikasi warga. Sesederhana membaca headline, mempercayai kebenarannya, lalu bersatu mengecam mereka yang bersikeras menolak deportasi sebagai orang yang tidak mengenal dirinya sendiri.

Saya ingat beberapa kejadian serupa. Dalih tangan besi bisa digunakan untuk hal ini, misalnya dalam kasus Penembak Misterius, Kedung Ombo, Tragedi Santa Cruz, DOM Aceh, atau bahkan kelompok yang dituduh komunis. Jika pendukung Ahok memutuskan untuk menggunakan argumen tangan besi demi kesejahteraan bersama, bolehkah saya menggunakan argumen yang sama untuk bentuk kekerasan lainnya?

Penggusuran selalu bertujuan untuk kebaikan, atau setidaknya niat baik untuk membuat kondisi masyarakat lebih nyaman. Bahwa Jakarta adalah etalase Indonesia, wajah negara, adalah sebuah pembenaran untuk menyingkirkan mereka yang jelek.

Tapi Indonesia yang mana? Negara mana? Siapa yang tidak segan-segan mengalahkan masyarakat miskin kota? Yaitu kepentingan bersama, kepentingan negara, dan kepentingan umum. Tapi kepentingan siapa? aku ingat Puisi Rendra mempertanyakan niat baik.

Niat baik saudara untuk siapa? Kamu berada di pihak yang mana?

Mengapa niat baik dilakukan, padahal semakin banyak petani yang kehilangan lahannya.

Tanah di pegunungan adalah milik masyarakat kota.

Perkebunan besar hanya menguntungkan kelompok kecil.

Alat kemajuan yang diimpor tidak cocok untuk petani dengan lahan terbatas.

Wajar jika kita bertanya, “Kalau begitu, maksud baik Ahok itu siapa sih?” —Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Penulisannya bergaya satir penuh sarkasme. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.

BACA JUGA:


situs judi bola online