Membangun potensi seni dan budaya daerah di Jakarta
- keren989
- 0
Apa ‘resep’ terpenting untuk mengembangkan Jakarta menjadi kota ramah seni dan budaya? Apa peran masyarakat di sini?
Lubang lain, belalang lain. Beda ladang, beda ikan.
Demikian perasaan saya setelah menyaksikan 4 pemaparan dan penjelasan pengalaman kota dan institusi dalam menyikapi potensi seni budaya daerah dalam event-event tersebut. Jaringan Distrik Kebudayaan Global diadakan sebagai bagian dari suatu rangkaian KTT Kota Baru 2015.
Pemaparan dibuka oleh Adrian Ellis, direktur jaringan, dengan memberikan kajian fantastis mengenai limpahan dana sebesar US$250 miliar untuk infrastruktur seni dan budaya selama 15 tahun ke depan. Dana tersebut berasal dari sumbangan (filantropi) dan negara.
Keberadaan kawasan dan kawasan seni budaya yang ada terkonsentrasi di belahan bumi utara, dengan beberapa cluster di Jazirah Arab dan Asia Timur. Dalam penelitian yang sama, tidak ada satu pun kawasan seni budaya yang teridentifikasi di Indonesia.
Sebagian besar dana tersebut digunakan dan direncanakan untuk membangun fasilitas seni dan budaya, seperti gedung konser megah dan museum. Namun, hanya sedikit dana yang ditujukan untuk kegiatan dan program seni dan budaya.
Praktik ini sering terjadi di negara-negara maju, termasuk China, yang gemar membangun mega proyek dengan mendatangkan arsitek kelas dunia. Terakhir, dalam salah satu sesinya, Marina Guo dari Shanghai Theatre Academy menceritakan bagaimana pemerintah China sangat memperhatikan bangunan-bangunan megah, namun kurang peduli pada pengelolaan bangunan, aktivitas dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
Dalam paparan lainnya, Carroll Joynes dari University of Chicago memberikan beberapa contoh kegagalan berbagai kota di Amerika dalam upaya mengembangkan kawasan seni dan budaya. Misalnya, kota Biloxi di Mississippi menghabiskan banyak uang untuk membangun museum. Pada akhirnya kota bangkrutdan rencana ambisius inilah yang menjadi salah satu penyebab kebangkrutan kota tersebut.
Ada harapan dalam ilusi ketika kota tersebut memutuskan untuk membangun museum pada tahun 2004, menurut walikotanya: “Kami berharap ibu peri maju dan memberikan uang di atas meja”. Kisah Biloxi adalah kisah klasik kegagalan banyak kota dalam berharap.”Efek Bilbao”, yang sudah dijelaskan pada postingan saya sebelumnya Ini.
Sementara di Indonesia, setidaknya Jakarta merupakan kota yang minim infrastruktur budaya. Upaya masif membangun infrastruktur kebudayaan sebenarnya sudah ada pada era Gubernur Ali Sadikin melalui pembangunan Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Namun, tidak ada upaya besar-besaran berikutnya dari pemerintah untuk berkolaborasi dengan seniman.
Bahkan untuk kepengurusan TIM, Ali Sadikin percaya diri menyerahkan pengelolaannya kepada artis. Ali Sadikin tidak hanya mendirikan TIM dan IKJ, tetapi juga menggiatkan museum-museum milik negara. Upaya menghidupkan kembali Kota Tua dimulai pada masa itu.
Indonesia belum memiliki budaya filantropis seperti Amerika atau banyak negara maju lainnya. Bukan hanya budaya, tapi juga sistem dan regulasi. Memang benar bahwa banyak kegiatan budaya disponsori oleh perusahaan dan lembaga tertentu, namun tidak pada infrastruktur budaya.
Jika kita melihat pemetaan infrastruktur kebudayaan di Jakarta, seperti galeri, museum, teater, kita melihat sentralisasi di koridor Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan bagian utara. Sedangkan Jakarta Barat, Timur, dan sebagian Utara memiliki fasilitas yang sangat minim.
Namun keterbatasan infrastruktur tidak menjadi kendala bagi komunitas kreatif dan komunitas budaya di Jakarta. Sebaliknya, mereka menjadikan hambatan yang ada sebagai penyemangat untuk mencari solusi dan ruang alternatif, dengan memanfaatkan ruang yang ada.
Akhir tahun lalu, komunitas Ruang Rupa mencoba mencari tempat untuk itu pameran seni rupa kontemporer yang bercerita tentang Jakarta. Mereka mencari ruang yang ada untuk bekerja sama. Terakhir, mereka bekerja sama dengan pihak swasta seperti pemilik restoran dan pemilik gedung.
Strategi seperti ini sering digunakan oleh berbagai komunitas budaya di Jakarta. Asal ada atap dan dinding, bisa menjadi ruang seni dan budaya
Meski demikian, peran pemerintah tetap penting dalam upaya peningkatan kegiatan kebudayaan dan menjaga kelestarian budaya. Peran pemerintah tidak hanya menyediakan infrastruktur kebudayaan saja, namun juga infrastruktur perkotaan secara keseluruhan. Misalnya, untuk mencapai pusat kebudayaan tentu saja memerlukan transportasi – tanpa dukungan infrastruktur transportasi hal ini akan sulit dilakukan.
Saat masih menjabat sebagai gubernur, Joko “Jokowi” Widodo berjanji akan mendirikannya pada tahun 2013 aula pertunjukan kelas dunia di waduk Ria Rio yang konon mampu menampung 10.000 orang. Namun pada tahun 2015 belum ada kabar mengenai rencana gedung pertunjukan tersebut.
Terlepas akan dibangun atau tidak, yang direncanakan Jokowi saat itu adalah risiko dibangunnya gedung pertunjukan atau kawasan budaya di sana. Waduk Ria Rio yang terletak di kawasan Pulo Gadung yang saat ini lebih dikenal sebagai kawasan industri tentunya membutuhkan upaya keras untuk bisa menjadi tempat kompleks budaya dan rekreasi seperti tergambar pada wawancara eksklusif dengan Jokowi.
Sebenarnya cukup sulit untuk membangun ruang publik yang sukses karena banyak sekali kemungkinannya dan tidak sekedar mencentang daftar. Bagi kota seperti Jakarta, akses dan mobilitas merupakan hal yang penting, adakah pemikiran untuk mengatasi hal tersebut?
“Resep” penting lainnya adalah keterlibatan masyarakat. Apakah masyarakat sekitar siap menerima fasilitas tersebut, atau malah tidak terlibat sama sekali?
Agar kegiatan infrastruktur dan budaya dapat berkelanjutan, perencanaan harus lebih berakar pada penggunanya, karena alasan yang sangat sederhana: karena pemerintah dan birokrat berubah dan janji-janji politik dapat diingkari.
Elisa Sutanudjaja adalah Eisenhower Fellow, editor Jakarta Facts, dan salah satu pendiri rujak.org. Ia juga seorang aktivis sosial, reporter data terbuka dan warga kota Jakarta. Ikuti Twitter-nya @elisa_jkt