Lee Kuan Yew, Sukarno dan Megawati
- keren989
- 0
“Dia seperti mentorku sendiri.”
Demikian komentar Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Sukarnoputri, Senin, 23 Maret 2015, usai mendapat kabar Lee meninggal dunia. Arsitek modern asal Singapura ini meninggal dunia pada usia 91 tahun setelah menderita gangguan pernafasan dan dirawat dalam waktu lama di Rumah Sakit Umum Singapura.
PDI-P menang tapi Mega tidak jadi presiden
Semasa menjabat Wakil Presiden di era Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid dan kemudian menjadi Presiden, Megawati rutin bertemu Lee. Komunitas politik di Indonesia bahkan mempunyai persepsi bahwa Singapura mendukung Megawati jika ada peluang politik pasca kepemimpinan Soeharto.
BJ Habibie bukanlah sebuah pilihan, dan hal itu secara implisit diteruskan oleh Lee yang merupakan menteri senior pada tahun 1998-1999, masa transisi pemerintahan di Indonesia. Perannya dalam menentukan arah politik Singapura tidak hilang sedikit pun meski posisi perdana menteri dipegang oleh Goh Chok Tong, penggantinya.
Ketika Habibie mengundurkan diri untuk terpilih sebagai presiden pada Sidang Umum Majelis Parlemen (MPR) pada Oktober 1999, situasi politik berubah. Habibie mengundurkan diri karena sidang MPR menolak tanggung jawabnya sebagai presiden menggantikan Soeharto.
Gus Dur yang saat itu menjabat Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) secara mengejutkan mengamini dan terpilih menjadi presiden. PKB meraih 12,6% suara pada pemilu Juni 1999. PDI-P yang dipimpin Megawati memenangkan pemilu dengan 34% suara. Tidak cukup untuk mengontrol perolehan suara di MPR.
Megawati yang kurang leluasa berkoalisi politik dengan partai lain, tertinggal dari poros tengah, yaitu koalisi parpol bernuansa Islam yang dipimpin Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais. Amien mendapat kursi Ketua MPR. Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tanjung disodorkan jabatan Ketua DPR.
Poros tengah mendukung Gus Dur dengan perolehan 373 suara di sidang MPR, mengalahkan Megawati yang memperoleh 313 suara. Gus Dur menjadi presiden.
(BACA: Lee Kuan Yew, Soeharto dan Krisis 1997-1998)
Dukungan kuat bagi Mega untuk menjadi wakil presiden
Megawati yang khawatir dipermalukan untuk kedua kalinya, enggan mengikuti pencalonan wakil presiden. Kandidat lain saat itu adalah Amien Rais, Panglima TNI Jenderal Wiranto, dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Hamzah Haz. Hamzah ditopang pada poros tengah.
Dalam memoarnya, Dari Dunia Ketiga ke Dunia Pertama, Kisah Singapura: 1965-2000,
Lee menulis bahwa Gus Dur membujuk Megawati untuk mencalonkan diri, dan meyakinkannya bahwa Mega akan mendapat cukup dukungan untuk menang. Gus Dur membutuhkan dukungan Megawati sebagai wakil presiden karena perolehan suara PDI-P cukup besar dan dapat menunjang stabilitas pemerintahannya.
Saya ingat saat itu, dalam keterangannya kepada media, Gus Dur dan Megawati menyebut satu sama lain sebagai saudara. Mas Dur dan Mbak Mega.
Lee menulis dalam memoarnya, kerusuhan terjadi di beberapa kota di Jawa dan Bali, tempat dukungan terhadap Megawati dan PDI-P tinggi, menyusul ketegangan politik di MPR dan kekalahan Megawati dalam pemilihan presiden.
Lee mengatakan Stanley Roth, wakil direktur Dana Moneter Internasional (IMF), berada di Singapura pada saat menghadiri Forum Ekonomi Dunia. Ia bertemu dengan Lee dan Perdana Menteri Goh Chok Tong pada pukul 20.00 waktu Singapura, tepat setelah Gus Dur dikabarkan terpilih sebagai presiden, 20 Oktober 1999. Pemilihan wakil presiden digelar sehari kemudian.
Mereka menilai, dengan perkembangan situasi, pertumpahan darah tidak bisa dihindari jika Megawati dikhianati oleh koalisi kepentingan politik di MPR yang ingin menghentikannya menjadi wakil presiden.
Pada tanggal 22 Oktober 1999, surat kabar berbahasa Inggris Jakarta Post Diberitakan, Menteri Luar Negeri AS Madeleine Albright yang saat itu sedang berada di Afrika menelepon Gus Dur menjelang pemilihan wakil presiden dan menyampaikan pesan dari Washington agar Megawati sebaiknya dipilih sebagai wakil presiden. Kesuksesan. Megawati didukung 392 suara dan menjadi Wakil Presiden.
“Ini menyelamatkan Indonesia dari gangguan keamanan putaran kedua,” tulis Lee.
Dalam keterangan persnya, Senin, 23 Maret, setelah Lee meninggal, Megawati mengaku ingat betul bagaimana Lee mengagumi Bung Karno dan sangat merasakan bagaimana perjuangan Bung Karno mendirikan negara Indonesia yang begitu besar, majemuk, dan geografisnya sangat luas.
“Tidak mudah membangun Singapura yang kecil, apalagi membangun Indonesia yang sebesar itu. Saya merasakan sulitnya Bung Karno untuk mendirikan Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan bersatu, kata Lee seperti dikutip Megawati.
Pertemuan pertama dengan Sukarno
Lee mengenang presiden pertama Indonesia, Sukarno, ayah Megawati, sebagai seorang orator yang terampil, tak kenal lelah dan penuh semangat. Pada bulan Februari 1959, Lee mengendarai mobilnya dari Singapura ke Bukit Fraser, sebuah kawasan resor di Pahang, Malaysia.
Lee membutuhkan waktu 7 jam perjalanan untuk mencapai Fraser Hill. Ia mulai menyetel radio di mobilnya pada pukul 08.30 waktu Indonesia, atau 07.30 waktu Singapura.
Saat itu, Presiden Soekarno baru saja mulai berpidato berapi-api. Lee kehilangan suara pidato Sukarno selama beberapa jam berikutnya, karena penerimaan transmisi radio di dalam mobil yang sedang bergerak sangat buruk pada saat itu.
Tiga jam kemudian, sesampainya di Malaka, Lee kembali mendengar suara Sukarno. Suaranya masih nyaring, berapi-api, dan penuh gairah. Ia dapat mendengar suara lantang Sukarno menyapa rakyatnya, dan mendengar suara rakyat menyapa pemimpin besar revolusi dan pemberita kemerdekaan Indonesia.
Lee ingin bertemu langsung dengan Sukarno. Dunia kemudian mengenang Lee sebagai seorang orator yang mempunyai wawasan mendalam. Mampu menyisipkan propaganda persuasif. Ia mempunyai lidah yang tajam dan tidak segan-segan berdebat dengan siapapun, termasuk media yang mengkritik pemerintah dan keluarganya.
Dalam bukunya, Lee menceritakan pertemuannya dengan Sukarno, Agustus 1960, di Istana Merdeka, Jakarta. Sukarno mengenakan pakaiannya yang kebesaran berwarna krem dan memegang tongkat.
Jakarta terasa panas dan lembab saat itu. Namun di Istana Merdeka tidak terdapat mesin AC maupun kipas angin. Sukarno tidak menyukai satu pun dari mereka. Dia lebih suka berkeringat dan kepanasan. Lee melihat pakaian Sukarno yang basah.
Selama 20 menit pertama perbincangan didominasi oleh Sukarno. Ia berbicara dalam bahasa Indonesia, melontarkan pernyataan yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa Indonesia lebih unggul dari negara tetangganya.
”Berapa orang yang anda miliki?” tanya Sukarno.
”Satu setengah juta,” kata Lee.
”Penduduk saya 100 juta jiwa,” kata Sukarno.
”Berapa banyak mobil yang anda punya?” tanya Sukarno.
”Sekitar 10.000,” kata Lee.
”Oh, Jakarta punya 50.000,” katanya.
(BACA: Garis Waktu Lee Kuan Yew)
Kemerdekaan nasional ala Sukarno
Sukarno ingin menunjukkan kehebatan Indonesia. Lee sedikit terkejut melihat gaya bicara Sukarno. Namun kemudian ia menyadari bahwa yang ia ajak bicara adalah penguasa Indonesia, sebuah republik yang terbesar dari segi luasnya di Asia Tenggara.
Dalam pertemuan tersebut, Sukarno sesumbar tentang sistem politik Indonesia yang disebutnya “demokrasi terpimpin”. Bangsa Indonesia, kata Bung, ingin segala sesuatunya direvolusi, termasuk kebudayaan dan perekonomian. Demokrasi Barat dinilai tidak cocok untuk Indonesia.
Lee mendengar Sukarno mengucapkan kalimat itu berulang kali. Ia merasa apa yang disampaikan Sukarno merupakan pembicaraan yang tidak penting.
Sebagai negara yang ratusan tahun dijajah Belanda, Indonesia terbilang cukup buruk. Tidak banyak birokrat terpelajar yang tertinggal dari penjajah. Hanya beberapa profesional yang tersedia. Hanya sedikit institusi yang bisa membawa Indonesia maju.
Kehadiran Jepang selama tiga setengah tahun semakin memperburuk situasi. Seluruh lembaga peninggalan Belanda dihancurkan.
Perang kemerdekaan yang terjadi antara tahun 1945-1949 yang berakhir dengan pengakuan kemerdekaan oleh Belanda semakin memperburuk keadaan perekonomian. Kemerdekaan diikuti dengan nasionalisasi perusahaan asing, dan Sukarno menerapkan kebijakan ekonomi nasionalis. Semua ini membuat investor asing merasa tidak nyaman.
Lee menginap di Hotel des Indes di Jakarta, hotel papan atas saat itu. Hotel des Indes kini dikenal sebagai kompleks perbelanjaan Duta Merlin. Lee menyamakan Hotel des Indes dengan Raffles Hotel elit di Singapura.
Sayangnya Des Indes tidak terawat dengan baik. Jakarta sedang hujan saat Lee bermalam. Ruangannya bocor. Seorang pelayan buru-buru membawa baskom untuk menampung air yang menetes. Saat saya membuka pintu, plester dinding tidak sengaja terlepas. Sore harinya ketika Lee kembali ke hotel, tambalan yang terlepas ditutupi kertas.
Lee memerintahkan Lee Khon Choy, salah satu rombongannya, untuk membeli kamus Indonesia-Inggris dan Inggris-Indonesia. Masing-masing harganya kurang dari dua dolar Singapura. Sangat murah. Rombongan juga membeli kamus, sebagai oleh-oleh untuk rekan atau anggota keluarga yang ingin belajar bahasa Melayu.
Dari Jakarta, Lee berangkat ke Bogor. Dia masuk ke dalam mobil dengan pengawalan polisi bermotor. Dari Bogor kemudian melanjutkan perjalanan menuju Bandung. Lee kemudian melanjutkan perjalanannya ke Yogyakarta dengan menggunakan pesawat pribadi Presiden Sukarno.
Pesawat itu bermesin ganda, hadiah dari Uni Soviet. Lebih besar dari pesawat komersial DC-3I. Jam di atas aula sepertinya mati. Lee khawatir. Ia menjadi prihatin dengan keandalan teknologi Rusia dan keakuratan teknisi Indonesia dalam menjaganya.
Kalau jamnya tidak dirawat, bagaimana dengan mesinnya?
Sebelum kembali ke Singapura, Lee Kuan Yew mengeluarkan pernyataan bersama dengan Perdana Menteri Perdagangan dan Kebudayaan Djuanda. Lee sebelumnya beberapa kali bertemu dengan Djuanda dan berbicara dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Ia mengenangnya sebagai sosok yang cerdas, jujur, dan sadar akan banyaknya permasalahan yang dihadapi Indonesia.
Dalam salah satu acara makan malam, Lee memuji Indonesia yang dianggapnya sebagai negara yang diberkati. Tanahnya subur, sumber daya alamnya melimpah, dan iklimnya bersahabat.
Djuanda memandang Lee dengan wajah sedih. ”Ya, Tuhan memberkati kami. Tapi kita sering tidak taat pada diri kita sendiri,” ujarnya.
Lee menulis bahwa dia suka melihat cara berbicara yang jujur.
“Kita bisa berteman dengan orang-orang jujur dan tulus seperti ini,” kata Lee.
Lee meninggal saat meninggalkan Singapura yang masih merupakan negara kecil dengan pendapatan per kapita US$500. Ketika bertemu Sukarno pada tahun 1960, Singapura adalah salah satu negara paling makmur di dunia dengan pendapatan per kapita US$55.000 (Indonesia sekarang US$4.000).
Singapura adalah salah satunya titik poros keuangan dunia, pusat pertemuan bisnis dan perekonomian kelas dunia, negara yang menawarkan fasilitas kesehatan terbaik.
Mantan Menteri Luar Negeri AS, Henry A. Kissinger, dalam artikel yang dimuat di surat kabar Washington Post mengatakan hari ini bahwa keberhasilan Singapura diraih karena pendirinya, Lee, membangun negaranya dengan fokus pada peningkatan kualitas pendidikan, pemberantasan korupsi, dan penerapan sistem merit dalam pengelolaan pemerintahan.
Lee memastikan seluruh program kerja berjalan tanpa ruang untuk perselisihan. Itu sebuah pilihan.
Setelah Lee pergi, apakah ruang untuk perbedaan pendapat semakin terbuka? —Rappler.com
Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Ikuti Twitter-nya @unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com.