• November 25, 2024

Pernahkah Anda jatuh cinta dengan Jakarta?

Jakarta adalah seorang ibu yang bosan melihat pola anak-anaknya yang terlalu nakal. Kemacetan, polusi, banjir dan segala kejahatan yang ada di dalamnya tidak membuat anak-anak yang tinggal di Jakarta patah semangat. Mungkin kota ini perlahan-lahan mengajarkan penduduknya untuk menjadi bodoh. Menjadi kebal terhadap penderitaan yang menumpuk dari hari ke hari. Menjadi sebuah kecanduan yang menjadikan masyarakatnya masokis, menyukai kesakitan dan penderitaan.

Namun pernahkah Anda jatuh cinta dengan Jakarta? Setiap detiknya suara bising dan sensasi panas dari keringat bercampur dengan bau keringat ribuan orang? Kapan hujan turun dan meluap dengan sampah dan berbagai penyakit dari kulit tikus got yang menjijikkan? Saya pernah melakukannya. Mungkin pada suatu waktu, ketika semuanya hanya metafora, kota ini adalah mercusuar hidup yang memberi cahaya bagi para pecinta.

Kemudian hancur dan menghantam karang. (BACA: Fakta Singkat: DKI Jakarta)

Tapi bukankah Jakarta adalah kota yang mengajarkan kita bagaimana cara bertahan hidup? Tentang cara menghadapi debt collector, penggusuran, protes, kemacetan dan duka. Terlalu banyak hal yang diberikan kota ini kepada kita, namun kita gagal memahami dan menghargainya karena kita buta. Mungkin Anda harus naik kereta di pagi hari dan merasakan dorongan dari kiri, kanan, depan, dan belakang. Telinga memandangi wajah mengantuk yang berdiri dengan mata terpejam, mengingat tempat tidur yang ditinggalkannya beberapa saat yang lalu.

Di kereta kita belajar tentang hutan. Dari Stasiun Bogor hingga Stasiun Jakarta Kota. Mereka yang menghindari hiruk pikuk dengan merayakan keheningan dalam kantuknya. Merutuki rasa lelah yang menjalar ke punggung dan tangan yang mulai mati rasa karena harus bergelantungan di kereta. Wajah muram itu akan mengajarkanmu untuk bersyukur. Tentang bagaimana hidup harus dijalani, betapapun menyakitkan dan sulitnya.

Atau mungkin Anda bisa belajar tentang kekacauan dan keteraturan di Terminal Blok M dan sumber segala kebingungan manusia. Mereka yang mendapatkan harapan dan mereka yang kehilangan harapan. Mereka yang belajar tentang arah dan tujuan di Jakarta. Yang berkeliaran di Metro Mini dan Kopaja. Mereka yang harus bertahan hidup agar tidak terlena di Mayasari Bakti. Mereka harus berebut ke atas dan ke bawah.

Apa yang lebih puitis dari Blok M? Inilah alam semesta premudita para penghuninya. Sebuah kernel yang mengajarkan Anda sedikit tentang wajah Jakarta. Bahwa di kota ini kalian akan menjadi dua hal, pemenang atau pecundang. Mereka yang hanya bisa berfantasi atau mereka yang mewujudkan impiannya. Mungkin di sudut trotoar dan aspal yang macet akibat pembangunan jalan tol yang tidak berguna, Anda akan belajar tentang kerugian.

Cinta di Jakarta, kata WS Rendra, mungkin seperti orang miskin di jalanan. Mereka yang hidup di selokan, yang kalah dalam peperangan, yang digoda oleh mimpi. Namun mungkin Anda bisa merayakan cinta secara megah dan suci di Jakarta. Bukan dengan menangis dan berdoa di tempat ibadah. Namun di angkutan umum, di tengah keramaian, dan di antara semua keramaian yang Anda rasakan.

Cinta di Jakarta adalah perayaan kesabaran. Anda yang harus melalui Jalan Kapten Tendean untuk menuju Santa Claus harus berhadapan dengan kebisingan, jalan yang sempit, terik matahari dan kemacetan yang mengular. Anda, seorang pemuda dari ibu kota, ingin tampil terbaik di Pasar Santa Claus, Anda harus melewati jalan-jalan sempit itu. Pembangunan, seperti ular, membutuhkan pengorbanan. Jalanan sempit dan keringat mengucur deras.

Pernahkah Anda duduk di belakang TransJakarta? Kapan hujan dan kapan terjadi kemacetan? Kapan air hujan di kaca jendela TransJakarta berubah menjadi pecahan cahaya yang bulat namun rapuh? Ketika AC kendaraan semakin dingin dan Anda memikirkan kehidupan yang luar biasa mengerikan? Tentang perpisahan dan juga tentang kehilangan? Di belakang TransJakarta Anda akan menemukan pertobatan yang tidak dapat diberikan oleh doa.

Cobalah duduk di belakang TransJakarta. Kemudian dengarkan semua lagu favorit Anda. Jika Anda tidak memilikinya, coba dengarkan Sepatu oleh Tulus atau Coba katakan dari Maliq dan D’Essentials. Tidak harus terlalu keras, cukup sampai telinga Anda dapat mendengar dan orang di sebelah Anda tidak dapat menikmatinya. Sesap pelan suara yang datang, tafsirkan liriknya lalu pandanglah kaca buram TransJakarta dan langit malam yang hujan.

Jakarta adalah kota yang menguatkanmu. Mungkin saat Anda benar-benar stres dan membutuhkan tanaman yang rimbun, Taman Suropati dan Taman Ayodya bisa menjadi penyejuknya. Di sini Anda bisa percaya bahwa umat manusia masih ada di Jakarta. Tahu geyrot dan segelas Nutri Sari yang sedingin es bisa jadi camilan yang melegakan. Tidak harus mahal. Itu hanya boleh dinikmati dengan orang yang tepat. Orang yang mencintaimu tanpa pamrih dan tanpa syarat.

Jakarta bukan sekadar deretan pusat perbelanjaan dan perkantoran. Jakarta lebih dari itu. Anda akan belajar dari pengalaman pahit bahwa Jakarta adalah nama lain dari hutan perpisahan dan pertemuan. Mungkin dia juga mengajarimu untuk bangkit setelah kamu terjatuh dan dikalahkan oleh keadaan. Kota ini akan mengajarkan Anda untuk memilih. Sakit lalu bangun. Atau terbawa manisnya cinta dan berakhir kecewa.

Anda tidak perlu menangis. Jakarta bukanlah kota bagi mereka yang suka berkabung dan merayakan kemurungan. Kota ini bau keringat dan mata lelah. Datanglah ke Tanah Abang atau Pasar Senen untuk merayakan kesibukan. Mereka yang tidak punya waktu untuk menangisi hal-hal sentimental. Anda akan belajar menjadi kuat, suka atau tidak.

Seno Gumira Ajidarma pernah mengatakan, gemerlapnya Jakarta adalah cerminan dari kepahitan yang tak bisa dipadamkannya. Itu adalah dua paradoks yang saling menyembunyikan. Kemungkinan besar rumah mewah di Menteng tidak akan pernah dilanda banjir, sementara daerah lain harus bersabar menerima banjir sebagai kejadian sehari-hari di musim hujan. Pembangunan tidak menghentikan masyarakat untuk belajar menghargai alam, baik di Jakarta maupun di belahan dunia manapun.

Apakah Anda mengerti mengapa saya datang ke kota ini? Saya, seperti ratusan ribu imigran, berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Ada yang memimpikan pekerjaan tetap, ada pula yang menjadi pengusaha, ada pula yang ingin menjadi penguasa, dan saya hanya ingin memenuhi janji kebersamaan. Sayangnya, saya belajar di Jakarta, tidak ada tempat untuk hal-hal yang melankolis dan sepele seperti cinta.

Mungkin Seno benar, Jakarta tidak gemerlap. Jakarta gelap dan semakin gelap karena jumlahnya terlalu sedikit bertahan hidup mencoba melakukan sesuatu untuk lingkungan yang semakin tenggelam dalam kemiskinan yang berkepanjangan. Kemiskinan menjadi daya tarik, menjadi komoditas, sesuatu yang dipertahankan agar penguasa punya alasan untuk membangun, memperbaiki, dan memberantas sesuatu. Padahal Jakarta tidak membutuhkannya. Jakarta hanya butuh hati nurani dan akal sehat untuk bangkit.

Di Jakarta, sebagian dari kita menunggu untuk jatuh cinta lagi. Sementara yang lain hanya bisa menerima kehilangannya. Seperti menikmati Jakarta di musim hujan sambil mendengarkan lagu DesemberEfek rumah kaca. Ia menawarkan sebuah gambaran, mungkin sebuah janji. Ibarat kerusuhan konflik yang tidak bisa dibendung. Harapan yang tidak diperjuangkan dan hanya dibicarakan saja. Seperti pertemuan yang tidak direncanakan.

Jakarta, seperti saya katakan, adalah ibu yang lelah. Namun seperti semua ibu hebat, dia selalu memberikan kehangatan yang tidak dapat Anda bayangkan.

Di belakang TransJakarta Anda akan belajar melepaskan. Mungkin Anda akan menemukannya lagi. Jalannya terjebak antara Cawang dan Cengkareng. Air banjir, kemacetan, lampu merah, dan hujan deras adalah puisi. Ini adalah puisi untuk mereka yang mengerti. —Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Penulisannya bergaya satir penuh sarkasme. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.


slot online