Dari cara online hingga cara tradisional
- keren989
- 0
Kantor kecil kami tiba-tiba mendiskusikan bagaimana berkorban. Selain cara tradisional, teknologi telah memudahkan masyarakat dalam melakukan berbagai hal, termasuk berkurban di hari raya Idul Adha.
Yang membuat kantor sibuk adalah diskusi tentang mengapa metode tradisional diperlukan. Maaf, oke? Aku mengecek kalender untuk memastikan ini masih tahun 2015, bukan tiba-tiba terlempar ke masa lalu.
Cerita Dodi Ibnu Rusydi: Pengorbanan dengan bantuan teknologi, tanpa usaha!
Beberapa tahun yang lalu saya mulai mencari cara yang lebih praktis untuk berkorban. Saat itu, saya tinggal di tempat tanpa halaman dan tanpa menginjak tanah. Agak sulit mencari tempat untuk mengikat kambing. Maaf dia kedinginan. Juga tidak mungkin untuk mengangkatnya dengan lift dan kemudian menaruhnya di saluran cuci kolektif. Tetangga bisa protes.
Di situlah saya mengetahuinya Pengorbanan yang luar biasa dari Rumah Zakat. Singkat kata, mereka menjalin hubungan dengan beberapa peternakan yang menyediakan hewan kurban. Saya hanya membayar lewat transfer bank, lalu kurbannya dibawa ke rumah potong hewan pada Hari Raya.
Daging kurban kemudian dikalengkan dan dibagikan kepada penerima kurban yang mungkin berasal dari pulau berbeda atau bahkan berbeda negara. Daging kurban belum habis seluruhnya hingga dua atau tiga hari setelah Idul Fitri. Masyarakat yang berkurban nantinya akan dikirimkan daging kurban dalam kaleng. Sayangnya, saya tidak menerima kaleng persembahan saat itu.
Dompet Dhuafa sedikit berbeda dalam tayangannya Membagikan Hewan Kurban. Hewan kurban berasal dari peternak binaan di berbagai provinsi. Mereka disembelih hingga tiga atau empat hari kemudian setelah salat Idul Fitri.
Daging kurban tersebut akan didistribusikan ke lebih dari 1.000 desa. Orang yang melakukan kurban akan menerima laporan penyembelihan. Tak hanya itu, penyelenggara seperti Dompet Dhuafa kemudian menggandeng sejumlah toko on lineyang membuka tab khusus untuk kurban.
Ada cara lain juga! Artinya, menitipkannya kepada keluarga atau teman. Koordinasi dapat dilakukan melalui pesan singkat di WhatsApp. Dana juga dikirim melalui telepon seluler.
Seorang teman dulunya adalah seorang “broker” yang mencari pengorbanan dan mengatur pembantaian. Dia tidak mendapat untung. Ia mengirimkan foto-foto pengorbanan dan bukti pembantaian tersebut melalui Twitter dengan menggunakan nama teman-temannya. Pengorbanan terjadi di linimasa media sosial.
Menurut pendapat saya, teknologi telah membuat banyak aspek kehidupan kita lebih mudah. Itu juga termasuk pengorbanan. Lihat juga dampak sosialnya, yaitu pemerataan yang menyasar masyarakat yang membutuhkan. Tentunya bagi yang mampu, tidak ada salahnya mencoba kedua cara tersebut.
Cerita Febriana Firdaus: Perlakuan khusus terhadap kambing kurban sebelum mati
Mungkin bagi sebagian orang teknologi merupakan alat untuk mempermudah segala sesuatunya. Mas Dodi misalnya, mengaku ingin membeli kambing secara gratis on line. Mantap, tinggal klik, bayar, kirim. Selesai.
Namun ketika saya mendengar ada teman di kantor saya yang ingin membeli kambing secara gratis on line, ekspresi pertamaku adalah mengerutkan kening. Ya Tuhan, warga kota itu memang punya hati, bukan? Ya, Anda tidak ingin membeli hewan kurban? taaruf (keakraban) dengan binatang itu. Orang hanya ingin menikah, setidaknya tidak perlu menikah taaruf. Ini dia, taarufmelalui foto on line hanya.
Kalau dipikir-pikir, orang-orang yang berkurban sekarang hanya melihatnya dari sudut pandang kewajiban menyembelih. Padahal ada sisi lain yaitu sisi binatang. Beli hewan secara online on line itu jelas tidak manusiawi. Karena tidak ada interaksi dengan hewan kurban.
Ingat ya, asal muasal kenapa ada hari Idul Adha atau hari kurban? Ismail hampir dikorbankan oleh Ibrahim. tapi apa yang terjadi? Allah menggantinya dengan (sejenis) kambing.
Jadi perlu diketahui bahwa kambing ini adalah hewan yang rela berkorban untuk manusia, rela menggantikan manusia. Itu sebabnya kita harus berterima kasih padanya.
Hanya ada satu cara, menurut saya. Yakni berinteraksi dengan kambing saat dijual di pasar dan sebelum disembelih. Keluarga saya adalah orang yang selalu melakukannya.
Dulu, ayah saya membeli seekor kambing sebulan sebelum Idul Adha. Saya pergi ke pasar dan memegang kambing. Tetap gunakan itu kimiaAku bilang pada ayahku, jika aku menginginkan yang ini.
Ayah saya pun tidak membeli sesaji itu karena beratnya, bibitnya, bebetnya. Namun dia membeli persembahan itu karena tiba-tiba saya menyukai salah satu kambing itu.
Setelah dibeli, kambing-kambing tersebut dibiarkan mengembik dan merumput di belakang rumah. Aku menemani kambing menikmati hangatnya sinar matahari sore.
Saya ambil rumput apa adanya, lalu disiram bila perlu. Saya membawanya berkeliling ke ladang subur dekat rumah, mencari perlindungan, dan melihat air sungai mengalir jernih.
Terkadang saya memberinya nama, untuk memberinya identitas. Jadi kamu bisa memberitahu temanmu di sekolah.
Nah, di Madura, kampung halaman Ibu pun demikian. Di belakang rumah sapi dan kambing manis tertinggal di belakang rumah.
Kemarin, saat pulang kampung Idul Adha, saya sempat “ngobrol” dengan kambing yang hendak disembelih. Meskipun itu hanya untuk mengatakan, “Halo.” Foto pada artikel di atas adalah foto dirinya.
Mungkin bagi masyarakat kota, berinteraksi dengan kambing yang hendak dibeli dan disembelih adalah sesuatu yang aneh. Bagi saya, kambing bisa beruntung mendapat perlakuan khusus sebelum mati.
Selamat Idul Adha 🙂
—Rappler.com
BACA JUGA: