• October 7, 2024

4 proyek besar terbengkalai di Bali

DENPASAR, Indonesia- Hingga awal Februari, belum ada keputusan akhir pemerintah mengenai rencana reklamasi di Teluk Benoa, Bali. Dua pekan lalu, di hadapan anggota Komisi IV DPR, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti hanya memberikan syarat kepada investor.

“Kalau mau reklamasi 10 hektar, maka harus ada lahan perairan 10 hektar, untuk nelayan, wisata air, atau apalah. “Kalau tidak bisa, ya jangan dilakukan,” ujarnya, seperti dilansir Republika.

Pemerintah masih menggantungkan nasib Teluk Benoa, apakah akan direklamasi untuk dikembangkan oleh PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) atau dilestarikan untuk masa depan Bali.

Rencana Reklamasi Teluk Benoa

Sekadar memutar ulang informasi apa saja yang akan dibangun PT TWBI di Teluk Benoa. Berdasarkan proposal tersebut, perusahaan milik taipan Tomy Winata ini akan membangun sejumlah fasilitas pariwisata di kawasan perairan teluk seluas 1.800 hektare itu.

Di sana mereka akan membangun 16 pulau kecil untuk berbagai fasilitas seperti Convention Center, Performance Center, Shopping Mall, Hotel dan lain-lain.

Menurut Komisaris PT TWBI Leemarvin Lieano seperti dikutip Antara, luas lahan yang akan direklamasi mencapai 700 hektare. Investasinya sekitar Rp 30 triliun. Jelas bahwa pengembangan ini merupakan rencana besar. Sangat besar.

Dibandingkan beberapa proyek raksasa lainnya di Bali, rencana PT TWBI terbilang cukup besar. Jika melihat proyek besar lainnya yang ada di Bali, rencana investasi PT TWBI merupakan yang terbesar. Setidaknya sejauh ini.

Oleh karena itu, dikhawatirkan jika proyek daur ulang ini dilaksanakan maka akan terjadi hal serupa dengan proyek besar lainnya yang pernah ada di Bali.

Memang benar, Bali telah mencatat beberapa proyek besar dan ambisius yang berakhir tidak jelas. Berikut ini beberapa di antaranya:

1. Pulau Penyu di Serangan

Di antara sekian banyak rencana pembangunan besar di Bali, reklamasi di Pulau Serangan menjadi yang paling digemari selama ini. Daur ulang di pulau yang merupakan bagian dari wilayah Denpasar ini selalu menjadi rujukan proyek-proyek besar yang merusak lingkungan.

Serang awalnya merupakan pulau tersendiri di sisi selatan Denpasar. Terdapat selat kecil selebar sekitar 2 km yang memisahkannya dari daratan Pulau Bali dengan luas pulau 112 hektar. Pulau Serang disebut juga Pulau Penyu karena di sini terdapat habitat penyu.

Pada tahun 1995, muncul rencana dari PT Bali Turtle Island Development (BTID) untuk membangun proyek besar. Pulau Serang akan direklamasi seluas 481 hektare. Berbagai fasilitas akan dibangun seperti marina, lapangan golf, resort, villa, dll.

Nilai investasi proyek daur ulang Serangan bernilai $2 miliar atau Rp 4,2 triliun dengan kurs sekitar Rp 2.100 per dolar saat itu.

PT BTID merupakan gabungan Grup Bimantara milik dua putra Soeharto, Bambang Trihatmodjo dan Tommy Soeharto, dengan PT Pembangunan Kartika Udayana milik Kodam IX/Udayana. Dua anak presiden bekerja di militer. Sehingga proyek tersebut berjalan lancar meski mendapat protes dari warga dan berbagai kalangan di Bali.

Krisis ekonomi dan politik pada tahun 1997-1998 menghentikan proyek ambisius ini. Akibatnya, proyek tersebut hingga kini terbengkalai. Tidak jelas apakah ini akan berlanjut atau tidak.

Berdasarkan informasi hukum online, PT BTID bahkan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada Juli 2013. Perusahaan milik keluarga Cendana ini digugat Penta Ocean Construction Ltd, rekanannya saat proyek reklamasi Serangan baru dimulai.

Kini yang tersisa hanyalah dampak lingkungan terhadap Serangan. Habitat penyu sudah tidak ada lagi. Ikan hiasnya sudah habis. Abrasi pantai di sekitar Pulau Serangan akibat reklamasi terus terjadi.

2. Bali Pecatu Graha

Saat proyek reklamasi berlangsung di Serangan pada tahun 1995, Tommy Soeharto juga membangun di tempat lain, yaitu Pecatu, pada waktu yang bersamaan. Lokasi proyek ini berada di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta (sekarang di Kuta Selatan), Kabupaten Badung.

Proyek di bawah bendera PT Bali Pecatu Graha ini lebih luas dibandingkan di Pulau Serangan yang “hanya” 481 hektare. Di bukit yang menghadap ke laut tersebut, PT Bali Pecatu Graha (BPG) akan membangun berbagai fasilitas seperti hotel, lapangan golf, perumahan, dan lain-lain. Total investasinya sekitar Rp 1,2 triliun.

Berdasarkan kliping di Jawa Post (1996), Tommy Soeharto akan membangun tiga kawasan usaha pariwisata, yakni kawasan hunian eksklusif dan kawasan kota mandiri. Luas totalnya mencapai 650 hektar.

Saat baru dilaksanakan, proyek ini sudah bermasalah karena sebagian warga enggan menyerahkan lahannya kepada investor. Mereka bahkan masuk penjara. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pernah menyebut pembangunan yang dilakukan Pecatu Graha melanggar hak asasi manusia.

Namun proyek jalan tersebut terus berlanjut hingga terhenti akibat krisis politik dan ekonomi pada tahun 1997-1998.

Setelah sempat terhenti beberapa saat, beberapa fasilitas pariwisata baru mulai diperluas lagi di BPG sejak tahun 2010-an. Misalnya hotel, lapangan golf, dan fasilitas hiburan lainnya.

3. Garuda Wisnu Kencana

Garuda Wisnu Kencana, Bali.  Foto oleh Anton Muhajir/Rappler

Pada tahun 1995, proyek ambisius lainnya di Bali juga dimulai, yaitu pembangunan patung Garuda Wisnu Kencana (GWK). Proyek ini berada di Desa Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Badung. Lokasinya dekat kampus Universitas Udayana Bali di Jimbaran.

Sejumlah nama besar era Orde Baru pun turut mendukung proyek ambisius tersebut. Misalnya Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Joop Ave, Menteri Pertambangan dan Energi Ida Bagus Sudjana, dan Gubernur Bali saat itu Ida Bagus Oka.

Rencananya investor akan membangun beberapa fasilitas mewah di atas lahan seluas 200 hektare. Termasuk di dalamnya adalah patung raksasa GWK dengan tinggi total 126 meter. Diperkirakan patung ini akan melebihi tinggi Patung Liberty di New York.

Pendanaan proyek ini awalnya diperkirakan sebesar Rp 400 miliar. Namun saat ini dibutuhkan sekitar Rp 2 miliar untuk menyelesaikannya.

Krisis tahun 1998 menghentikan impian adanya patung GWK. Proyek ini kemudian tidak jelas dan penuh masalah, termasuk rekan investornya. Investor pun ikut berganti, termasuk yang terbaru PT Alam Sutera Realty Tbk. Investor lain yang terlibat antara lain PT Multi Matra Indonesia (MMI) dan PT Garuda Adi Matra.

Setelah hampir 20 tahun, proyek ini baru selesai sekitar 20 persen. Patung GWK yang belum rampung sepenuhnya menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung. Lotus Pond, ruang terbuka di GWK juga menjadi salah satu tempat hiburan terkenal di sini. Tapi ya sudahlah, proyek ini baru selesai 20 persen setelah 20 tahun.

Beberapa warga sekitar protes karena akses mereka menuju pemakaman dihalangi pihak pengelola.

4. Festival Taman Bali

Taman Festival Bali, Bali.  Foto oleh Anton Muhajir/Rappler

Proyek lain yang terhenti adalah Bali Festival Park (TBF) di Padanggalak, Denpasar. Lokasi proyek ini tepat berada di tepi pantai sebelah timur Denpasar. Saat baru dibangun, sejumlah warga juga menolak karena menilai proyek tersebut akan merusak kesucian kawasan.

Investasi pengembangan TBF sebesar Rp 200 miliar di atas lahan seluas 8,98 hektar.

Proyek milik Perusahaan Daerah Bali dan PT Abdi Persada Nusantara ini sebenarnya sudah selesai dibangun sejak tahun 1997. Mereka telah selesai membangun berbagai fasilitas pariwisata seperti ruang teater, kolam renang, taman buaya, dan lain-lain. Mereka bahkan sudah bekerja selama tiga tahun.

Namun sejak Februari 2000, mereka berhenti beroperasi karena mengalami kerugian. Sekarang taman bermainnya sudah diperbaiki. Bangunan-bangunan terbengkalai dan rusak. Tidak ada aktivitas di lapangan.

Hal ini tampaknya menunjukkan bahwa banyak proyek raksasa yang terhenti di tengah jalan. Mungkin kita bisa merenungkannya mengenai rencana daur ulang di Teluk Benoa. -Rappler.com

Togel Singapura