• October 7, 2024

Pelecehan seksual terus mengancam jurnalis perempuan di Asia Pasifik

Ketika saya memutuskan untuk bekerja di sebuah majalah setelah lulus kuliah, saya teringat akan komentar mendiang ibu saya. “Apakah tidak ada pekerjaan lain? Jadi jurnalis punya jam kerja yang tidak jelas. Sampai di rumah pada malam hari. Bergaullah dengan banyak laki-laki,” Ibu memperingatkan.

Satpam kompleks tempat saya tinggal sering berkata, “Sudah terlambat pulang, Bu,” padahal hampir setiap saat ia harus membuka pintu gerbang kompleks, setelah pukul 22.00 WIB.

Seperempat abad kemudian, hambatan budaya tersebut masih ada. Kali ini datanya bukan situasi di Indonesia, melainkan di Kamboja.

Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) telah meluncurkan laporan hasil survei mengenai keadaan jurnalis perempuan di kawasan Asia-Pasifik. Survei kali ini dilakukan di 7 negara yakni Kamboja, India, Malaysia, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, dan Vanuatu. Pengumpulan informasi dilakukan pada bulan Agustus dan September 2014 dengan melibatkan 700 pekerja media.

Menurut Jane Worthington, Wakil Direktur IFJ, terdapat perkembangan positif yang terjadi, misalnya peningkatan jumlah jurnalis perempuan yang bekerja penuh waktu di ruang redaksi dan paruh waktu. Media internet juga mendorong meningkatnya jumlah penulis dan blogger perempuan.

Namun, IFJ juga mencermati bahwa posisi puncak di organisasi jurnalistik profesional dan perusahaan media masih didominasi oleh laki-laki. “Kami juga terus melihat marginalisasi perempuan dalam pemberitaan, baik dalam konteks pekerjaan maupun dalam kesempatan mengembangkan profesinya serta dalam serikat pekerja yang mewakili mereka,” kata Worthington yang saya kutip dari siaran pers IFJ.

Laporan survei IFJ ini merupakan bagian dari peringatan Hari Perempuan Internasional dan rangkaian acara Konferensi Dunia tentang Perempuan ke-5 yang diselenggarakan selama dua minggu terakhir oleh Komisi Perempuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, AS. Laporan tersebut dikemas dengan judul “IFJ Media and Gender Country Report”.

Isi laporan dirinci terkait dengan pengalaman para jurnalis yang menjadi responden di dunia kerja dan organisasi.

UN Women dan UNESCO mensponsori survei jurnalis perempuan. Hasil lengkapnya akan menjadi bagian dari laporan memperingati dua dekade Deklarasi dan Rencana Aksi Beijing tentang Perempuan, yang jatuh pada tahun ini.

Rencana aksi terperinci dan Deklarasi Beijing dapat dibaca di sini.

Dalam rangka Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret 2015, saya juga menuliskannya di sini untuk para pembaca.

“Ada perkembangan positif yang terjadi, misalnya peningkatan jumlah jurnalis perempuan yang bekerja penuh waktu di ruang redaksi dan paruh waktu.”

Rangkuman laporan survei yang dimuat dalam siaran pers menunjukkan bahwa terdapat permasalahan serupa di negara-negara yang disurvei, termasuk isu dominasi laki-laki dalam posisi kepemimpinan di organisasi profesi editorial dan jurnalistik. Hal ini mempengaruhi pengambilan keputusan, termasuk membuka jalur karir yang lebih tinggi bagi jurnalis perempuan.

Pelecehan seksual dan rendahnya rasa aman dan nyaman dalam bekerja masih tinggi. Di Nepal, situasi ini menciptakan ketakutan dan ketidakstabilan pekerjaan di kalangan jurnalis perempuan, yang merupakan seperempat dari total jumlah jurnalis.

Meski demikian, sejumlah jurnalis perempuan mampu berprestasi dan menduduki posisi penting di radio. Serikat jurnalis mengambil tindakan afirmatif dengan menempatkan perempuan pada posisi pengambil keputusan. Ada banyak contoh bahwa keberadaan jaringan perempuan di dunia media memperkuat kapasitas jurnalis perempuan.

Ancaman pelecehan seksual masih dialami oleh jurnalis perempuan di Malaysia, meski jumlahnya cukup banyak. Di Malaysia, jumlah pekerja perempuan di semua industri cukup signifikan. Kesenjangan gaji dan kompensasi antara pekerja perempuan dan laki-laki juga merupakan yang terendah, yang berarti kondisinya merupakan yang terbaik di antara negara-negara yang disurvei.

Namun pelecehan seksual di tempat kerja masih menghantui jurnalis perempuan di sana. Situasi ini terjadi di semua negara, termasuk negara dengan industri media yang mapan seperti India.

Jurnalis perempuan telah menikmati karir yang cukup baik, termasuk menduduki posisi kepemimpinan, terutama yang bekerja di radio dan media siber. Selain di Nepal, kondisi ini juga ditemukan di Kamboja.

Di India, pendidikan, sistem kasta dan kelas dalam masyarakat memberikan peluang bagi jurnalis perempuan untuk menduduki posisi kepemimpinan. Mayoritas masih berada pada level menengah ke bawah. Banyak jurnalis perempuan yang terpaksa menjadi jurnalis paruh waktu karena keadaan.

Di Sri Lanka, rasa aman bagi jurnalis sangat minim. Jurnalis yang terbunuh atau terluka saat melakukan pemberitaan, tercermin dalam laporan IFJ tahun lalu, yang bisa dibaca di sini.

Tidak mengherankan jika dalam survei terhadap jurnalis perempuan, faktor rasa aman mendominasi hal-hal lain yang disurvei di negara-negara tersebut. Isu kesetaraan gender, jalur karier, dan kesenjangan gaji dipinggirkan oleh isu keamanan. Di Sri Lanka, kondisi kerja yang buruk juga menjadi perhatian, seperti halnya di Vanuatu.

Di semua negara, solusi yang ditawarkan adalah pendidikan dan pelatihan bagi jurnalis perempuan, serta meningkatkan peluang jaringan di antara mereka. Program bimbingan sangat penting dan dibutuhkan oleh jurnalis perempuan.

Pelecehan seksual dan rendahnya rasa aman dan nyaman dalam bekerja masih tinggi. Situasi ini menciptakan ketakutan dan ketidakstabilan pekerjaan di kalangan jurnalis perempuan

“Laporan ini menunjukkan sikap dan pandangan laki-laki, perempuan dan kaum transgender yang bekerja di media mengenai isu-isu yang berkaitan dengan jalur karir dan gaji, tantangan di tempat kerja, budaya dan perilaku sosial, dan yang terpenting, mengeksplorasi potensi perubahan yang berarti dalam kesetaraan gender. di media,” tulis Worthington.

Indonesia bukanlah salah satu negara yang disurvei. Namun, beberapa temuan di Asia-Pasifik juga muncul dalam Lokakarya Jurnalis Perempuan yang diadakan Dewan Pers pada September 2012. Saat itu saya masih menjadi anggota Dewan Pers, sebagai koordinator bagian pelatihan dan pengembangan profesi jurnalis.

Pelecehan seksual, rasa aman, kurangnya kesempatan pelatihan, dan keharusan menunjukkan kinerja dua kali lipat dibandingkan jurnalis laki-laki agar dianggap kompeten menjadi keluhan dan mengemuka dalam diskusi di Dewan Pers yang dikemukakan sejumlah jurnalis senior. termasuk Ibu Herawati Diah yang berusia 90 tahun, juga seorang jurnalis dari daerah termasuk Papua.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyampaikan usulan standar pekerjaan layak bagi jurnalis perempuan, yang intinya adalah dapat dibaca di sini.

Di Medan, Aceh dan Manado, jurnalis perempuan telah membentuk forumnya sendiri, Forum Jurnalis Perempuan Indonesia. Dari ratusan pelatihan yang saya ikuti selama lima tahun terakhir, di puluhan kota di Indonesia, saya menemukan antusiasme yang besar dari jurnalis perempuan untuk berprestasi dan menggarap isu-isu penting bagi publik.

Jika antusias Diluncurkan oleh PBB dengan aktris Emma Watson sebagai duta besarnya, HeForShe mendukung staf editorial untuk berkembangnya jurnalis perempuan, yang justru membuka peluang pandangan dan cara pandang yang lebih luas, yang pada akhirnya meningkatkan kualitas jurnalisme yang dihasilkan. —Rappler.com

Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Ikuti Twitter-nya @unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com.


situs judi bola