• October 7, 2024
Aktivis Aceh menilai Qanun Jinayat tidak adil terhadap non-Muslim dan anak-anak

Aktivis Aceh menilai Qanun Jinayat tidak adil terhadap non-Muslim dan anak-anak

Sejumlah aktivis menilai hukum Syariat Islam tidak adil jika diterapkan pada lebih dari 90.000 warga non-Muslim di Aceh

BANDA ACEH, Indonesia – Aktivis masyarakat sipil Aceh menilai Qanun Jinayat yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Sabtu (27/9) lalu tidak adil dan tidak memiliki kepastian hukum jika tetap diterapkan pada warga non-Muslim.

“Hukuman dalam Islam adalah bagian dari taubat. Ketika (Qanun Jinayat) diterapkan pada non-Muslim, apakah ini cara mereka bertaubat?” kata Direktur Eksekutif Koalisi LSM Hak Asasi Manusia Aceh, Zulfikar Muhammad, Senin (6/10).

“Jadi, ini bentuk ketidakadilan terhadap non-Muslim. “Belum jelas hukuman bagi non-Muslim berlaku sama dengan pelanggar Muslim sebagaimana diatur dalam qanun jinayat,” lanjutnya.

Zulfikar juga mengatakan, belum ada kepastian hukum dalam Qanun Jinayat tentang pelaksanaan teritorial. “Seseorang yang melakukan jarimah (pelanggaran hukum Islam) di Aceh, jika lolos bagaimana mekanisme ekstradisi ke Aceh? Tidak ada mekanismenya baik dalam Qanun Jinayat Hukum Acara maupun Qanun Jinayat sebagai hukum materiil,” dia dikatakan.

“Tinggal berdiri di perbatasan Aceh dan Sumut, berjabat tangan dengan WH (Wilayatul Hisbah atau polisi syariah). Masalahnya sudah selesai. “Ini yang kami sebut tidak ada kepastian hukum,” ujarnya lagi.

Qanun Hukum Acara Jinayat merupakan peraturan daerah di Aceh yang mengatur tentang tata cara proses penyidikan, penyidikan baik oleh polisi syariah maupun polisi umum dan kejaksaan hingga persidangan di pengadilan syariah. Qanun ini telah disahkan DPRA pada bulan Desember 2013.

Menurut Zulfikar, aktivis masyarakat sipil Aceh pernah memberikan masukan kepada DPRA mengenai pelaksanaan pemberlakuan wilayah, namun tidak diakomodir. Selain itu, terdapat beberapa pasal yang multitafsir sehingga apabila diterapkan terhadap non-Muslim akan terjadi diskriminasi hukum, ujarnya.

Ramli Sulaiman, mantan Ketua Komisi G yang menyusun rancangan Qanun Jinayat, mengaku selama dua tahun lebih melakukan pembahasan, mereka belum pernah melakukan audiensi dengan warga non-Muslim di Aceh yang berjumlah sekitar 90.000 orang.

“Sesuai aturan, tidak ada kewajiban memanggil non-Muslim saat audiensi. “Tetapi kami sudah mempublikasikan melalui media massa bahwa qanun ini akan berlaku bagi mereka,” ujarnya kepada wartawan, 24 September lalu.

Ramli mengatakan, pencantuman klausul tersebut bisa menjerat non-Muslim karena perintah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam undang-undang tersebut terdapat pasal bahwa non-Muslim yang melakukan kejahatan syariah dapat diproses berdasarkan hukum jinayah jika pelanggaran tersebut tidak diatur dalam KUHP atau peraturan lain di Indonesia.

Qanun Jinayat mengatur tentang perbuatan bersunyi-sunyian, perjudian, meminum minuman beralkohol, perzinahan, menuduh orang melakukan perzinahan, putusnya hubungan antara laki-laki dan perempuan tanpa nikah, pemerkosaan, pelecehan seksual, dan hubungan seksual sesama jenis. Pelanggar diancam akan dipukul sebanyak 10 hingga 200 kali. Ada pula denda 200 hingga 2.000 gram emas murni dan kurungan 20 bulan hingga 200 bulan.

Azriana, Direktur Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RpuK), menyatakan meski Qanun Jinayat sudah disahkan, namun masih ada ruang untuk tidak ditegakkan. Apalagi dalam qanun tersebut disebutkan akan berlaku mulai tahun depan. Dalam waktu dekat, kata dia, Jaringan Perempuan Aceh yang merupakan gabungan beberapa lembaga perempuan akan mencoba bertemu dengan Gubernur Aceh Zaini Abdullah.

“Dalam 30 hari ke depan, kami akan mencoba bertemu dengan Gubernur Aceh untuk mendesak beliau menunda penandatanganan Qanun Jinayat, karena masih terdapat beberapa pasal kontroversial yang multitafsir,” ujarnya.

Salah satunya, menurut aktivis perempuan tersebut, di dalam Qanun Jinayat terdapat pasal yang bisa membuat anak-anak Aceh berisiko dipukuli. Hal ini didasarkan pada klausul perzinahan dengan anak, padahal “anak harus dilindungi karena dapat menjadi korban pemerkosaan orang dewasa”.

“Dalam Qanun Jinayat juga ditentukan bahwa pelaku pemerkosaan dapat terbebas dari jeratan hukum apabila ia bersumpah sebanyak lima kali tidak akan melakukan pemerkosaan. “Jelas akan merugikan perempuan korban pemerkosaan,” ujarnya. —Rappler.com

HK Prize