Perempuan Jadi Anggota KPK, Ada Apa?
- keren989
- 0
Menjadi seorang wanita memang tidak mudah, apalagi menjadi seorang ibu. Setidaknya begitulah ibuku. Mungkin akan sangat mudah untuk mempekerjakan pendamping anak, tapi ibu saya tidak mau. Dia merawat 5 anaknya sendirian. Ya, terkadang ayah membantu saat ibu sakit. Ibuku yang mengerjakan sisanya mitra.
Itu sebabnya saya berusaha menghormati wanita semaksimal mungkin. Bukan karena itu feminis. Saya benci label itu, bagi saya itu mengurangi banyak hal.
Tapi ya, meski mengaku menghormati wanita, dia tetap saja menganiaya mereka beberapa kali tanpa disadari. Entah melalui lelucon seksis atau mungkin paksaan, apa kamuSaya bukan orang suci Ya.
Jadi aku selalu kagum pada orang-orang yang bisa menghargai wanita. Dibutuhkan keberanian untuk menghormati wanita.
Oleh karena itu, salah satu hal yang membuat pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo sedikit lebih baik adalah keputusannya dalam memilih 8 menteri wanita. Ini merupakan hal yang baik, sangat baik, mengingat peradaban patriarki di Indonesia, pilihan terhadap perempuan menjadi hal yang sering dijadikan bahan gunjingan.
Misalnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang merupakan salah satu menteri yang kinerjanya terbaik dan paling dipuji banyak orang.
Maka ketika muncul keputusan untuk memilih 9 perempuan sebagai panitia seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), saya rasa keputusan ini patut diapresiasi secara positif. (BACA: Jokowi Pilih 9 Perempuan Jadi Anggota KPK)
Meski tentu saja akan ada penolakan dan reaksi negatif. Salah satunya datang dari Abdullah Hehamahua yang mengatakan hal ini panel calon pimpinan KPK yang semuanya perempuan adalah hal yang negatif. Dia mengatakan bahwa akhir dunia sudah dekat. Ini kutipan dari JPNN:
“Maaf, saya seorang muslim dan selalu berusaha menjadi muslim yang baik, maka saya yakin dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang pernah bersabda: “Barangsiapa menyerahkan urusan pemerintahan kepada perempuan, maka ia menanti kehancuran.”
Bagi saya itu menarik. Ingat, seperti yang saya katakan di awal, menjadi seorang wanita tidaklah mudah.
Penulis Charles Bukowski selesai pernah berkata: “Seorang wanita adalah pekerjaan penuh waktu. Anda harus memilih profesi Anda.”
Daripada merendahkan, saya membacanya sebagai sesuatu yang memberdayakan. Menjadi seorang wanita bukanlah hal yang mudah, apalagi di negeri ini.
Perempuan harus menjaga sikap, kalau tidak sama saja dengan pelacur. Wanita harus menjaga dirinya sendiri, jika tidak maka akan sama saja prajurit infanteri. Wanita harus menjaga kata-katanya atau hal itu akan terjadi tuntutan hukum. Perempuan harus menutupi tubuhnya atau biayanya akan murah.
Sungguh menakjubkan betapa diksi negatif perempuan berbeda-beda, namun tidak sebaliknya.
Jadi kalau ada orang seperti Abdullah Hehamahua, ya biasa saja. Di negeri ini, perempuan yang baik mungkin harus melewati tes keperawanan, untuk membuktikan apakah “kesuciannya” masih utuh atau tidak.
Sebab, perawan adalah satu-satunya standar moral manusia. Keperawanan tentu saja tidak.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Fuad Basya mengatakan, tes keperawanan dilakukan terhadap calon anggota perempuan untuk mencari calon yang sehat jasmani dan rohani.
““Jika alasan hilangnya keperawanan karena hubungan seksual, berarti kondisi mental calon prajurit tersebut sedang tidak baik.” ujar Fuad. Lalu bagaimana dengan calon tentara yang tidak perawan? Bagaimana cara mengukurnya?
Saya pun mencoba mencari komentar Abdullah Hehamahua mengenai tes keperawanan yang dilakukan TNI. Barangkali sebagai seorang muslim yang baik ia akan mempunyai bekal hadis atau ayat yang dapat membenarkan hal tersebut.
Karena siapa tahu itu hanya angan-angan saja, mungkin kiamat akan lebih cepat datang karena perempuan menjadi pemimpin, bukan karena Kehormatan perempuan terdegradasi karena tes keperawanan.
Namun apa yang disampaikan Abdullah Hehamahua barangkali tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan komentar Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Merdeka Malang, Bapak Yang Terhormat. Samsul Wahidin, dalam artikelnya yang dimuat di Menjawab.
Dalam artikel tersebut, Yang Mulia menulis: “Dengan memilih semua panelis perempuan, ini sudah merupakan kelemahan yang melekat.” Menarik bagi saya, seorang profesor hukum negara mampu memberikan pernyataan yang begitu kuat.
Apa itu cacat lahir? Cacatkah jika perempuan yang punya kredibilitas dan ilmu terbukti menjadi panitia seleksi? Bagaimana sebenarnya Anda mengukur kredibilitas dan akuntabilitas?
Tuan yang terhormat. Samsul mengatakan, akuntabilitas yang tercermin dari profil 9 panitia seleksi dapat diterima secara sosial. Menurutnya, hal itu terjadi pada laki-laki, bukan pada perempuan.
Lalu bagaimana kita mengukur misalnya akuntabilitas Destri Damayanti, Ketua Pansel KPK? Nyonya. Destri dikenal sebagai pakar ekonomi dan keuangan serta menjabat sebagai Chief Economist PT Bank Mandiri Tbk.
Sebelum bergabung dengan Bank Mandiri, beliau menjabat sebagai Chief Economist di Mandiri Sekuritas dan menjadi asisten peneliti di Harvard Institute for International Development pada tahun 1999.
Dalam artikel tersebut, Yang Terhormat Bpk. Samsul mengatakan, “Tidak masalah di mana atau di mana pimpinan KPK dipilih. Yang paling tahu pelaksanaannya adalah laki-laki. Mengutarakan hal ini kepada perempuan cenderung fitnah.”
Jadi sebenarnya artikel ini juga tidak ada gunanya karena dari awal pak. Samsul menghilangkan peran perempuan, apapun dan bagaimana pun pencapaiannya.
Jadi mungkin kita harus menyebut ini Tuan yang terhormat. Samsul bertanya. Benarkah, katakanlah, Ny. Betti Alisjahbana yang merupakan perempuan pertama di Asia Pasifik yang menduduki jabatan Presiden Direktur IBM pada tahun 2000, tidak layak menjadi anggota Pansel hanya karena ia perempuan?
Atau bisakah Tuan yang terhormat. Samsul menjelaskan alasan Ny. Yenti Ganarsih, Dokter Spesialis Pencucian Uang Pertama di Indonesia, Tak Layak Jadi Anggota Pansel KPK?
Kita harus belajar karena dalam artikelnya bapak yang terhormat. Samsul menulis: “Jadi bagaimana mungkin mengangkat perempuan sebagai orang kunci dalam pembentukan kepemimpinan KPK yang kuat, padahal dalam perspektif ini perempuan adalah sumber kerugian?”
Barangkali sebagai seorang profesor ia mempunyai landasan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Saya harap itu Pak. Tulisan Samsul merupakan sebuah sindiran. —Rappler.com
Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Penulisannya bergaya satir penuh sarkasme. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.