• November 27, 2024

Kegagalan pemerintah dalam mengatasi pelanggaran HAM

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Dapatkah kita mengatakan bahwa pelanggaran HAM berat ini mulai terlihat titik terangnya?

Berbahagialah Letkol Taufik Zega. Sebab, di tengah ramainya boikot yang dilakukan aparat kepolisian dan TNI di berbagai daerah, ia justru memerintahkan anak buahnya menonton film dokumenter. Kesunyian atau Tampilan Keheningan menggambarkan cuplikan peristiwa pembunuhan massal tahun 1965-1966.

Ratusan tentara yang menyaksikan karya sutradara Amerika Serikat Joshua Oppenheimer di markas besar Semarang sungguh penting. TNI berhak melihat akibat jangka panjang dari rentetan panjang pembantaian di Indonesia pada masa itu. TNI memang memiliki keterlibatan langsung dan pemutaran film di kalangan TNI sangat diperlukan untuk memberikan edukasi dan mendorong pemahaman baru mengenai kejadian tersebut.

(BACA: Korban 1965: Bergerak Diam untuk Memecah Keheningan)

Menurut saya, film Joshua sejak awal ditujukan untuk seluruh masyarakat Indonesia, tanpa memandang pangkat dan golongan. Selain itu, TNI memiliki hubungan langsung dengan pembunuhan massal brutal terhadap lebih dari 500.000 orang yang diduga mendukung dan bersimpati dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Selain itu, kelompok anarkis kerap “memblokir” pemutaran film dan diskusi buku terkait komunisme. Mereka adalah kelompok yang sesat dan memiliki ketakutan konyol terhadap ideologi yang ditemukan oleh tokoh revolusioner Rusia Vladimir Lenin, yang gagasannya dikenal juga dengan nama Marxisme-Leninisme.

(BACA: Kekerasan anti-komunisme masih hidup dan berkembang di Indonesia)

Kemudian, setelah beberapa anggota satpam nasional melihat Kesunyian, apa yang kita harapkan? Apakah semua institusi militer akan segera mengikuti jalur serupa? Bisakah pemirsa TNI segera memahami peristiwa 1965-1966 yang bukan sekedar operasi militer, tapi sebenarnya pelanggaran HAM berat di abad 21?

Dapatkah kita mengatakan bahwa pelanggaran HAM berat ini mulai terlihat titik terangnya?

Aktivis hak asasi manusia menyatakan bahwa pemutaran film tersebut untuk TNI dapat menjadi langkah awal dalam menjembatani proses rekonsiliasi antara tentara dan para korban.

(BACA: 5 Kasus Besar Pelanggaran HAM di Indonesia)

Meskipun mendapat pujian dari Letkol. Namun langkah Taufik sudah diketahui para sejarawan Bonnie Triyana ragu akan ada respon cepat dari pemerintah untuk segera mengatasi masalah ini.

Saya setuju dengan Bonnie.

Tidak dapat dipungkiri bahwa upaya yang dilakukan untuk menunjukkan urgensi penanganan hak asasi manusia pada tahun 1965-1966 banyak dimajukan melalui diskusi, film, karya sastra, dan bentuk seni lainnya. Manifesto kebudayaan Orde Baru yang dibantah oleh PKI dan simpatisannya, kini ditentang oleh kebudayaan masa kini. Sebuah upaya yang patut diapresiasi dan tidak sia-sia. Sebab, meski belum sepenuhnya, sebagian masyarakat Indonesia sudah mendapatkan pandangan baru terhadap sejarah masa lalu bangsa ini.

Tapi bagaimana dengan pemerintah? Padahal, pemerintah memegang kunci untuk membongkar kejahatan ini. Pemerintah harus mendukung setiap upaya yang ada dengan memberikan kontribusi, misalnya mengatur kebijakan yang menjamin keamanan ruang diskusi publik tentang komunisme atau film seperti Kesunyian atau pendahulunya, Tukang daging.

Dan yang tidak kalah penting adalah pembatalan MPRS Tipe No. XXV/MPRS/1966.

Hukum Newton menyatakan jika ada aksi maka akan terjadi reaksi. Dalam konteks ini, upaya berupa budaya dan investigasi yang dilakukan Komnas HAM merupakan tindakan untuk menegakkan keadilan bagi seluruh korban kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut. Sebagai catatan, pada tahun 2012 Komnas HAM telah menyerahkan dokumen investigasi terkait pelanggaran HAM tahun 1965-66 kepada Kejaksaan Agung dan juga kepada mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Namun sayang, SBY memilih mengabaikan rekomendasi Komnas HAM. Ibarat mendorong tembok beton, SBY memilih cuek. Sikap tersebut memang munafik mengingat ia sendiri yang memerintahkan penyelidikan ini pada tahun 2008.

Kini, apakah Joko “Jokowi” Widodo akan mengulangi kekosongan tersebut? Sejauh ini, Jokowi belum memberikan indikasi untuk menangani masalah hak asasi manusia seperti yang dijanjikannya selama kampanyenya. Bahkan, masa pemerintahannya bahkan diawali dengan eksekusi enam narapidana narkoba dan sejumlah narapidana lainnya kini menunggu untuk terkena peluru. Sebuah kebijakan yang sama sekali tidak mencerminkan komitmen terhadap penegakan HAM di Indonesia.

Kapan presiden dan menterinya akan menonton? Kesunyian? Akankah itu terjadi? —Rappler.com

Karolyn Sohaga adalah seorang aktivis sosial yang memiliki ketertarikan pada sastra, isu perempuan dan hak asasi manusia.

sbobet88