• September 24, 2024

Google Sidewalk Labs: Kota Mendorong Inovasi

Kota ini begitu kompleks, namun pada saat yang sama juga seksi.

Kota bukanlah sesuatu yang mudah untuk dipahami, apalagi karena kompleksitasnya. Jakarta misalnya, setiap hari ada sekitar 9 juta hingga 12 juta orang yang mengambil keputusan berbeda-beda. Pada akhirnya, hal-hal tersebut akan mempengaruhi dinamika mobilitas ke dalam politik, baik dalam hal sederhana seperti mengubah rute seseorang dari rumah ke tempat kerja, hingga keputusan gubernur untuk memberikan izin daur ulang, misalnya.

Namun, di balik berbagai permasalahan yang ada, tampaknya Jakarta juga menyimpan banyak potensi dan janji. Setidaknya itulah kesan saya saat membaca media release dari Google tentang peluncuran tersebut Lab Trotoar hari ini, Jumat, 12 Juni.

Melalui akun Google+ miliknya, CEO Google Larry Page mengumumkan sebuah inisiatif yang akan fokus pada peningkatan kualitas kehidupan perkotaan untuk semua, dengan mengembangkan teknologi perkotaan yang dapat mengatasi permasalahan klasik perkotaan. Masalah-masalah ini mencakup biaya hidup, transportasi dan konsumsi energi.

Sidewalk Labs akan dipimpin oleh Dan Doctoroff, yang juga merupakan rekan dekat mantan Walikota New York Michael Bloomberg. Setelah masa jabatannya sebagai walikota, Bloomberg ditunjuk sebagai utusan khusus untuk perkotaan dan perubahan iklim. Bloomberg juga dikenal inisiatifnya yang memberikan kesempatan kepada walikota di seluruh dunia untuk bersaing mendapatkan pengakuan dan pendanaan.

Perhatian terhadap perkotaan memang semakin intens akhir-akhir ini, dari IBM dengan kampanyenya Kota yang lebih cerdas yang dimulai dari tahun 2008, menjadi satu konferensi Internasional New Cities Summit yang baru saja selesai di Jakarta. Kota juga menjadi objek komersial yang menguntungkan.

Tentu saja, ketika IBM mengkampanyekan Smarter Cities, mereka tidak lupa menjual solusi teknologi kepada pemerintah kota. Begitu pula dengan Cisco yang memilih untuk mempublikasikan isu tersebut Internet segalanyaberpartisipasi dalam menjual solusinya awan untuk keamanan. Bahkan Citibank mengeksploitasi permasalahan perkotaan melalui inisiatif internal bidang inovasi ekonomi perkotaan.

Masuknya Google ke dalam kancah perkotaan semakin menegaskan bahwa kota dan urbanisasi menjanjikan peluang dan inspirasi, terutama yang berkaitan dengan inovasi. Baik Google, IBM, dan Cisco melihat permasalahan perkotaan dari sudut pandang yang berbeda, dan mengajukan pertanyaan yang berbeda. Bagi mereka, segala sesuatu mulai dari kemacetan lalu lintas hingga polusi bukanlah sesuatu yang negatif, melainkan sebuah insentif untuk berinovasi.

Namun kita mungkin masih harus menebak-nebak apakah Google akan memiliki nuansa yang sama dengan pendahulunya yang sangat menekankan dan mengandalkan teknologi. Nuansanya sama seperti Uber untuk GE atau IBM, sama-sama memanfaatkan permasalahan perkotaan untuk menghasilkan keuntungan.

Bagaimana dengan kota-kota di Indonesia, khususnya Jakarta, dengan semakin banyaknya inovasi teknologi yang terinspirasi dari kota dan permasalahannya?

Bagi kota-kota di Indonesia yang sebagian besar belum mampu merancang dan merawat trotoarnya dengan baik, belum tentu solusi dan inovasi yang ditawarkan dapat terserap dengan baik. Solusi yang sarat dengan teknologi tinggi hanya cocok untuk kota-kota yang sudah memiliki kebutuhan teknologi tinggi, seperti Seoul hingga Pittsburgh atau San Francisco.

Faktanya, kota-kota di Indonesia tidak sendirian, masih banyak kota-kota di belahan bumi selatan yang belum mampu menyerap kemajuan teknologi secara maksimal. Jadi saya pikir alangkah baiknya jika Google bisa mengisinya celah yang sudah ada, yang sejauh ini diabaikan oleh raksasa inovasi.

Mampukah Google menciptakan inovasi dan teknologi yang tidak diskriminatif? Inovasi yang terlalu canggih hanya akan memperlebar kesenjangan antara kota yang sudah siap dan modern dengan kota yang masih “setengah matang” atau “terbelakang”, seperti di Indonesia.

(BACA: Keselamatan pejalan kaki di Indonesia terancam)

Saya melihat karakteristik tertentu yang terdapat di sebagian besar kota di Indonesia, khususnya kota primer dan sekunder, berbeda dengan kota-kota maju yang menjadi sasaran IBM dan Cisco. Tingkat penggunaan telepon seluler, termasuk telepon pintar, semakin meningkat tertinggi di dunia, bahkan dengan waktu pemakaian rata-rata hingga 3 jam per hari. Namun pada saat yang sama, para penduduk ini tinggal di kota-kota yang tampaknya belum tersentuh oleh perencanaan, infrastruktur dan teknologi yang baik. Indonesia belum lengkap dalam pengalaman revolusi industri.

Secanggih apapun teknologinya, pembangunan perkotaan sebenarnya membutuhkan lebih dari sekedar inovasi teknologi. Internet untuk segala atau analisis data besar belum tentu bisa memperoleh hasil-hasil yang muncul dari penelitian antropologi hingga pertemuan partisipatif warga kota. Kebijakan dan inovasi baru sering kali datang bukan dari analisis ribuan CCTV dan perhitungan superkomputer, namun dari diskusi balai kota.

Faktanya, strategi dan inovasi yang dilakukan warga kota ‘setengah matang’ seperti Jakarta adalah hal yang mungkin tidak terbayangkan oleh perusahaan teknologi tinggi. Contoh inovasi tersebut adalah ojek yang lahir sebagai salah satu strategi mengatasi kemacetan. Tentu menarik jika Sidewalk Labs juga ikut berpartisipasi dalam upaya menciptakan solusi orisinal seperti ojek.

(BACA: Minta Ditepuk: Jangan Ambil Hak Pejalan Kaki)

Bukan hanya strategi inovasi Sidewalk Labs saja yang ditunggu-tunggu, namun juga bagaimana peran generasi muda dalam mendorong inovasi perkotaan. Generasi muda yang lahir pada tahun 1990an tumbuh di era informasi dan teknologi yang berubah dengan cepat.

Mereka adalah orang-orang yang akrab dengan teknologi dan mendapat pendidikan yang lebih baik dibandingkan generasi sebelumnya. Generasi mudalah yang ketika mereka dewasa, harus hidup dengan konsekuensi dari keputusan dan banyak kesalahan di masa lalu.

Salah satu perbedaan mendasar antara generasi sebelumnya atau analog dengan generasi milenial adalah kemudahan dalam berpindah tempat, mencari kota yang menawarkan lebih banyak peluang dan janji. Generasi muda harus diberi andil dan perhatian yang besar dalam penentuan tata ruang, karena mereka tahu apa yang mereka cari dan harapkan dari kota.

(BACA: Membangun Jakarta sebagai kota ramah gender)

Para pengambil kebijakan perkotaan sejauh ini telah menghasilkan pendidikan ‘analog’. Bagaimana kebijakan penataan ruang yang ‘analog’ yang berlaku jangka panjang hingga 20 tahun bisa diterapkan di era digital seperti ini?

Saya menaruh harapan besar kepada generasi muda dalam upaya berkelanjutannya mencari solusi bagi kota Jakarta. Harapan yang sama juga berlaku pada inisiatif terbaru Google, yakni tertarik untuk memperhatikan sebagian besar kota di belahan bumi selatan yang masih dalam masa transisi dari analog ke digital.

Lakukan lebih dari sekedar mencari teknologi tercanggih, namun carilah teknologi yang membantu seluruh penduduk kota, apapun tingkat kecanggihannya, sehingga mereka dapat melakukan revolusi perkotaan agar lebih berkelanjutan. —Rappler.com

Elisa Sutanudjaja adalah Eisenhower Fellow, editor Jakarta Facts, dan salah satu pendiri rujak.org. Ia juga seorang aktivis sosial, reporter data terbuka dan warga kota Jakarta. Ikuti Twitter-nya @elisa_jkt.


Togel Singapura