Mengapa anak muda Indonesia terobsesi dengan pernikahan
- keren989
- 0
Mengapa generasi muda Indonesia terlihat tidak sabar untuk menikah? Apakah mereka mudah tertipu oleh film propaganda, buku, dan lagu cinta?
HUT ke-70 Republik Indonesia tidak hanya disambut dengan semangat cinta tanah air, namun juga dengan meme viral beredar di dunia maya. Logo kemerdekaan kita yang ke-70 ini rupanya dijadikan bahan lelucon untuk menyinggung perasaan para pasangan dan para lajang.
Meski keberadaan meme ini bisa dianggap remeh, namun tingkat ekspektasi masyarakat Indonesia terhadap pernikahan memang tinggi dan serius.
Apa yang membuat masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, begitu terobsesi dengan pernikahan – bahkan sampai-sampai menganggap status lajang sebagai sebuah hal yang lucu? Apa yang kita ketahui sejauh ini tentang sejarah pernikahan dan cinta?
Dibalik logo 70 tahun kemerdekaan terdapat doa untuk para jomblo http://t.co/WDMT64cpPT pic.twitter.com/j9ORpbOekq
— Resmi 1CAK (@onecak) 11 Maret 2015
Berdasarkan video berjudul Sejarah cinta dibuat oleh The School of Life yang disiarkan di YouTube, semuanya dimulai pada tahun 1775 SM di Mari, Suriah. Pernikahan tersebut dimanfaatkan Raja untuk memperluas pengaruhnya. Dia menikah dengan seorang putri Yamhad.
Di sini pernikahan digunakan sebagai alat untuk menyebarkan perdagangan dan kekuasaan. Tradisi ini diwariskan kepada generasi berikutnya. Di zaman ini, cinta bukan berarti pernikahan suci. Pernikahan dikatakan sempurna jika dapat membawa manfaat dalam perluasan koneksi, perekonomian, dan pertahanan negara.
Lain halnya dengan Rudell, satu orang penyanyi (penyair) asal Perancis yang memandang cinta sebagai sesuatu yang sensitif. Saat berlayar ke Tripoli, ia bertemu dan jatuh cinta dengan istri seorang bangsawan. Sejak saat itu, Rudell menulis puisi cinta tentang kebahagiaan dan kesedihan untuk wanita yang dicintainya.
Dari puisi-puisi yang ditulisnya, Rudell tidak pernah menulis puisi tentang uang, keluarga dan kelangsungan dinasti, meski ia jatuh cinta. Dia hanya menikmati perasaan cintanya pada wanita yang dipujanya.
Sedangkan menurut Raja Louie XXIV dari Perancis, cinta dan pernikahan adalah dua hal yang berbeda. Ia mempertahankan kekuasaannya dengan memiliki seorang ratu untuk mencapai tujuan negara dan puluhan selir untuk memenuhi kebutuhannya akan cinta.
Pemahaman kuno tentang cinta dan pernikahan membuat novelis klasik Jane Austen menyadari dangkalnya makna peristiwa yang seharusnya jauh lebih bermakna.
Bagi Austen sendiri, pernikahan tidak boleh didasari oleh cinta atau ambisi materi semata. Baginya, pernikahan harus dibarengi dengan cinta dan juga kemampuan mengatur dan mengukur hal-hal praktis.
Karya Austen membentuk pemahaman baru tentang pernikahan di abad ke-19 dan mendefinisikan makna pernikahan modern. Austen memperkenalkan pendidikan baru tentang cinta. Ia percaya keseimbangan dalam cinta akan mengalir dengan sendirinya.
Bicara soal sesuatu yang natural dan ilmiah, Darwin justru memandang konsep romansa dengan pesimistis. Sebagai seorang penulis buku, Asal usul spesiesIlmuwan ini menyatakan bahwa manusia setengah kera/primata tidak memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan romantis yang langgeng.
Jadi konsep pernikahan adalah sesuatu yang akan selalu gagal bagi banyak orang. Ia juga menilai wajar jika orang melakukan hubungan seksual dengan lebih dari satu pasangan.
Ini adalah pandangan yang mirip dengan “generasi bunga” atau “generasi bunga” lahir di Amerika Serikat pada tahun 1965, yang memobilisasi tindakan melawan kehidupan modern dan mendorong gaya hidup yang “membumi”.
Generasi kembang ini menegakkan kebebasan cinta bagi pasangan di luar nikah dan pasangan sesama jenis. Mereka memandang peraturan perkawinan yang ada sebagai penindasan atau penindasan terhadap kebebasan.
Namun, penelitian pada tahun 2015 menunjukkan bahwa tingkat perceraian juga lebih tinggi di negara-negara seperti Belgia, Amerika Serikat, Inggris, Hongaria, dan Portugal. Dan rata-rata pasangan yang bercerai ini adalah mereka yang lahir dari “generasi bunga”.
Mungkin selama ini kita disesatkan oleh propaganda film, buku, lagu cinta bahkan produk media sosial yang menceritakan kisah-kisah manis yang merayakan cinta. Maka wajar jika generasi muda Indonesia terkesan tidak sabar untuk segera menikah karena diindoktrinasi hanya dengan ekspresi manis saja.
Padahal, pernikahan pada hakikatnya memerlukan kompromi dan didorong oleh pengorbanan. Memutuskan untuk menikah bukan hanya berarti kita terikat pada semua hal yang dirasa baik, namun juga sebaliknya.
Tidak semua cita-cita pernikahan kita akan tercapai, karena tidak semua kisah cinta berjalan mulus. Namun, pandangan tersebut tidak harus menjadi ancaman untuk menjalin hubungan cinta yang serius. Karena mengalami kendala dalam hidup adalah sesuatu yang wajar.
Sementara itu, tidak ada keadaan yang lebih mulia atau lebih baik antara mereka yang hidup berpasangan dengan mereka yang masih lajang. Semuanya bergantung pada sudut pandang masing-masing individu untuk memaksimalkan potensi kita sebagai individu dalam hidup.
Jadi seperti kata Austen, cinta akan mengalir dengan sendirinya. —Rappler.com
Ayu Meutia adalah manusia copywriter di sebuah agensi kreatif independen di Jakarta dan pecinta puisi. Kunjungi pemikirannya di adjoemoetia.blogspot.com.
BACA JUGA: