Rekaman tingkah laku dan cerita Ekspedisi Indonesia Biru
- keren989
- 0
DENPASAR, Indonesia — Dua tamu mengejutkan kami Sabtu sore 7 Maret lalu, Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Suparta. Mereka adalah videografer dan fotografer yang berkeliling Indonesia sebagai bagian dari “Ekspedisi Indonesia Biru”.
Keduanya datang lebih cepat dari perkiraan awal kami. Menurut informasi awal, mereka akan tiba di rumah kami pada malam hari. Ternyata mereka muncul di depan rumah kami di Bali sekitar jam 4 sore.
Mereka tiba dengan sepeda motor hasil modifikasi sendiri. Roda depan motor bebek 125 CC ini dilengkapi dengan peredam kejut (peredam kejut). Lingkar kemudi dibuat lebih tinggi sehingga terlihat seperti motor sport.
Mereka sengaja memilih motor bebek hasil modifikasi, bukan motor sport. “Untuk lebih menghemat bahan bakar,” kata Dandhy.
Di jok belakang sepeda motor, Dandhy dan Ucok membawa seluruh perbekalannya untuk bepergian keliling Indonesia hingga Desember 2015. Ada berbagai peralatan di sana seperti kamera DSLR, kamera di bawah airkamera gopro, ledakan, dan lain-lain. Saking besarnya tas tersebut, mereka harus mengikatnya dengan tali dari ban truk bekas.
Mereka memang menerapkan metode tersebut jurnalisme ransel alias jurnalisme ransel. Ucok lebih suka menyebutnya “mengembara seperti jurnalis”. Mereka membawa semua dokumentasi dan perlengkapan perjalanan di ranselnya. Tidak ada kru atau peralatan tambahan. (BACA: Inspirasi perlawanan warga Samin terhadap industri semen)
Kesenjangan sosial
Sejak 1 Januari 2015, kedua jurnalis tersebut melakukan perjalanan melalui Ekspedisi Indonesia Biru, sebuah saluran dokumenter Indonesia. Arah perjalanan mereka berlawanan arah jarum jam, dari ibu kota Jakarta ke arah timur sepanjang Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Setelah singgah di Lumajang selama dua minggu, mereka melanjutkan perjalanan ke Bali dan singgah di rumah kami.
Ekspedisi Blue Indonesia bermula dari keresahan Dandhy Laksono, jurnalis video yang juga pendiri agensi dokumenter. TontonDokter. Mantan jurnalis video SCTV dan RCTI ini prihatin dengan masih adanya kemiskinan struktural akibat terbatasnya akses terhadap lahan, energi, dan modal.
“Yang kami maksud dengan konsep biru adalah konsep kehidupan bermasyarakat yang berkeadilan ekonomi, berwawasan budaya, dan ramah lingkungan.”
Dandhy juga melihat model bisnis produksi massal justru menimbulkan ketergantungan dan kerentanan di negara kepulauan seperti Indonesia. Di sisi lain, kebijakan publik dan sistem keuangan juga memperkuat kesenjangan sosial.
“Ada yang salah dengan sistem perekonomian yang kita adopsi saat ini,” kata Dandhy.
Di sisi lain, menurut Dandhy, di negeri ini terdapat kearifan lokal yang tidak hanya masih bertahan namun juga menyelamatkan masyarakat adat tersebut. Oleh karena itu, Dandhy dan Ucok ingin mendokumentasikan dan mempublikasikan bagaimana konsep ekonomi biru diterapkan dalam masyarakat Indonesia berdasarkan kearifan lokal.
“Konsep biru yang kami maksud adalah konsep kehidupan bermasyarakat yang berkeadilan ekonomi, berwawasan budaya, dan ramah lingkungan,” kata Dandhy.
“Tidak ada hubungannya dengan konsep (Presiden Joko Widodo) Jokowi,” lanjutnya.
Larangan penjualan beras
Sejak memulai ekspedisi dari Jakarta pada awal tahun, mereka telah mengunjungi dua komunitas yang terpinggirkan oleh pembangunan dan komunitas yang masih memegang teguh nilai-nilai lokal.
Mereka menempuh perjalanan ribuan kilometer dan duduk berjam-jam di atas sepeda motor dari tahun 2003 hingga 2005. Pegunungan menjulang hingga ribuan meter di atas permukaan laut. Menerobos banjir. Ia bahkan terjatuh ke jurang.
“Jadi, bagaimana perasaan punggungmu?” tanyaku pada Ucok.
“Tidak ada yang salah dengan punggungku. “Sebenarnya bagian bawahlah yang terasa kaya dulu,” jawab Ucok lalu tertawa.
“Tetapi setelah dua minggu saya tidak merasakannya sama sekali. “Saya kebal,” lanjutnya.
Perhentian pertama mereka adalah Kampung Baduy Dalam di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Selama berada di sini, mereka melihat bagaimana suku asli ini melakukan praktik-praktik yang dekat dengan lingkungan. Tidak ada penggunaan teknologi atau produk modern lainnya, sabun atau sampo pun tidak.
Mereka harus meninggalkan kamera dan mencatat di kertas sisa rokok untuk mencatat bagaimana praktik ramah lingkungan diterapkan. Salah satu nilai lokalnya adalah larangan penjualan beras. Warga hanya bisa menukarnya dengan makanan lain.
“Mungkin nenek moyang mereka sadar betapa berbahayanya jika urusan pangan diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar,” kata Dandhy.
Dari Kampung Baduy Dalam mereka melanjutkan perjalanan ke “tempat belajar” lain yaitu Kasepuhan Ciptagelar. Secara administratif wilayah ini berada di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Jaraknya sekitar 28 km dari tempat wisata Pelabuhan Ratu, di pesisir selatan Pulau Jawa.
Di tempat yang berada di ketinggian 1.100 hingga 1.200 meter di atas permukaan laut ini, Dandhy dan Ucok mencatat sistem pertanian tradisional yang masih diselimuti berbagai mitos dan adat istiadat.
Di bawah kepemimpinan Abah Ugi Sugriana Rakasiwi, 29 tahun, warga Kasepuhan Ciptagelar mampu mewujudkan kedaulatan pangan dan energi. Mereka memiliki 8.000 lumbung dengan persediaan makanan hingga tiga tahun. Mereka juga telah menciptakan pembangkit listrik tenaga mikrohidro untuk memenuhi kebutuhan energi.
Cerita pertandingan
Tak hanya soal kearifan lokal, ekspedisi Indonesia Biru juga merupakan upaya mengumpulkan cerita perlawanan. Alhasil, kedua jurnalis tersebut pun mengunjungi komunitas Samin di Pati, Jawa Tengah. Di kawasan pegunungan Kendeng, para petani setempat memperjuangkan rencana pembangunan pabrik semen.
(BACA: Inspirasi perlawanan warga Samin terhadap industri semen)
Menurut metode tinggal diDandhy dan Ucok yang tinggal di rumah-rumah warga mengumpulkan cerita perlawanan. Seperti di dua tempat sebelumnya, mereka juga menceritakan kekayaan Samin yang tak kasat mata, nilai-nilai lokal.
Samin merupakan tokoh perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Nama lahirnya adalah Raden Surowijoyo (1859). Setelah ditangkap dan diusir, ia mengganti namanya menjadi Ki Samin Surosantiko. Nilai hidup Samin adalah hidup selaras dengan alam. Salah satunya adalah pelarangan praktik perdagangan karena dianggap sebagai pintu gerbang penipuan.
“Dalam jual beli diperbolehkan membeli seharga 10 kemudian menjualnya seharga 15. Hal ini dianggap sebagai praktik yang salah. “Sungguh luar biasa,” kata Dandhy.
Tempat terakhir mereka singgah sebelum ke Bali adalah suku Tengger di Jawa Timur. Di tempat ini, keduanya merekam bagaimana pariwisata secara perlahan mengubah ketahanan nilai-nilai lokal suku asli di sana. Saking glamornya pendapatan cepat dari pariwisata, sebagian petani di Tengger kini beralih menjadi pekerja pariwisata. Misalnya saja sebagai pemandu atau pemilik shelter.
Padahal, menurut Dandhy, pendapatan mereka sebagai petani kentang justru lebih tinggi meski membutuhkan waktu lebih lama.
Kini selama di Bali, mereka akan merekam bagaimana warga di Bali juga menghadapi ancaman pariwisata massal. Selain bertemu dengan penggiat gerakan Bali Tolak Reklamasi, Dandhy dan Ucok juga intensif mendata salah satu sistem wisata alternatif di Bali, Village Ecotourism Network (JED).
Ekowisata, menurut Dandhy, dapat menjadi alternatif industri pariwisata massal yang saat ini menimbulkan permasalahan sosial, lingkungan, dan budaya di Bali.
garis merah
“Jadi apa garis merah dari perjalanan lebih dari dua bulan ini?” Saya bertanya pagi ini dalam obrolan sambil sarapan.
“Kami melihat masyarakat adat di negeri ini sudah memiliki modal dasar untuk hidup berkelanjutan,” kata Dandhy.
Dengan menggunakan nilai-nilai lokal baik dari segi ekonomi, sosial, pangan maupun lingkungan, masyarakat adat dapat hidup harmonis dengan alam. Mereka dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa mengeksploitasi alam. Masyarakat adat mempunyai prinsip mengambil secukupnya dari alam.
Namun kini modernisasi justru mengancam nilai-nilai lokal tersebut. —Rappler.com
Anton Muhajir adalah seorang jurnalis dan blogger di Bali. Kunjungi blognya di anton.nawalapatra.com dan ikuti Twitter-nya @antonemus.