Peringati Tragedi Mei ’98 untuk mengenang kota Jakarta
- keren989
- 0
Ibarat sebuah ritual, media sosial dan media massa kembali ramai membahas kasus ini pada pertengahan Mei lalu tragedi Dan Kerusuhan Mei 1998.
Saya menulis itu juga pengalaman berada di tengah tragedi dan kerusuhan, saat saya masih menjadi mahasiswa tahun ketiga.Rangkaian peristiwa yang memuncak pada jatuhnya Soeharto sangat mempengaruhi pemikiran dan pilihan hidup saya. Saya juga yakin bahwa saya tidak sendirian.
Namun kenyataan berbicara sebaliknya, nampaknya generasi penerus belum tentu tahu, apalagi terpengaruh dengan apa yang terjadi pada Mei 1998. (BACA: Tragedi Mei 98, Hari Menuju Reformasi)
Dalam beberapa kesempatan berinteraksi dengan generasi kelahiran setelah tahun 1990, saya kerap mendapati mereka mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Suara Seorang Ibu yang Peduli ke Shafrie Sjamsoeddin adalah sesuatu yang aneh pada generasi ini sampai sekarang. Generasi ini adalah generasi yang mungkin belum pernah mendengar seruan, “Revolusi, revolusi sampai mati.”
Tahun ini sebenarnya bukan hanya peringatan 17 tahun Tragedi dan Kerusuhan Mei 1998, namun juga peringatan 50 tahun tragedi 30 September 1965 yang pada akhirnya memicu rangkaian peristiwa yang merenggut lebih dari 500 ribu nyawa (bahkan ada yang mengklaim 3 juta hidup) hingga meninggal di pulau Jawa, Bali, Sumatra. ke Kalimantan.
Peristiwa 1965-1966 juga menjadi hal yang tabu di masa Orde Baru. Saya adalah generasi yang harus menonton film hampir setiap tahun pada tanggal 30 September Pengkhianatan G30S/PKI di TVRI sebagai bagian dari kurikulum sekolah, sekaligus memperingati Hari Kesaktian Pancasila keesokan harinya.
Negara berperan besar dalam memutuskan apa yang harus diingat dan apa yang menjadi sejarah. Orde Baru secara sistematis menanamkan sejarah agar dikenal dalam berbagai struktur pendidikan, baik dalam bentuk mata pelajaran, karya sastra yang diperlukan dan wajib dikonsumsi, hingga yang berhak menjadi kenangan.
Seorang sarjana sastra Wijaya Herlambang yang meneliti film Pengkhianatan G30S/PKI bahkan menyatakan bahwa pemerintahan Orde Baru saat itu menggunakan media budaya untuk melegitimasi genosida. Generasi yang sempat menonton film tersebut berulang kali menganggap pembantaian terhadap PKI adalah hal biasa karena PKI terlihat sangat kejam dalam film tersebut.
Tidak ada tugu peringatan yang dibangun untuk memperingati ratusan ribu hingga jutaan nyawa yang hilang. Ada tugu peringatan 7 Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya, Jakarta Timur, dan beberapa taman lalu lintas yang menggunakan nama Ade Irma Nasution.
Peringatan tersebut sebenarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk membenarkan Orde Baru dan pelanggaran HAM yang menyebabkan ratusan ribu hingga jutaan korban tewas yang terjadi setelahnya.
Beberapa hari yang lalu saya bertanya di halaman Facebook saya mengapa sampai hari ini tidak ada satupun peringatan untuk memperingati ratusan ribu hingga jutaan orang yang meninggal setelah tahun 1965.
Johanes Widodo, seorang profesor arsitektur dari National University of Singapore, menanggapi status pertanyaan tersebut dengan mengatakan bahwa sebelum membangun sebuah tugu peringatan, harus ada penelitian yang obyektif berdasarkan data tanpa ada perasaan sentimental atau tujuan advokasi – yang belum pernah dilakukan. sampai sekarang.
Membangun tugu peringatan, apalagi dilakukan oleh negara, merupakan sikap politik. Pertanyaan yang sama juga dapat diterapkan pada mengapa tidak ada peringatan tragedi dan kerusuhan Mei 1998?
Pada tahun 2001 atau hampir 14 tahun lalu, terdapat sekelompok arsitek yang terdiri dari Andra Matin, Idris Samad, Sardjono Sani, Ahmad Djuhara dan Andrew Tirta. Mereka berkolaborasi dengan fotografer Agustinus Abimanyu, seniman Pintu Besar Selatan, serta mahasiswa Universitas Tarumanagara, Universitas Trisakti, dan Universitas Pancasila membangun instalasi berupa intervensi fasad pada bangunan-bangunan yang ditinggalkan pasca kerusuhan Mei 1998.
Mengutip Andrew Tirta, merupakan upaya arsitektur untuk menunjukkan kepedulian terhadap memori kolektif dan citra Glodok pasca kerusuhan Mei 1998. Yang masih teringat di benak saya adalah salah satu instalasinya.yang menggunakan mawar plastik merah tua yang menutupi fasad bangunan yang terbakar. Setelah itu, tidak ada upaya untuk mewujudkan tragedi dan kerusuhan Mei 1998 dalam bentuk gedung dan ruang publik.
Memang, tahun lalu Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, yang saat itu masih menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta, menetapkan batu pertama berdirinya Prasasti Tragedi Mei 1998. Dan pada hari ini, 12 Mei 2015, nama 4 mahasiswa Universitas Trisakti yang ditembak mati pada 12 Mei 1998 diabadikan menjadi nama jalan di Kabupaten Bogor. Namun yang kita perlukan lebih dari sekedar prasasti dan nama jalan. Kita membutuhkan suatu bentuk yang mampu merekam memori kolektif.
Pembangunan tugu peringatan tersebut merupakan upaya bersama negara dan masyarakat untuk menjaga kesadaran. Sejarah terulang kembaliadalah pepatah yang sering diucapkan ketika membahas peristiwa sejarah seperti tragedi dan perang.
Peringatan merupakan upaya agar tragedi dan sejarah buruk tidak terulang kembali, karena peringatan diharapkan menjadi wacana pembelajaran bersama yang diwariskan kepada generasi berikutnya. Peringatan adalah hutang generasi sekarang kepada generasi mendatang, sebagai produk yang memungkinkan terjadinya dialog antara kenangan dan masa depan.
Jakarta sebagai kota dengan bangunan dan tata kota sebagai artefaknya, sejatinya merupakan produk gagal Reformasi 1998. Reformasi 1998 yang melahirkan keterbukaan dan demokratisasi di berbagai bidang, nyatanya tidak terlihat dalam ruang kota Jakarta.
Kurang dari 5 tahun setelah reformasi, gubernur saat itu, Sutiyoso, lebih tepatnya pagar Monaspark dengan pagar kokoh setinggi 2,5 meter. Bundaran Hotel Indonesia direnovasi sedemikian rupa sehingga menyulitkan warga menyampaikan aspirasinya.
Ketakutan yang muncul pasca tragedi Mei 1998 semakin menguat masyarakat yang terjaga keamanannya serta upaya privatisasi jalan umum melalui meluasnya pembangunan portal pembangunan perumahan. Sutiyoso dan sebagian warga Jakarta memang belajar dari sejarah, namun mereka selektif memilih pembelajaran yang mengedepankan rasa takut dan otoritas tanpa adanya dialog.
Harapan Sekarang terserah pada pemerintahan baru, yang pada bulan April lalu mengeluarkan komitmen untuk melakukan investigasi 2 tragedi pelanggaran hak asasi manusia pada. Besar harapannya akan adanya penelitian objektif bersama seperti yang diungkapkan Johannes Widodo di atas, sehingga bisa menjadi momentum pembelajaran dan dialog bersama.
Sejarah, dan bagaimana bangsa dan negara menyikapi sejarah, merupakan faktor yang membentuk jati diri bangsa dan generasi mendatang. Akankah kita menjadi bangsa yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan belajar dari tragedi masa lalu atau sebaliknya? —Rappler.com
Elisa Sutanudjaja adalah Eisenhower Fellow, editor Jakarta Facts, dan salah satu pendiri rujak.org. Ia juga seorang aktivis sosial, reporter data terbuka dan warga kota Jakarta. Ikuti Twitter-nya @elisa_jkt