• November 25, 2024

Bergerak dalam diam untuk memecah kesunyian

Menteri Propaganda Nazi Joseph Goebbels pernah berkata bahwa kebohongan, jika diucapkan berulang-ulang, akan berubah menjadi kebenaran.

Tampaknya kutipan ini sangat tepat untuk mengungkapkan apa yang dilakukan pemerintahan militer di bawah presiden kedua Indonesia, Jenderal Soeharto. Selama hampir 32 tahun, propaganda memenuhi setiap sel ingatan masyarakat Indonesia dengan kebencian terhadap komunisme dan simpatisannya.

Film seperti “Pemkhianatan G30S/PKI” bukanlah hal yang aneh di era Orde Baru. Saya bahkan masih ingat adegan-adegan dari film itu. Film ini bercerita tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai musuh negara, oleh karena itu mereka layak untuk dimusnahkan. Tidak peduli mereka bagian dari negara ini, tidak peduli mereka adalah orang yang mempunyai suami, istri, saudara laki-laki, saudara perempuan, anak dan cucu. Tidak masalah jika mereka manusia. Rakyat berhak untuk hidup, rakyat berhak mempunyai ideologi, sekalipun bertentangan dengan pemerintah yang berkuasa.

Film telah lama menjadi ‘kebenaran’ yang meninabobokan kita hingga puluhan tahun. Nampaknya negara ini lebih memilih hidup nyaman dengan mengalami amnesia. Ironisnya, bukan hanya pemerintah dan pelaku saja yang kehilangan ingatan, namun tidak jarang keluarga korban atau penyintas tragedi itu sendiri enggan membicarakannya.

Namun tidak dengan Adi Rukun.

Dalam “Senyap”, film dokumenter karya sutradara Amerika Serikat Joshua Oppenheimer, yang diputar publik pada Senin (10/11) di Kompleks Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, diceritakan tokoh utama Adi. peristiwa pembantaian tahun 1965 dengan bertemu dengan beberapa pembunuh kakak laki-laki Ramli di kampung halamannya di Deli Serdang, Sumatera Utara. Saat kakaknya terbunuh, Adi belum lahir. Ia mengetahui dari ibunya bahwa anak sulungnya masih mengingatnya dengan sedih.

“Senyap” merupakan film kedua Oppenheimer yang berkisah tentang peristiwa berdarah 1965-1966 setelah sebelumnya ia sukses menyabet beberapa penghargaan untuk film dokumenter pertamanya, “Butcher”. Jika “Jagal” mengambil sudut pandang dari pelaku, berbeda dengan “Senyap” yang diceritakan melalui tokoh sebagai korban. (BACA: Doku tentang Pembunuhan Massal Indonesia Menang di Festival Film Busan)

Adi bertekad memecah kesunyian yang menyelimuti masa lalu bangsa ini – jika bukan Deli Serdang. Adi bertemu dengan para tukang jagal bahkan keluarga almarhum tukang jagal untuk menggali kenangan mereka tentang peristiwa tahun 1965 di desa tersebut.

Dan betapa beratnya hatiku – nyaris bercampur kebencian – melihat para tukang jagal di “Sinyah” begitu bangga mempraktekkan pembunuhan brutal yang mereka lakukan di depan kamera. Seolah-olah mereka adalah pahlawan yang patut diberi penghargaan. Dan seperti Anwar Congo di film “Butcher”, para tukang jagal di “Senyap” benar-benar merasa menjadi pahlawan.

Namun sebelum saya membiarkan kebencian menguasai saya, saya kemudian berpikir bahwa para penjagal ini mungkin juga menjadi korban. Seperti para korban meninggal, penyintas, dan keluarga korban, mereka saat itu dijadikan alat oleh pemerintah untuk mencapai kepentingan tertentu. Mereka bukanlah pahlawan, melainkan korban yang tidak tahu apa-apa kecuali telah ditipu tentang komunisme.

Adi menyoroti hal tersebut dalam filmnya. Dia mengatakan kepada salah satu pembunuh, yang sudah tua dan pikun serta memiliki seorang putri, bahwa dialah yang bertanggung jawab atas kematian Ramli. Bahkan putri tukang daging tidak mengetahui bahwa ayah tukang dagingnya telah melakukan hal-hal kejam yang tak terbayangkan ketika dia masih muda.

Begitu pula dengan keluarga lain yang ditemui Adi. Meskipun kedua putranya mengambil sikap defensif, istri tukang daging – yang meninggal tiga tahun lalu – sambil menangis meminta maaf kepada Adi, dengan mengatakan: “Biarkan (suami saya) tenang di sana”.Wanita itu hanya mengetahui ayahnya adalah seorang pahlawan –yang ditakuti– karena menjalankan tugasnya terhadap negara. Dan dia tampak terpukul dengan pengakuan ayahnya. Di penghujung pertemuan, perempuan tersebut memeluk Adi sembari meminta maaf atas segala perbuatan ayahnya terhadap Ramli, dan mungkin juga korban lainnya.

Film “Senyap” menunjukkan bahwa rekonsiliasi yang terus digalakkan oleh aktivis kemanusiaan seperti Komnas HAM merupakan sebuah proses yang sangat panjang dan sulit. Mungkin diperlukan generasi berikutnya yang memiliki keberanian untuk mendorong hal tersebut terjadi. Namun bukan berarti hal itu mustahil dilakukan saat ini. Adi menunjukkan kepada saya Senin sore yang bertepatan dengan Hari Pahlawan itu kepada penonton yang memadati Graha Bhakti Budaya TIM, bahwa hal itu dimulai dengan lambat.

Melalui kiprahnya sebagai penjual kacamata, Adi bergerak dalam keheningan untuk memecah keheningan itu sendiri. Ia sendiri mengaku tak ingin terus terjebak dalam stigma yang mengingkari korban 1965. Ia ingin kebenaran terungkap, meski harus dijalani dengan kepahitan dan kesulitan.

Namun sebelum saya membiarkan kebencian menguasai saya, saya kemudian berpikir bahwa para penjagal ini mungkin juga menjadi korban. Seperti halnya korban yang meninggal, mereka dijadikan oleh pemerintah saat itu sebagai alat untuk mencapai kepentingan tertentu.

Dan bagi kita yang belum tahu, langkah Adi juga diambil oleh Wali Kota Palu Rusdi Mastura. Pada tahun 2012, Rusdi secara resmi dan terbuka meminta maaf kepada mantan anggota PKI. Kepada keluarga korban, ia menjanjikan layanan kesehatan gratis dan beasiswa.

Secercah cahaya kini muncul di kegelapan.

Negara ini harus berterima kasih kepada Joshua Oppenheimer dan rekan direkturnya serta kru anonim lainnya di Indonesia. Demi rekonstruksi sejarah, mereka rela tetap anonim meski film ini dan “Butcher” mendapat banyak pujian internasional.

Merekalah pahlawan sesungguhnya. Adi adalah pahlawan sejati, bekerja dalam diam untuk menyampaikan pesan kepada anak bangsa, ada sesuatu yang tertinggal dan harus kita jemput: Kita tidak boleh melupakan sejarah.

Mungkin pengungkapan sejarah kelam harus dimulai secara diam-diam. Seperti sebuah revolusi. Kekuatan rakyat dikumpulkan secara bertahap hingga rakyat cukup kuat untuk menggugat pemerintah? Siapa tahu.

Tapi yang pasti, seperti Adi, saya berharap hari itu akan tiba. Mungkin tidak hari ini, mungkin tidak besok, mungkin tidak lusa. Namun setiap hari harapan terus tumbuh, hanya saja kita tidak boleh lupa.

Lagi pula, mana yang lebih layak mendapat tempat? Kebohongan yang dipoles indah seperti kaca, ataukah sebuah kebenaran yang perlu dipoles dengan susah payah sebelum menjadi berlian 24 karat?

Sampai hari itu tiba, saya berharap film seperti ini terus bergulir. Merangkul setiap hati dan kesadaran anak bangsa, termasuk pemerintah, untuk menyingkap tabir kelam tersebut.

Sampai hari itu tiba, saya berharap masih ada Adi dan Adi lainnya yang memberitahu dunia bahwa amnesia kolektif kita telah sembuh. Semoga kebenaran Adi menjadi awal bagi kebenaran lainnya.

Dan semua korban, baik penyintas maupun pembunuh, bisa saling berpelukan dan memaafkan. —Rappler.com

Karolyn Sohaga adalah seorang aktivis sosial yang memiliki ketertarikan pada sastra, isu perempuan dan hak asasi manusia.

Togel Singapura