Beras plastik, kepanikan dan kedewasaan masyarakat
- keren989
- 0
Berita bagus tentang beras plastik. Hasil uji labnya belum keluar, tapi media sudah melakukannya Berita Baru dengan kasar
Pakar gizi dan kesehatan pun langsung turun ke panggung menjelaskan bahaya konsumsi beras plastik. Kepanikan merajalela di masyarakat. Masyarakat takut, pemerintah bingung, pembenci langsung menuduh pemerintah tidak kompeten. Semuanya terjadi tanpa menunggu hasil tes lab keluar. Dan ternyata hasil tes berasnya negatif.
Setidaknya 4 dari 5 lembaga yang menguji validitas beras plastik mengumumkan hasil negatif, termasuk Bdan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Pusat Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
Hanya BUMN PT Sucofindo yang menyatakan hasilnya positif. (BACA: Kebingungan Beras Plastik, Sucofindo Akan Diusut)
Masyarakat yang panik sungguh sulit memprediksi tindakannya. Sangat tidak rasional. Seorang teman menelepon saya kemarin dengan nada serius. Inilah percakapan kami:
A: Wah, saya pikir saya sudah keracunan beras plastik. Sakit kepala, mual dan badan lemas. Seperti yang dijelaskan para ahli nutrisi di TV.
B: Wah, bagaimana ceritanya?
A: Sore ini saya sangat lapar. Kemudian makan di restoran Padang. Makanlah kepala ikan kakap, rendang, tunjang, daging kambing cincang dan tiga piring nasi. Baru saja dikirim akun, badanku tiba-tiba sakit. Pasti karena beras plastik.
B: Oh ya, Saudara laki-laki. Gajian masih seminggu lagi jadi aku bisa makan cepat. Iya aku bingung kamu gak punya uang. Jika saya membayar makanan Anda, Anda akan segera sembuh, bukan? Benar-benar baca trik murahan Anda.
Kepanikan masyarakat mudah tersulut
Tentu saja cerita di atas hanyalah imajinasi saya saja. Namun betapa tidak rasionalnya seseorang saat panik. Tanyakan kepada semua orang, mulai dari ekonom perencanaan, pakar ekonomi mikro, hingga pengusaha, apa ketakutan terbesar mereka. Apakah suku bunga yang tinggi, fiskal yang tidak terkendali, moneter yang lemah, pertumbuhan yang menurun atau perdagangan yang menurun? Saya yakin masyarakat yang panik akan keluar sebagai jawabannya.
Saat ini saya melihat kepanikan masyarakat mudah terpicu. Semua orang tiba-tiba menjadi ahli ekonomi. Berbekal analisis, lembaga think tank ini menyebarkan kepanikan seolah-olah perekonomian Indonesia akan berakhir besok. Ya, perekonomian sudah tidak bagus lagi, tapi jangan membuat masyarakat panik lagi.
Beberapa postingan di Facebook dan Twitter mulai menimbulkan kepanikan terhadap nilai tukar. Arahnya Indonesia terancam krisis ekonomi seperti tahun 1998. Melihat rupiah terus melemah, bahkan lebih parah dibandingkan tahun 1998. Ini pertanda jelas bahwa krisis besar akan segera terjadi.
Masyarakat yang minim ilmu ekonomi dan kebetulan #batuk tidak memilih Joko “Jokowi” Widodo akan segera memanfaatkan isu ini untuk melampiaskan emosinya. Serahkan semuanya pada pemerintah. Intinya, Jokowi salah, bodoh, menimbulkan krisis.
Google sederhana justru akan menjawab ancaman krisis nilai tukar. Pada tahun 1997, pendapatan per kapita Indonesia melebihi $1.000. Nilai tukar rupiah berkisar Rp 2.000/US$.
Pada tahun 1998, perekonomian menyusut sebesar 13 persen, pendapatan per kapita turun lebih dari 50% menjadi $400, nilai tukar terdepresiasi sebesar 700% atau lebih.
Bandingkan dengan kondisi saat ini. Perekonomian masih tumbuh, pendapatan per kapita di atas $3.000 dan nilai tukar mungkin melemah puluhan persen. Ekonomi lebih lambat? Ya. Krisis seperti tahun 2008? Mungkin terjadi. Krisis multidimensi seperti tahun 1998? Di atas kertas, tidak, tapi hal itu masih bisa terjadi.
Mengapa? Ya, tidak menutup kemungkinan jika para pembual yang tidak punya data terus menerus membuat panik masyarakat dengan berbagai informasi yang mereka ambil hanya sepotong-sepotong. Lalu ada yang bertanya, mengapa perekonomian menyusut pada tahun 1998? Kapan dia lahir? #plakat peringatan
Belajarlah dari kepanikan tahun 1998
Google sebentar saja dan Anda pasti tahu penyebab krisis multidimensi tahun 1998. Saya tidak ingin membahasnya. Bukan karena tidak tahu, saya hanya malas kalau ada yang bertanya, “Wah, tahukah kamu tahun 1998 banyak masalah, pasti umurmu di atas 40 tahun.” Itu jawaban yang buruk.
Ada beberapa kepanikan pada tahun 1998. Bergegas BCA misalnya. BCA pada dasarnya adalah bank dengan permodalan dan bisnis yang sehat. Sempat beredar kabar bahwa Sudono Salim (pemilik grup Salim salah satunya BCA) dikabarkan meninggal dunia.
Om Liem, sapaan akrabnya, merupakan konglomerat yang dekat dengan mantan Presiden Soeharto. Rumor kematiannya ditambah dengan melemahnya rezim Suharto membuat nasabah BCA panik dan mengambil tabungannya. Jangankan nasabah di level ratusan ribu dan jutaan rupiah, yang di level puluhan ratus miliar pun ikut panik. Mengantri di ATM, mengantri untuk mengambil uang tunai narator. Semuanya dilakukan karena panik.
Bank-bank pada masa sebelum reformasi belum terlalu mengenal instrumen pembiayaan jangka panjang. Dana masyarakat yang ada dengan spesifikasi 70-80% deposito jangka pendek digunakan sebagai kredit jangka panjang kepada kelompok usaha itu sendiri dan sebagian lagi kepada masyarakat.
Ketika ini terjadi menyerbu, sebagian besar uangnya menjadi kredit jangka panjang. Bank berjuang untuk memenuhi kebutuhan nasabah menyimpan yang menarik uangnya. Ada pula yang saling meminjamkan antar bank untuk memenuhi kebutuhan pelunasan nasabah. Pada akhirnya pinjaman antar bank saling menutup posisi keuangan. Semuanya sudah diperbaiki. Didirikan oleh kepanikan.
Kepanikan juga dapat memukul komoditas. Misalnya saja rumor yang beredar dan disebarkan oleh banyak pihak bahwa akan terjadi gagal panen padi di seluruh Indonesia. Harga beras akan naik 30-50 persen pada bulan depan.
Jika rumor yang jelas-jelas bukan fakta ini dipercaya masyarakat, maka masyarakat akan berbondong-bondong membeli beras di berbagai tempat. Keluarga biasanya mengkonsumsi 20kg/bulan, jadi belilah 40-50kg.
Permintaan beras tiba-tiba meningkat karena rumor yang beredar. Karena stok kosong setelah dibeli, beras yang diperkirakan akan meningkat bulan depan bisa lebih cepat meningkat. Semua disebabkan oleh masyarakat yang mengambil langkah tidak rasional karena panik.
Memang kondisi perekonomian sedang tidak baik, meski tidak terlalu buruk. Kondisi politiknya sama – hmm, kalau politik ya memang begitu.
Yang pasti kejahatan akan meninggalkan negeri ini jika masyarakatnya dewasa, bersatu dan bekerja sama mencari solusi. Jika yang muncul adalah terlalu banyak orang yang mengirimkan sinyal panik dibandingkan harapan, bisa jadi kondisi buruk memang tengah menghampiri negara ini.
Percayalah, kalau kondisinya memburuk, maka kitalah, rakyat jelata, yang akan mengalami nasib buruk. Politisi dan pejabat akan selalu mampu menghindari tekanan ekonomi. Wang Krisis atau tidak, mereka tetap dibayar. —Rappler.com
Kokok Herdhianto Dirgantoro adalah mantan jurnalis, mantan pegawai bank. Kini beliau menjalankan kantor konsultasi di bidang komunikasi strategis. Namun Kokok sangat tertarik mempelajari masalah ekonomi. Gaya tulisannya lucu, namun penuh analisis. Ikuti Twitter-nya @kokokdirgantoro.