Puasa 60 menit di gereja
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Jemaah menyiapkan batang bambu runcing, parang, dan senjata lainnya untuk mempertahankan diri. “Tidak ada pilihan,” kata pendeta.
JAKARTA, Indonesia— Erde Berutu, Pendeta Gereja Kristen Protestan Pakpai Dairi (GKPPD) di kawasan wisata Kuta Karangan, Aceh, menceritakan kronologi pembakaran gereja tersebut.
Menurut dia, sejak pertemuan Forum Kerukunan Umat Beragama pada 6 Oktober lalu, sudah ada kesepakatan pembongkaran gereja tersebut. Namun pada Senin malam, 12 Oktober, perasaannya menyebutkan pembongkaran akan dilakukan keesokan harinya, sesuai tuntutan Pemuda Peduli Islam (PPI) Aceh Singkil, agar gereja tersebut dibongkar pada 13 Oktober.
Sebagai pendeta peristirahatan (daerah) yang membawahi sepuluh gereja di bawah bendera GKPPD di Kuta Karangan, ia juga mengumpulkan jemaahnya. Beberapa di antaranya adalah kaum muda dan pria paruh baya. Tidak ada lagi perempuan dan anak-anak dalam kelompok tersebut.
“Delapan puluh persen dari mereka melarikan diri. “Sekitar 6.000 jemaah di satu titik, dan 2.000 jemaah di titik lain,” ujarnya kepada Rappler, Rabu, 14 Oktober.
Jumlah umat Kristiani di Aceh Singkil mencapai lebih dari 20.000 jiwa yang tersebar di 21 gereja.
Jemaat yang dikumpulkannya mencapai 200 orang. Mereka juga membicarakan rencana untuk tetap tinggal di gereja.
“Kami membuat strategi defensif. Strategi kami seperti ini. “Ketika polisi dan tentara tidak bisa memberikan keamanan kepada kami, kami akan membela diri,” ujarnya.
Jemaah kemudian menyiapkan bambu runcing, parang, dan senjata lainnya untuk mempertahankan diri.
“Tidak ada pilihan,” katanya.
Menjelang siang, massa yang diperkirakan berjumlah 700 orang berbaris menuju gereja.
“Tampaknya pada hari kejadian (kejadian), polisi tidak bisa bertahan karena situasi tersebut kekacauan,” dia berkata.
Terakhir, saat massa melewati gerbang gereja, jemaah pun ikut angkat senjata.
“Karena kami berjanji untuk menjaga perlawanan demi membela diri.”
Tabrakan pun terjadi dan tidak dapat dihindari. Massa yang membawa pentungan, parang, bahkan bom molotov menghadang jemaah.
Dimana polisi saat itu?
“Saat itu polisi banyak ya, tapi tersebar dari satu gereja ke gereja lain. Jadi tidak ada fokus, tidak ada tenaga, kata Erde.
Bentrokan berlangsung selama 60 menit, hingga ada yang ambruk di tengah massa.
“Kami hentikan karena ada korban di pihak mereka, lalu polisi datang turun tangan,” ujarnya.
Korban yang belum disebutkan namanya itu diduga terkena peluru senjata rakitan. Siapa yang menembak? Apakah dari jamaah?
“Saya tidak tahu,” katanya.
Setelah itu ia bisa kembali ke organisasi gerejanya dan langsung bertemu dengan pendeta lainnya.
Konflik antara warga dan anggota gereja ini sudah berlangsung puluhan tahun. Pada tahun 1979 mereka mencapai kesepakatan, yang diperbaharui pada tahun 2001.
Namun perjanjian tersebut kandas ketika terjadi bentrokan pertama kali di tanah Aceh Singkil. —Rappler.com
BACA JUGA