• November 24, 2024

Putra Wiji Thukul : Selamat ulang tahun pak!

SOLO, Indonesia – Ingatan Fajar Merah mungkin kabur tentang wajah asli Wiji Thukul, sosok ayah yang sudah tak ia lihat sejak 19 tahun lalu. Dia berumur tiga tahun ketika Wiji Thukul pergi dan menghilang.

Fajar, putra bungsu seorang penyair tak dikenal yang menentang kekuasaan Orde Baru melalui sastra, tidak pernah melupakan hari kelahiran ayahnya. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Fajar memberikan kado istimewa kepada ayahnya di hari ulang tahunnya yang ke-52.

Selamat ulang tahun Pak, dimanapun bapak berada, hidup atau mati semoga dalam damai, kata Fajar.

Hampir tengah malam, lagu Kebenaran Akan Tetap Hidup bergema di gedung Pusat Inovasi Universitas Sebelas Maret. Ratusan anak muda yang berasal dari Solo, Malang, Yogyakarta, dan Bandung bernyanyi bersama Merah Bercerita, grup indie bentukan Fajar Merah (gitar dan vokal) dan ketiga temannya – Gandhi Asta (gitar), Yanuar Arifin (bass), Lintang Bumi (drum).

Lagu tersebut juga merupakan musikalisasi puisi Wiji Thukul yang diproduksi dengan indah oleh Merah Bercerita Penderitaannya sampai ke leher, Bunga dan DindingDan Apa gunanya?. Merah Bercerita mengabadikan 10 lagu dalam CD yang diluncurkan malam itu. Semua liriknya mempunyai makna mendalam.

Empat dari 10 lagu tersebut merupakan karya sastra Wiji Thukul yang terlahir kembali menjadi komposisi musik. Album pertama yang digarap setahun lalu ini sebenarnya direkam pada Januari lalu, namun Fajar sengaja baru meluncurkannya pada 26 Agustus, bertepatan dengan hari ulang tahun ayahnya.

“Ini kami persembahkan sebagai hadiah spesial untuk Anda,” kata Fajar.

Tak hanya Fajar, beberapa musisi dan band indie lainnya—Jungkat-Jungkit, In Made, KM 09, Soloensis, Iksan Scooter, Sisir Tanah— turut mendukung dan memeriahkan acara peluncuran album sekaligus perayaan ulang tahun Wiji Thukul.

Komunitas Akar Daun yang beranggotakan para seniman muda kampus juga turut memeriahkannya dengan pameran seni rupa dan ilustrasi bertajuk “Narrasi Ilusi Zaman” yang merupakan visualisasi dari lagu Merah Bercerita.

Saifuddin Hafiz, artis solo sekaligus sahabat Wiji Thukul yang memberikan perkenalan pada peluncuran album menyebutkan ada “Wiji Thukul” dalam Merah Bercerita. Album tersebut merupakan tafsir Fajar atas idealisme sang ayah dan sebagai wujud tanggung jawab moral sang putra untuk memberi “spirit” pada kata-kata mati puisi peninggalannya.

Musik Merah Bercerita juga merupakan ekspresi dan gejolak batin seorang anak yang sudah 19 tahun tidak bertemu ayahnya, sementara persoalan hukumnya masih belum jelas. Kecemasan, kepahitan, kesepian, doa, harapan, semuanya menjadi satu.

“Melalui album ini Fajar Merah berbicara dan berbincang dengan dirinya sendiri, keluarganya, masyarakat dan juga negara,” kata Saifuddin.

Fajar mengaku terlalu lelah bergantung pada pemerintah untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat dan penderitaan keluarga korban. Oleh karena itu, meski sangat merindukan ayahnya yang sangat ia kagumi, Fajar tak segan-segan lagi memenuhi janji pemerintah untuk mengusut kasus penculikan ayahnya.

“Siapa pun pemerintahnya, selalu sama, tidak bisa diharapkan. “Dari tahun ke tahun tidak ada kemajuan dan tidak ada kejelasan mengenai korban dan keluarganya,” kata Fajar usai acara.

“Bahkan jika ayah tidak ada di sana, rohnya ada di dalam jiwa kita.”

Ia lebih memilih untuk terus mengartikulasikan semangat Wiji Thukul melalui musik. Fajar tidak hanya mengeksplorasi puisi, namun juga mengeksplorasi ide-idenya sendiri, meski ekspresi kegelisahannya terhadap lingkungan sosial secara genetis masih sama dengan sang ayah. Merah Bercerita memilih menyampaikan pesan kemanusiaan dan menolak ketidakadilan.

Lagu anak-anak, misalnya, adalah penggambaran Fajar sebagai seorang anak yang menyayangi dan merindukan orangtuanya yang berjuang dan menderita. Sang ayah menghilang, sedangkan sang ibu harus bekerja keras menghidupi keluarga dengan hidup pas-pasan.

Merah Bercerita juga menolak segala bentuk kekerasan, termasuk yang mengatasnamakan agama Negara saya semakin ketakutan. Sedangkan empat lagu lainnya, Ilusi, Bom waktu, Kelompok bahagiaDan Apa yang saya tahumengungkapkan protes sosial.

Berbeda dengan Fajar yang nyaris apatis, kakak perempuannya, Fitri Nganthi Wani, masih berharap Presiden Joko “Jokowi” Widodo bisa menemukan ayahnya. Ia menilai, Jokowi merupakan presiden pertama yang berjanji akan menemukan Wiji Thukul dalam keadaan hidup atau mati.

Apalagi, Jokowi yang pernah menjabat Wali Kota Solo bukan sosok asing di keluarga penyair kelahiran Solo itu. Bahkan, Jokowi juga menyukai puisi Wiji Thukul yang kerap dibacakannya saat memperingati tragedi kemanusiaan bersama aktivis HAM di rumah dinas Lodji Gandrung.

“Saya berharap Pak Jokowi menepati janjinya, dan setidaknya berani mengusut dan memberikan kejelasan atas penghilangan paksa 13 aktivis, termasuk Pak.

Fitri juga berharap, dalam rangka memperingati Hari Orang Hilang Sedunia, 30 Agustus, pemerintah berkomitmen mengakui penculikan itu benar-benar terjadi dan berjanji tragedi serupa tidak akan terulang kembali.

Penulis aktivis

Wiji Thukul adalah seorang penulis sayap kiri. Puisinya sangat dipengaruhi oleh genre realisme-sosialisme. Berasal dari keluarga ekonomi bawah, penyair bernama lahir Wiji Widodo ini keluar dari SMK Seni di Solo, kemudian aktif berkesenian di Teater Jagat dan bekerja sebagai buruh di berbagai pabrik.

Di saat semua musuh Soeharto masih malu bersuara, Wiji Thukul sudah lebih dulu menulis puisi-puisi yang liriknya “menusuk telinga” sang penguasa. Salah satu yang paling terkenal adalah puisi “Peringatan” yang sering dikutip di bagian akhir, “Hanya ada satu kata: bertarung!”

Wiji Thukul turut memimpin sejumlah aksi solidaritas buruh pabrik di Solo, seperti di pabrik tekstil Sari Warna dan Sritex. Ia hampir kehilangan matanya saat terkena popor senapan tentara saat demonstrasi.

Pada tahun 1996, ia memutuskan untuk bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik, musuh terbesar Suharto sebelum kejatuhannya. Sejak saat itu, Wiji Thukul menjadi buronan tentara dan polisi, berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain dengan menggunakan nama samaran.

“Saya sebenarnya mengingatkan, boleh menulis puisi, tapi jangan ikut partai politik. Tapi dia tidak mendengarkan saya,” kata Sipon.

“Aku pergi, jangan cari aku, aku akan kembali kalau sudah aman,” Sipon menirukan ucapan Wiji Thukul.

Kontak terakhir terjadi pada Februari-Maret 1998. Wiji Thukul menelepon istrinya dan mengatakan dirinya ada di Jakarta. Menurut beberapa teman aktivis, ada yang melihat Wiji Thukul bergabung dengan mahasiswa dalam protes pada Mei tahun yang sama.

Kecurigaan terkuat yang diyakini banyak orang selama ini adalah Wiji Thukul diculik oleh Tim Mawar, tim khusus Kopassus yang berupaya ‘membungkam’ aktivis prodemokrasi saat itu. Namun hingga saat ini belum ada yang mengaku menculiknya.

Wiji Thukul dan aktivis HAM Munir Thalib dalam sketsa warna karya Dewi Candraningrum pada sebuah pameran di Yogyakarta, Maret 2015. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Wiji Thukul menerima Wertheim Foundation Award pada tahun 1991 atas karya sastranya dan Yap Thiam Hien dari Center for Human Rights Studies pada tahun 2002. Kini karyanya, Nyanyikan Akar Rumputditerbitkan oleh salah satu penerbit besar di Indonesia.

Puisi-puisinya banyak menjadi kutipan yang digunakan oleh gerakan mahasiswa, buruh, dan kelompok marginal. Di Jakarta, mural karya Wiji Thukul menghiasi sudut kota. Bahkan terkadang puisi lebih dikenal dibandingkan penyairnya.

Tak salah jika Fajar Merah dan kawan-kawan berpandangan bahwa pikiran dan perkataan tidak bisa terpenjara, kebenaran akan tetap hidup, seperti lirik puisi Wiji Thukul yang digarap ulang oleh Merah Bercerita. Selamat Ulang Tahun Wiji Thukul! — Rappler.com

BACA JUGA:

demo slot pragmatic