• October 9, 2024

Jakarta dan kegagalan reformasi tahun 1998

Pada artikel sebelumnya saya pernah menyatakan bahwa Jakarta adalah produk gagal Reformasi 1998. Pada artikel kali ini saya ingin menjelaskan mengapa saya berpendapat demikian.

Tragedi dan kerusuhan Mei 1998 merupakan buah dari kekerasan yang dilakukan penguasa terhadap berbagai pihak. Salah satu pihak yang paling dirugikan sebenarnya adalah masyarakat miskin perkotaan.

Masyarakat miskin perkotaan, yang saat itu seolah terpuruk akibat meroketnya harga-harga dan banyak yang kehilangan pekerjaan akibat krisis keuangan tahun 1997, malah menjadi kambing hitam atas apa yang sebenarnya terjadi. Gambar dan rekaman video kerusuhan Mei 1998 secara gamblang memperlihatkan penjarahan, mulai dari televisi, kasur, hingga makanan.

Namun jika ditelaah lebih dalam, kerusuhan sebenarnya ada karena memang ada terorganisir dengan baik di lapangan. Bahkan terduga provokator sengaja mengenakan baju sekolah. ada banyak kesaksian mengatakan ada sekelompok provokator berbadan tegap dan berambut cepak yang memberi perintah.

Sandyawan Sumardi dari tim Relawan Kemanusiaan juga menceritakan berbagai macam keanehan untuk suatu peristiwa yang dianggap spontan. Sayangnya, sangat sedikit – atau bahkan tidak ada – foto dan rekaman video dari kelompok berkemeja kekar berpotongan cepak, berwajah tua namun mengenakan seragam sekolah dan berteriak-teriak seperti pelajar.

Hal tragis lainnya adalah ketika 200 orang menjadi korban pembakaran Yogya Plaza di Clender. Sekali lagi, masyarakat miskin perkotaan menjadi korban sekaligus tersangka. Sementara itu, jika menilik tulisan Sandyawan Sumardi yang bersumber dari kesaksian salah satu penjarah yang selamat, ada yang membakar kertas di tengah derasnya gas air mata lalu kabur. Bahkan pintu persegi tertutup terbakar, menyebabkan banyak orang melompat putus asa dari lantai 2 dan 3.

Gambaran lain yang sering ditampilkan adalah segregasi ras dan agama. Sampai 2 tahun yang lalu ada bangunan lain sekitar 2 kilometer dari rumah saya dengan tulisan besar ‘Milik Pribumi’. Sasaran operasi kerusuhan, selain masyarakat miskin perkotaan, juga merupakan kelompok minoritas Tionghoa. Rupanya para perusuh juga mengetahui hal itu Perempuan adalah korban yang paling mudah untuk dijadikan sasaran.

Gambaran yang muncul kembali setelah tragedi tersebut seolah menawarkan beberapa pesan, bahwa protes tersebut berbahaya, sebuah ilusi akan perlunya segregasi ras dan kelas, masyarakat miskin perkotaan lah yang salah, dan menghilangkan siapa sebenarnya dalang di baliknya.

Pasca tragedi dan kerusuhan Mei 1998, masa transisi datang bagi Indonesia dengan jatuhnya Soeharto yang kemudian digantikan oleh BJ Habibie. Gubernur DKI Jakarta saat itu adalah Sutiyoso. Sutiyoso sendiri punya masa lalu yang dekat dengan tragedi Mei 1998, saat ia seharusnya menjadi Pangdam Jaya. mengetahui penggerebekan markas Partai Demokrat Indonesia (PDI) pada tanggal 27 Juli 1996 yang mengakibatkan 5 orang meninggal dunia, 149 orang (sipil dan perwira) luka-luka.

Salah satu akibat dari kerusuhan Mei 1998 adalah ketakutan. Ketakutan ini diakomodasi dengan baik oleh pasar real estate yang mulai bergairah pada tahun 2000 dengan munculnya kota-kota baru di luar Jakarta. Berdasarkan data Studi Rencana Induk Transportasi Terpadu JABODETABEK (SITRAMP) 2002-2007, sebanyak 60.000 keluarga berpindah dari Jakarta ke kota-kota sekitarnya seperti Tanggerang, Bogor, Depok dan Bekasi.

Memang faktor ketidakpastian bukan hanya menjadi penyebab tunggal, namun jelas turut menyumbang. Di kota baru, mereka dijanjikan rasa aman berupa perumahan gugus dengan gerbang tinggi dan keamanan 24 jam. Perpindahan penduduk tanpa adanya peralihan pekerjaan atau akses transportasi ke Jakarta pada akhirnya menimbulkan beban tambahan.

Jika ingin menginap di kota Jakarta, perumahan dalam kota bisa menyiasatinya dengan membangun pagar dan portal sehingga hanya ada satu atau dua pintu masuk ke kota. gugus Tentu. Padahal Pemprov DKI sudah mengeluarkannya Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umumsalah satunya mengatur tentang pembangunan portal dan polisi tidur, namun tidak menghalangi peredaran portal tersebut, baik berizin maupun tidak.

Jakarta melalui para pejabat dan otoritasnya kemudian memilih untuk mempertahankan diri, dalam hal ini membangun sekat-sekat di ruang publik yang populer. Alun-alun Monas yang sebelumnya bebas diakses oleh kendaraan dan pejalan kaki, kini ditutup dengan renovasi yang dimulai pada tahun 1999. Mulai instalasi paving blok yang menelan biaya Rp7,5 miliar dan kemudian ditambah dengan pembangunan pagar setinggi 2,75 meter yang mengelilingi Lapangan Monas seluas 3.715 meter, dengan total anggaran Rp9 miliar. Sutiyoso bahkan berpesan akan ada polisi berjaga sebagai bentuk pengawasan di Monas.

Tentu saja rencana pembangunan pagar itu menuai protes dari warga DKI. Pada tanggal 29 September 2002, sedikitnya 2.000 warga berkumpul untuk membangun pagar manusia, menentang pembangunan pagar tersebut. Secara psikologis, pagar ini terkesan membatasi pergerakan masyarakat dan upaya sterilisasi.

Sutiyoso dengan gamblang mengatakan, “Kalau mau berdemonstrasi di Istana atau di Kedutaan Besar AS, bisa di luar pagar.” Sebelumnya, peserta demonstrasi bisa dengan mudah membubarkan diri dan masuk ke Monasplein jika situasi dirasa tidak kondusif.

Upaya pengurangan ruang demonstrasi tidak hanya terjadi di Monas, tetapi juga di tempat favorit demonstrasi lainnya, yaitu Bundaran Hotel Indonesia.

Renovasi Biayanya mencapai Rp 14 miliar, seluruhnya ditanggung oleh perusahaan periklanan dan ditukarkan dengan hak iklan di berbagai lokasi strategis. Jika sebelumnya kegiatan aspirasi bisa dilakukan tepat di sebelah kolam lintasan, setelah direnovasi ternyata benar-benar ada bumper 10 meter berbatasan dengan jalan dan bendungan. Area ini mengelilingi kolam, dan selalu basah akibat luapan air yang tidak disengaja dari kolam, sehingga tidak dapat lagi digunakan sebagai tempat penyaluran aspirasi. Pasca renovasi, kegiatan demonstrasi tetap dilakukan di kawasan tersebut, namun mengakibatkan jalan diblokir atau bahkan ditutup.

Masyarakat miskin perkotaan kembali menjadi stigma di kota. Di tahun yang sama, Sutiyoso gemar mempercantik Monas dan Bundaran HI, serta penggusuran di Jakarta. ditingkatkan Sepanjang tahun 2002. Tampaknya penggusuran tidak hanya berdampak pada pemukiman nelayan dan bantaran sungai, namun juga pedagang kaki lima di berbagai pasar dan terminal.

Setidaknya menurut data Institut Sosial Jakarta, terjadi 14 kali penggusuran besar-besaran. Penggusuran PKL seakan melupakan jasa PKL yang menjadi penyelamat dari permasalahan lapangan kerja yang semakin langka pasca krisis moneter tahun 1997. Sektor informal kemudian dianggap mampu menahan turbulensi luapan tersebut. korban PHK.

Menggantikan Sutiyoso dengan Fauzi Bowo yang non-militer tidak menjadikan Jakarta lebih manusiawi dan inklusif. Satpol PP era Fauzi Bowo mengalami peningkatan tajam, bahkan memiliki anggaran yang lebih tinggi dibandingkan Dinas Pendidikan dan anggaran seluruh puskesmas di DKI Jakarta.

Menurut data Balai Anak Jalanan Jakarta, angka kekerasan terhadap anak jalanan yang dilakukan Satpol PP pada tahun 2007 adalah sebesar 66,1% dari total kekerasan. Korban mengalami kekerasan fisik, mulai dari ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang, ditendang, diseret, disundut rokok, ditarik, dicukur, dicekik, diinjak-injak, dipukuli, dipaksa ditelanjangi bahkan mengalami pelecehan seksual.

Teror bom yang mulai mengancam dan terjadi sejak tahun 2003 juga memperburuk kondisi Jakarta, memecah belah kota dan menebar ketakutan. Rentetan bom membawa tren baru, yakni pencabutan pagar, sterilisasi trotoar, lapisan keamanan dan portal, bahkan pengawasan.

Pasca reformasi juga membuahkan hasil Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2007 kaitannya dengan Ketertiban Umum yang mengatur secara rinci berbagai jenis larangan, mulai dari larangan joki 3 in 1, larangan ojek, larangan jongkok dan berdiri di bangku taman, larangan berdagang di trotoar termasuk larangan larangan membeli dagangan di pedagang kaki lima, melarang coretan-coretan, hingga melarang orang yang mengidap penyakit yang mengganggu berada di tempat umum.

Meskipun gubernur memulai dari Fauzi Bowo, Joko “Jokowi Widodoke Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama Saya mencoba memperbaikinya dengan berbagai cara, namun seringkali perbaikannya sepertinya tidak dipahami. Ahok berulang kali mempromosikan CCTV dan pengawasan sebagai jawaban atas berbagai permasalahan perkotaan dan birokrasi, mulai dari pertanyaan sampah, sterilisasi jalur Transjakarta, manusia mengembarake disiplin PNS.

Sama halnya dengan Sutiyoso, Ahok juga menginginkannya pagar dan pemasangan CCTV di taman kota. Stigma terhadap masyarakat miskin perkotaan masih melekat, apalagi Ahok menyebut masyarakat miskin sebagai Komunis (walaupun kemudian diperdebatkan). Dan dalam beberapa kejadian, seperti banjir, sampahDan penyumbatanlagi-lagi masyarakat miskin perkotaan dan kelas menengah menjadi kambing hitam.

Tragedi dan kerusuhan Mei 1998 pada akhirnya tidak dijadikan pembelajaran bersama untuk menjadikan Jakarta kota yang manusiawi dan inklusif. Sama seperti 17 tahun yang lalu, masyarakat miskin perkotaan masih menjadi pihak yang bertanggung jawab atas semua permasalahan perkotaan, segregasi, terutama di wilayah pemukiman, masih tinggi, dan menyambut baik pengawasan negara. —Rappler.com

Elisa Sutanudjaja adalah Eisenhower Fellow, editor Jakarta Facts, dan salah satu pendiri rujak.org. Ia juga seorang aktivis sosial, reporter data terbuka dan warga kota Jakarta. Ikuti Twitter-nya @elisa_jkt