Rayakan kesendirian di hari raya Idul Fitri
- keren989
- 0
Aku benci Idul Fitri. Entah kenapa Idul Fitri seolah menjadi parade kemunafikan.
Aku bertemu dengan orang-orang yang tidak kukenal, memasang wajah mainan, dipaksa tersenyum sambil mengatakan apa yang ada di dalam dan di luar. Mereka, orang-orang yang hanya kutemui setahun sekali, orang-orang asing yang datang entah dari mana, meminta maaf kepadaku atas kesalahan yang tidak kuketahui kapan itu terjadi.
Idul Fitri, bagi saya, harus memikirkan apakah saya menjadi orang yang lebih baik dibandingkan sebulan yang lalu.
Ibu saya adalah orang yang paling sedih ketika Ramadhan berakhir, awalnya saya pikir dia melebih-lebihkan dan melodramatis. Tapi ibuku serius, dia merasa hanya saat Ramadhan dia bisa benar-benar beribadah tanpa memikirkan dunia. Saya tidak pernah mengerti maksudnya, namun saat Idul Fitri, saat saya mencium tangannya yang keriput untuk meminta maaf, mata ibu saya menjadi merah dan berair. Aku tahu ibuku tak rela meninggalkan Ramadhan.
(BACA: Ibu dan Ramadhan)
Sudah dua tahun saya tidak pulang merayakan Idul Fitri di kampung halaman. Aku memilih tinggal sendiri di Jakarta. Saya memutuskan untuk tidak tinggal karena saya tidak merindukan ibu dan keluarga saya, atau tidak ingin bertemu dengan teman-teman saya. Saya malas dan kemudian harus bertemu orang-orang yang mengganggu dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu.
kapan kamu akan menikah Mengapa berkencan dengan seseorang yang berbeda agama? Mengapa membela Syiah dan Ahmadiyah? Dan seterusnya dan seterusnya. Mereka tidak pernah meminta jawaban. Mereka menilai, apapun jawaban yang saya berikan, mereka tidak akan pernah puas.
(BACA: Jawab Pertanyaan ‘Kapan Menikah?’)
Pulang ke kampung halaman setelah bekerja di luar negeri mungkin merupakan salah satu bentuk kemewahan. Namun tidak semua orang memiliki kemewahan untuk bisa menghadapi keluarga besar. Namun Idul Fitri, dan juga setiap kepulangan lainnya, selalu membawa kita pada apa yang bisa kita lakukan. Temui teman-teman lama, teman-teman lama yang bisa menjadi lebih baik, tetap di tempat mereka berada atau mengalami dekadensi pemikiran yang mengerikan.
Seorang teman baik baru-baru ini meminta saya untuk berhenti membela Islam Nusantara karena itu adalah bentuk Jaringan Islam Liberal (JIL) yang tidak menjual. Jika hal ini terjadi, Anda bisa memilih antara setuju atau malah menentang.
Bagi saya sendiri, ada beberapa hal yang bisa ditoleransi, dinegosiasikan dan dibiarkan demi sesuatu yang lebih baik. Teman saya terlalu berharga untuk berdebat atas nama ideologi yang saya sendiri bahkan tidak setuju.
Di Jakarta, saat Idul Fitri menjadikan kota ini sangat manusiawi, jalanan menjadi lebih sepi, udara sedikit lebih baik, kebisingan berkurang, dan tentunya menjadi sedikit lebih sepi.
Tapi hei, kesepian dan kesendirian adalah dua komoditas penting di Jakarta. Berdiam diri dan tenang mungkin merupakan sebuah kemewahan yang tidak semua orang bisa miliki. Bisa didapat saat lebaran tiba, saat para perantau pulang ke kampung halaman, saat para pengeluh nasib memutuskan untuk pulang ke kampung halaman.
Tentu saja, kesepian itu sangat buruk. Sendirian di Jakarta tanpa ada keluarga. Namun menurut saya, ini adalah harga yang pantas dibayar untuk perdamaian.
Idul Fitri di kota bisa lebih sibuk dibandingkan Pekan Raya Jakarta. Saat seluruh keluarga besar datang, teman-teman SD, SMP, dan SMA mampir. Tentu ada yang merindukanmu, tentu ada juga yang tulus ingin bertemu denganmu karena sudah bertahun-tahun tidak bertemu denganmu. Namun ada pula di antara mereka yang ingin bertemu karena ingin membandingkan kesuksesan, membandingkan nasib atau bahkan menertawakan kesialan orang lain.
Bahkan mereka yang mudik pun terkadang ingin menunjukkan bahwa mereka satu derajat lebih urban dibandingkan mereka yang memutuskan untuk tetap tinggal di kampung halaman. Bahwa kota menjadikan mereka modern, maju dan bermartabat. Seolah-olah Anda tinggal di kampung halaman, waktu berhenti, pemikiran mandek, dan informasi mandek. Arogansi seringkali merajalela di kalangan masyarakat kota yang terpapar dengan gaya hidup perkotaan saat ini.
Jakarta kehilangan beban ketika Idul Fitri tiba. Gedung perkantoran sepi, pasar sepi, dan tiba-tiba kita jatuh cinta dengan kota ini. Kota yang membuatmu berharap keheningan dan kesendirian ini bertahan selamanya. Konstruksi terhenti dan pepohonan tumbuh subur.
Namun tentu saja hal ini mustahil. Jakarta adalah keserakahan itu sendiri. Kota ini menggusur penduduk aslinya ke perbatasan, menghilangkan jati diri mereka, dan kemudian terpaksa mengalami kemunduran karena kalah bersaing dengan para pendatang.
(BACA: Pernah Jatuh Cinta dengan Jakarta?)
Sudirman, Kuningan, Gatot Subroto, Tendean dan seluruh kemacetan Jakarta dibongkar. Tidak perlu lagi mengumpat tentang sepeda motor bodoh, mobil setan, Mini Metro sialan, dan sejenisnya. Pengendara bernyanyi riang mengikuti irama radio, ada yang bersiul, kendaraan roda dua menjadi berakal sehat, angkutan umum tak lagi penuh penumpang. Sebuah utopia yang selama puluhan tahun ingin dicapai oleh beberapa gubernur, baru bisa terwujud ketika Idul Fitri tiba.
Pada malam Idul Fitri di Jakarta, kembang api bertebaran seolah menjadi sarana komunikasi. Desa-desa meledak dalam ledakan, kembang api warna-warni memberikan gambaran bahwa kota ini masih sedikit sehat. Masyarakatnya gembira, kota-kota ramai dengan pertemuan-pertemuan.
Hari Raya di Jakarta menjadi pertanda bahwa masyarakat Betawi masih eksis, masih hidup, bertahan dan masih menjaga tradisinya. Memanusiakan manusia, menghormati tamu, dan menghormati keluarga.
Pernahkah Anda merayakan Idul Fitri bersama masyarakat Betawi di Jakarta? Kebaikan mereka, ketulusan mereka, dan juga tawaran yang tidak bisa Anda tolak untuk menikmati hidangan yang mereka buat.
Jakarta saat lebaran menjadi pemandangan berbeda yang akan membuat Anda merasa, “Ah, ibu kotanya tidak membuat orang menjadi kejam”. Ibu kota tetap menyediakan orang-orang ikhlas yang rela menerima tamu, yang mau mengagungkan mereka yang terlantar dan sendirian.
Sendirian saat Hari Raya di Jakarta membuat Anda berpikir lebih lama. Kesendirian mengajarkanmu untuk menghargai kebersamaan. Sementara diam membuatmu belajar menghargai pertemuan. Kota ini begitu kejam bagi orang yang lemah hati, namun sekaligus mengajarkan kita tentang pentingnya menjadi manusia.
Sendirian di Jakarta saat Idul Fitri memang menyedihkan. Saat kamu sedang jatuh cinta, rindu atau bahkan berharap. Kesendirian adalah cara terbaik untuk menghilangkan rasa sakit. Jakarta menawarkan banyak peluang, namun juga banyak kekecewaan.
Anda bisa berpura-pura optimis dan getir dengan menulis artikel tentang betapa munafiknya merayakan Idul Fitri di kampung halaman, padahal jauh di lubuk hati Anda berharap bisa pulang untuk menghabiskan Idul Fitri bersama orang-orang yang Anda cintai, untuk merayakannya.
Ah, tapi siapa yang tidak suka berpura-pura? —Rappler.com