• September 23, 2024

Pengungsi Rohingya di Aceh Utara telah dipindahkan ke barak

Warga setempat di Aceh menangis ketika ratusan warga Rohingya dipindahkan ke lokasi baru.

BLANG ADO, Indonesia – Sekitar 315 pengungsi Rohingya, termasuk 36 perempuan dan 198 anak-anak yang ditampung di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Kuala Cangkoi, Kabupaten Aceh Utara, bulan lalu telah dipindahkan ke barak di Desa Blang Ado, Kuta Makmur. Kabupaten, Senin 15 Juni.

Pemindahan warga etnis Rohingya tersebut dilakukan dengan menggunakan sejumlah bus milik pemerintah Kabupaten Aceh Utara. Di Blang Ado, pengungsi Rohingya ditampung di dua bangunan permanen Balai Latihan Kerja (BLK) Aceh Utara yang dikelilingi pagar seng.

Saat dipindahkan, puluhan pengungsi dan warga Kuala Cangkoi menangis dan saling berpelukan seolah tak ingin dipisahkan. Puluhan warga Kuala Cangkoi dan sekitarnya datang ke Blang Ado menggunakan sepeda motor, meski jarak tempuh sekitar dua jam perjalanan.

Maryani (38), seorang ibu rumah tangga asal Kuala Cangkoi, mengaku sengaja datang ke Blang Ado bersama suami dan dua putranya. Wanita tersebut tampak tak ingin lepas dari Rahmatullah, bocah Rohingya berusia 10 tahun.

“Dia di sini sendirian. Menurut ceritanya, orang tuanya dibunuh oleh tentara Myanmar. Dia punya kakak laki-laki di Myanmar,” kata Maryani kepada Rappler, Senin.

Menurutnya, pengungsi Rohingya yang terdampar di perairan Aceh Utara pada 10 Mei lalu, tinggal di Kuala Cangkoi selama sebulan, ia datang ke shelter setiap hari untuk menemui Rahmatullah.

“Saya biasa mencuci pakaiannya. “Kadang-kadang saya bawa pulang untuk mandi, tapi kemudian saya bawa lagi ke shelter,” kata Maryani seraya berharap bisa mendapat kesempatan merawat dan mendidik Rahmatullah.

“Saya sudah menganggap dia anak saya sendiri karena dia seumuran dengan anak saya. Mereka sangat dekat dan sering bermain bersama.”

Maryani bercerita, dirinya sering datang ke Blang Ado untuk mengantarkan makanan kepada “anak angkatnya”.

“Apalagi bulan suci Ramadhan akan segera tiba. Rabu depan saya antarkan dagingnya ibu mertua yang dimasak untuk dia makan di sini. Padahal sebelumnya saya berencana mengajaknya pulang untuk menikmati daging ibu mertua bersama keluargaku,” katanya.

Makmeugang merupakan tradisi turun temurun di Aceh yang sudah berlangsung sejak zaman dahulu. Dua hari menjelang Ramadhan, masyarakat Aceh membeli daging dalam jumlah besar untuk dimakan bersama keluarga, meski harganya meroket.

Setibanya di shelter Blang Ado, pengungsi Rohingya diturunkan ke lapangan untuk dilakukan pendataan oleh petugas imigrasi. Setelah itu mereka makan nasi karena sebelum meninggalkan Kuala Cangkoi para pengungsi tidak makan siang.

Risna (17), warga Kuala Cangkoi lainnya mengaku sangat sedih karena harus berpamitan dengan Gultaz Beghum, bocah Rohingya berusia 7 tahun. Selama ini, Risna kerap membawa Gultaz pulang bermain. Menjelang sore dia membawa Gultaz kembali ke kamp pengungsi di laut.

“Saya ingin mengadopsinya karena saya menganggap Gultaz seperti adik saya sendiri,” kata Risna seraya menambahkan bahwa ia sering datang ke Blang Ado untuk menemui “adik angkatnya” dan membawakan makanan.

Pekerja Organisasi Internasional untuk Migran (IOM) yang ditanyai Rappler menyatakan, pengungsi Rohingya akan menempati dua bangunan di Blang Ado selama tiga bulan.

Setelahnya, mereka akan dipisahkan di barak kayu yang terletak di sisi bangunan. Barak yang dibangun Aksi Cepat Tunjung (ACT), sebuah lembaga swadaya masyarakat kemanusiaan, saat ini dikelola oleh puluhan pekerja dari luar Aceh.

Sebuah musala juga akan dibangun di barak, tempat para pengungsi Rohingya akan salat. Selain itu juga dibangun area bermain untuk anak-anak. Para pengungsi ditempatkan di barak selama satu tahun hingga ada keputusan status mereka dari Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR).

Saya ingin memasak sendiri

Rabya Khatun (25), pengungsi Rohingya yang meninggalkan Myanmar bersama keempat anaknya, berharap di tempat barunya ia mendapat kesempatan memasak sendiri karena makanan dari dapur umum tidak sesuai dengan selera mereka.

“Aku ingin memasak kue piazu yaitu kacang tanah yang dihaluskan setengahnya. Lalu dicampur dengan bawang merah dan cabai sebelum digoreng. “Ini jajanan khas kami untuk berbuka puasa,” kata Rabya.

Harapan untuk bisa memasak juga diungkapkan beberapa pengungsi Rohingya lainnya. Mereka ingin memasak sesuai selera masing-masing, terutama lauk pauknya yang pedas. Muhammad Husen yang bisa berbahasa Melayu menyatakan, semua pengungsi Rohingya ingin memasak sendiri.

Namun, keinginan para pengungsi Rohingya untuk bisa memasak sendiri nampaknya belum terwujud. Pasalnya hingga saat ini belum ada relawan dari berbagai organisasi kemanusiaan yang menyumbangkan peralatan memasak. —Rappler.com