Kisah empat sahabat mengukir batu giok Aceh
- keren989
- 0
BANDA ACEH, Indonesia – Puluhan rencong terpajang di rak lemari kaca setinggi satu meter. Senjata tradisional Aceh berukuran 10 hingga 40 sentimeter menyala hijau, hitam dan putih di bawah cahaya lampu Lantai 3 Pasar Aceh di pusat ibu kota Banda Aceh.
Berbeda dengan rencong yang beredar di pasaran, oleh-oleh ini terbuat dari batu giok. Biasanya bahan pembuatan rencong adalah besi. Sedangkan batu giok dipotong menjadi cincin. Namun di tangan Fera Buanto, 25 tahun, bersama tiga rekannya, batu giok itu digiling menjadi rencong untuk dijadikan oleh-oleh.
Selain rencong, keempat pengusaha permata asal Kabupaten Nagan Raya, Aceh bagian barat ini juga mengukir batu giok dalam berbagai bentuk seperti berbagai macam binatang, bunga, mobil, tongkat komando, granat manggis, cincin binatang, papan nama resmi, liontin seperti daun. , dan cincin siap pakai. Semuanya terbuat dari batu giok, tanpa dicampur bahan lain.
“Kami juga menggiling mata cincin seperti yang biasa dijual, namun hanya paruh waktu karena fokus usaha kami adalah mengukir batu giok dalam berbagai bentuk,” kata Fera saat diwawancara Rappler Indonesia di Banda Aceh, Rabu, 11 Maret 2015. diadakan
(BACA: Pameran Giok dan Batu Akik di Aceh bidik transaksi Rp 4 Miliar)
Pria lajang yang lebih suka dipanggil Fera Kato bersama tiga rekannya: Agus Didilianti, 31 tahun; Zulfikar, 33 tahun, dan Dedi, 30 tahun, berada di ibu kota Provinsi Aceh sejak Kamis malam, 5 Maret 2015, untuk mengikuti pameran dan perlombaan pada kompetisi batu cincin tingkat nasional yang berlangsung selama lima hari hingga Rabu. Pagi. .
“Batu kami berhasil meraih juara pada kategori batu giok hitam dalam kompetisi tersebut,” kata Fera Kato seraya menambahkan total keuntungan yang mereka peroleh dari pameran tersebut hampir mencapai Rp 100 juta.
Rencong berbahan nephrite sepanjang 40 sentimeter dibeli turis asal Jepang seharga Rp 5 juta. Oleh-oleh rencong cukup mengesankan, karena pada gagangnya berbentuk kupiah mớetop (tengkorak berukuran besar dalam tradisi Aceh) dan pada bagian matanya terukir kalimat ‘Bismillah hir-Rahman nir-Rahim’ dalam bahasa Arab.
Selain itu, ada juga tongkat komando yang dibeli seorang prajurit seharga Rp10 juta. Pengunjung pameran juga membeli beberapa rencong kecil. Idocrase super seberat 5 kilogram yang dibawanya dijual kepada pecinta batu giok seharga Rp 25 juta.
“Yang membuat saya terkesan adalah seorang pengunjung dari Bandung yang membeli 15 liontin berbentuk daun siang. Kata warga Bandung, liontin ini merupakan oleh-oleh khas Aceh yang tak terlupakan, kata Agus seraya menambahkan harga sebuah liontin adalah Rp 400 ribu.
Untuk membuat berbagai macam souvenir, tidak sembarang batu giok, melainkan bahan super dari batu giok hitam dan nephrite. Di antara batu mulia yang ada di Aceh, batu giok hitam biasa disebut “blek jek”. Harga sepotong batu giok hitam seberat 1 kilogram biasanya dijual hanya Rp 250.000 dan mudah didapat. Untuk kategori super bisa tiga kali lipat.
Mulai dari menyukai
Fera Kato dan tiga rekannya mulai menyukai batu mulia sejak tahun 2010. Mereka kerap “berburu” batu giok bersama warga lain di kawasan pegunungan Nagan Raya. Namun keempat temannya tersebut tidak mengetahui nama-nama jenis batu tersebut.
“Kebanyakan orang di desa kami bilang itu batu hijau,” jelas Agus dan mengenang bagaimana mereka pertama kali ‘jatuh cinta’ pada batu itu sambil tertawa. “Baru pada tahun 2013 kita mengetahui nama-nama batu seperti indocrase, nephrite, solar power, black giok.”
Konon, harga super nephrite saat itu hanya Rp 40.000 per kilogram. Kini, jika batu mulia masuk ke Indonesia sejak tahun lalu, super nephrite bisa mencapai Rp 2 juta per kilogram.
“Sebelumnya super solar giok hanya Rp 250.000 per kilogram. “Sekarang harganya mencapai puluhan juta per kilo,” kata Fera Kato yang tidak mampu menyelesaikan studinya di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. “Tenaga surya biasanya tidak dijadikan oleh-oleh karena lebih mudah.”
(BACA: Saat Demam Batu Giok dan Batu Akik Melanda Aceh)
Stok berbagai jenis batu giok yang mereka cari di pegunungan atau dibeli dari warga sebagian besar disimpan di rumah. Sekitar delapan bulan lalu, ketika demam batu semakin melanda masyarakat Aceh, mereka membuka “Batu Permata Kato” di Suka Makmue, ibu kota Nagan Raya.
“Karena letak gerai kami cukup jauh, tidak banyak orang yang datang untuk membeli. “Apalagi warga banyak yang membuka kios-kios ring sharp di pusat kota sehingga usaha kami tidak laku,” kata Fera Kato yang masih aktif sebagai pengusaha bangunan.
Kemudian keempat sahabat itu berkumpul untuk menciptakan sesuatu yang berbeda. Akhirnya mereka memutuskan untuk membuat berbagai souvenir batu giok. Namun tidak satupun dari mereka yang bisa mengasah batu giok dalam bentuk ukiran.
Setelah mengikuti pameran di Tangerang
Pada bulan September 2013, mereka memutuskan untuk mengikuti pameran permata di Tangerang, provinsi Banten. Di sini Fera Kato bertemu dengan seorang pemahat asal Jepara, Provinsi Jawa Tengah. Fera Kato membujuk ahli ukir itu untuk datang ke Aceh, “tapi dia tidak mau karena banyak pekerjaan di Tangerang.”
Ahli seni ukir tersebut mengenalkan Fera Kato kepada Asep Setia Bangga, pria asal Bandung yang juga ahli dalam bidang seni ukir. Fera Kato mengaku sangat senang karena Asep bersedia diboyong ke Aceh. Saat keempat sahabatnya kembali ke Aceh, Asep pun ikut ikut bersama mereka.
“Asep memang orang yang artistik. “Semua ukiran bisa dilakukan dengan tangan menggunakan gerinda,” kata Fera Kato. “Kalau batu cincin digerinda, pengerjaannya bisa dua minggu, tapi untuk pembuatan ukirannya bisa dua hari. Asep sangat menyukai tantangan. Semakin rumit ukirannya, semakin dia menyukainya.”
Empat orang teman membayar Asep Rp 10 juta per bulan. Mereka juga mempekerjakan empat warga sekitar yang bertugas membersihkan dan memoles ukiran Asep. Seiring dengan semakin suksesnya bisnis souvenir batu giok, Agus mulai menggiling souvenir daun setelah belajar di Asep.
Mereka pun rela mengukir batu giok orang lain. Banyak pelanggan yang meminta untuk dibuatkan aneka souvenir dalam jumlah banyak. Biasanya pelanggan ini berjualan ke Jakarta atau kota besar lainnya di Indonesia. Biaya untuk mempertajam oleh-oleh tersebut mulai dari Rp 150.000 hingga Rp 5 juta per buahnya.
“Sekarang banyak yang minta dibuatkan ukirannya, sehingga harus menunggu seminggu baru jadi,” jelas Fera Kato.
Sebelum batu giok diukir menjadi souvenir, bahannya sudah disortir karena jika ada retak sedikit pun tidak bisa diasah. “Kami mengukir souvenir dari satu bahan. “Karena bahannya disortir dari batu giok yang berkualitas baik, tidak ada yang pecah saat digiling atau diukir,” ujarnya.
Ia mengaku memilih bisnis ukiran batu giok karena banyak orang yang menyukai seni. Apalagi harganya terjangkau, mulai dari Rp 100.000 hingga Rp 10 jutaan. “Kalaupun bahannya bagus, yang penting masyarakat bisa membelinya karena masyarakat juga punya kebutuhan lain. “Kami untung sedikit saja,” ujarnya seraya mencatat omzet usaha empat temannya itu mencapai Rp 100 juta dalam sebulan.
“Kami ingin berbunga Batu ini bisa bertahan lama karena banyak orang yang menggantungkan hidupnya. Melalui batu giok yang diukir, kita bisa terus berkreasi dengan berbagai model. Kalau hanya mengandalkan batu cincin, suatu saat orang akan bosan.” –Rappler.com