• November 30, 2024

Kisah traumatis tes keperawanan di TNI

Trauma tersebut berlangsung cukup lama. Empat tahun setelah menjalani tes keperawanan, anggota Korps Wanita Tentara Nasional Indonesia ini menikah dengan tunangannya. Mereka berbulan madu di Bali.

“Pada malam pertama, badan saya tegang. Saya tidak bisa melakukannya. Saya menangis sepanjang malam. Saya tidak dapat melakukannya sampai dua bulan kemudian. “Saya trauma dengan pengalaman menjalani tes keperawanan,” aku pensiunan asal Kowau itu kepada Human Rights Watch (HRW). Sumber ini menjalani tes keperawanan pada tahun 1984.

HRW, lembaga pemantau pelaksanaan hak asasi manusia (HAM), mewawancarai 11 narasumber tentang tes keperawanan yang wajib dilakukan calon anggota TNI, bahkan tunangan atau istri calon anggota TNI.

Tes keperawanan harus diakhiri karena kejam, tidak manusiawi dan melanggar hukum hak asasi manusia, demikian bunyi siaran pers HRW hari ini, Kamis 14 Mei bertajuk Indonesia: Militer Lakukan ‘Tes Keperawanan’.

Temuan HRW antara lain pengakuan salah satu anggota Korps Wanita Angkatan Laut (Kowal) yang menjalani tes keperawanan saat melamar Kowal pada 1988. “Itu sangat memalukan,” kenang Kowal Major.

Ia melihat anggota polisi wanita (Polwan) memprotes pelaksanaan tes keperawanan. Protes yang disiarkan televisi ini terjadi setelah HRW melontarkan kritik terhadap kewajiban tes keperawanan bagi calon polisi wanita tahun lalu.

“Salam. Kami di TNI tidak berani protes seperti rekan-rekan Polwan. “Tidak mungkin petugas aktif seperti kami menentang pelaksanaan tes keperawanan,” kata anggota Kowal itu.

Sutarman, mantan Kapolri, membantah masih melakukan tes keperawanan. “Ada pemeriksaan kesehatan,” kata Sutarman tahun lalu. Tapi kantor Polri tidak mengucapkan sepatah kata pun tentang tes keperawanan ini.

Tes keperawanan menuai kontroversi karena dianggap diskriminatif terhadap perempuan, dan melecehkan karena dilakukan dengan cara yang menyakitkan secara fisik dan mental bagi perempuan calon anggota polisi dan militer. Lembaga yang melakukan tes keperawanan menilai tes ini perlu dilakukan, termasuk untuk menguji akhlak calon perempuan.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan pihaknya akan menghilangkan syarat tes keperawanan bagi calon mahasiswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri. “Saya hapus,” kata Tjahjo saat saya menghubunginya, Kamis pagi.

Soal penghapusan tes keperawanan di TNI dan Polri? Saya akan bahas dulu lewat Menko Polhukam, baru ke Presiden, kata Tjahjo.

Salah satu dari 11 sumber yang diwawancarai HRW melakukan tes keperawanan pada tahun 2013. “Yang melakukannya adalah dokter laki-laki. Saya merasa terhina. Situasinya sangat tidak menyenangkan. Membuatnya tidak nyaman. Saya kaget,” akunya.

Meski tes biasanya dilakukan oleh tenaga medis perempuan, namun hal tersebut tidak mengurangi penyiksaan fisik dan mental bagi mereka yang menjalani tes.

Apa kata wakil rakyat?

Nihayatul Wafiroh, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), memprotes pelaksanaan tes keperawanan ini. “Itu tidak ada hubungannya dengan kompetensi pribadi,” kata Ninik dalam rapat dengar pendapat dengan Menteri Kesehatan pada Januari 2015.

“Selain melanggar HAM dan diskriminatif, prosesnya sangat menyakitkan,” kata Ninik.

Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek sependapat dengan Ninik bahwa tes keperawanan tidak ada hubungannya dengan kompetensi. Selain itu, tes keperawanan juga telah dilarang oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).

Yang miris adalah nuansa yang muncul pada video uji coba di atas. Ketua DPR Dede Yusuf dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) tampak tersenyum, sementara anggota DPR lainnya, Charles Mesang, keberatan dengan Ninik Wafiroh yang membahas tes keperawanan calon polisi wanita dan TNI dalam pertemuan dengan Menteri Kesehatan.

Bahkan, dalam beberapa kesempatan, pimpinan Polri dan TNI beralasan tes tersebut dilakukan untuk menjamin kesehatan reproduksi perempuan calon anggota Polri dan TNI.

“Ini serius Pak Ketua, bukan main-main. “Ini terkait dengan kesehatan,” kata Ninik.

Nila Moeloek, Menteri Kesehatan, pun berkomentar. Menurutnya, Ninik seharusnya meminta tes keperawanan ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Ninik menegaskan, isu tes keperawanan perlu dibicarakan dengan Menteri Kesehatan karena alasan yang digunakan Polri dan TNI adalah isu kesehatan reproduksi.

HRW berharap para dokter dari berbagai negara yang akan berkumpul di Bali, Indonesia, dalam pertemuan International Committee on Military Medicine (ICMM) mendesak pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk mewajibkan tes keperawanan bagi calon anggota ICMM. Indonesia melenyapkan Tentara Nasional.

ICMM adalah lembaga antar pemerintah yang berbasis di Belgia. Pertemuan ICMM, sebuah lembaga kolaborasi profesional antar profesi kesehatan, akan berlangsung di Bali, 17-22 Mei 2015.

(BACA: Surat Terbuka Soal Tes Keperawanan TNI)

“TNI harus menyadari betapa berbahaya dan memalukan dampaknya bagi perempuan jika harus menjalani tes keperawanan yang tidak ada hubungannya dengan upaya memperkuat keamanan nasional,” kata Nisha Varia, direktur advokasi perempuan HRW.

HRW berharap Presiden Jokowi memastikan TNI menghapuskan persyaratan tes keperawanan dan melarang semua rumah sakit militer melakukan tes tersebut. HRW mengirim surat kepada ICMM dan 16 negara anggotanya, termasuk Kepala Pusat Kesehatan TNI, Mayjen Daniel Tjen, untuk menggunakan forum di Bali untuk mengakhiri tes keperawanan bagi calon anggota militer perempuan.

Namun surat kepada Kepala Puskesmas TNI hingga saat ini belum dibalas.

Mengapa TNI ngotot melanjutkan tes keperawanan?

Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Fuad Basya mengatakan, tes keperawanan dilakukan terhadap calon anggota perempuan untuk mencari calon yang sehat jasmani dan rohani. “Jika dokter selama tes menemukan kandidat kehilangan selaput dara karena kecelakaan, kami akan tetap mempertimbangkan untuk menerima kandidat yang bersangkutan,” kata Fuad seperti dikutip dari laman Sydney Morning Herald.

Fuad juga menjelaskan, tes keperawanan dimulai pada tahun 1977, saat ia masuk wajib militer. “Tes ini sangat penting,” kata Fuad.

Dia mengatakan TNI tidak akan menghapuskan tes tersebut. Fuad juga membantah tes keperawanan dilakukan terhadap tunangan atau calon istri anggota TNI. “Jika alasan hilangnya keperawanan karena hubungan seksual, berarti kondisi mental calon prajurit tersebut sedang tidak baik,” kata Fuad.

Berdasarkan informasi yang dihimpun HRW, tes keperawanan calon anggota TNI perempuan dilakukan dengan tes dua jari (tes dua jari), yang dianggap menyakitkan, memalukan dan meninggalkan trauma mendalam bagi yang harus melakukannya. Tes dua jari ini untuk membuktikan kondisi selaput dara, dan untuk mengetahui apakah yang bersangkutan masih perawan atau tidak.

Pada bulan November 2014, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan pedoman yang antara lain menyatakan bahwa tidak perlu melakukan tes dua jari untuk membuktikan keperawanan seseorang, karena tes tersebut tidak memiliki dasar ilmiah.

Salah satu sumber, istri seorang perwira militer, mengatakan calon istri harus menjalani tes keperawanan untuk membuktikan kesetiaannya kepada suami. Hal ini dinilai penting untuk stabilitas rumah tangga anggota TNI karena mereka kerap mengabdi dalam jangka waktu lama jauh dari istri dan keluarganya.

Alasan ini sarat dengan diskriminasi karena menuntut perempuan untuk setia pada pasangannya. Bagaimana dengan kesetiaan seorang pria kepada istrinya?

Dan yang lebih penting lagi, apa hubungannya tes keperawanan dengan menjaga kehormatan bangsa?

Melihat keteguhan TNI dalam pelaksanaan tes keperawanan ini, saya hanya bisa berhadapan dengan presiden. Saya tidak berharap delapan menteri perempuan di kabinet Jokowi akan peduli dengan peraturan yang mendiskriminasi perempuan tersebut.

Mereka terlalu sibuk dengan sasaran Nawa Cita. Dimanakah waktu untuk mengatasi trauma Kowad, Kowal, Kowau dan Polwan? —Rappler.com

Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Ikuti Twitter-nya@unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com.


Pengeluaran SGP hari Ini