Kapankah Jokowi akan serius terhadap isu-isu perempuan dan mendorong reformasi PBB?
- keren989
- 0
Sebelum menulis artikel ini, saya sempat heboh dengan pidato Presiden Joko “Jokowi” Widodo di Konferensi Asia Afrika (KAA). Tak main-main, Presiden mengatakan KAA harus mendorong reformasi di PBB.
(BACA: Jokowi Serukan Reformasi PBB dalam Pidato KAA)
Tentu saja, PBB berarti Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bukan pelajaran berbaris atau pesta bulanan, eh Bulan Bintang. Ibarat Jokowi mengibarkan bendera perang terhadap negara yang punya hak veto.
Jokowi juga menyampaikan pentingnya negara Palestina yang merdeka dan berdaulat di wilayahnya. Terakhir, Jokowi juga mengatakan bahwa solusi ekonomi global tidak lagi hanya bergantung pada Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan lembaga sejenis. Solusi-solusi tersebut sudah terasa ketinggalan jaman. Luar biasa.
Singkat cerita, pidato Jokowi kali ini sungguh menyentuh jiwa. Sama seperti Tanta Ginting yang berperan sebagai Semaoen, bernyanyi Internasional film coklataminoto.
(BACA: Film Terbaru Garin ‘Tjokroaminoto’ Bicara Tentang Guru Nasional dan Komunisme)
Saya tidak akan berdebat dengannya tentang menentang raksasa dunia, baik dari segi politik, ketahanan dan keamanan, serta ekonomi. Saya akan berpikir 1.000 kali untuk melawan presiden. #Saya orang itu.
Saya hanya ingin menulis sedikit tentang betapa pentingnya Presiden untuk memprioritaskan isu-isu perempuan di negara ini, dan untungnya Asia dan Afrika. Untuk gaya? TIDAK. Untuk menyelamatkan pot beras perekonomian nasional. Apa hubungannya? Sangat.
Saya tidak begitu suka dengan isu feminisme. Beberapa orang yang membuka wawasannya menurut saya begitu Tunggal Pawestri (@tunggalp) Dan Paring Waluyo Utomo (@paringwaluyo).
Dari Paring saya mendapat kosa kata baru: pengarusutamaan gender (PUG). Silakan mencari artinya di Wikipedia. Singkatnya, hal ini bertujuan untuk memberikan ruang dan kesempatan yang setara dalam kehidupan, kewarganegaraan, dan pekerjaan.
Semua orang pasti akan berkata: perempuan boleh bekerja di bidang yang sama dengan laki-laki. ya benar Namun perlindungan dan kebijakan negara PUG masih jauh. Lalu apa hubungannya dengan perekonomian? Bersabarlah.
Saya akan menjelaskannya dengan sedikit pengetahuan yang saya miliki. Kalau salah silahkan salahkan Tunggal atau Paring.
Ketika saya masih kecil di daerah Surabaya, tetangga saya adalah seorang sopir angkutan umum. Kehidupannya cukup sejahtera, anak-anaknya bersekolah hingga SMA. Dari mana uangnya? Istrinya membuka toko kerajinan kecil. Pracangan merupakan tempat penyimpanan kebutuhan sehari-hari seperti beras, gula, kopi, jajanan anak, kerupuk, mie, kacang hijau, telur, kacang tanah, dan lain sebagainya.
Istrinya menyokong pendapatan keluarga dari rumah. Tetangga lainnya bekerja sebagai penjual roti keliling. Begitu pula istrinya membuka usaha kecil-kecilan dan kehidupan keluarga pun sejahtera.
Kini convenience store atau disebut juga toko kelontong sudah mulai langka. Peralihan ke ritel modern demi efisiensi dan pengurangan pengangguran.
Pendapatan ibu untuk menghidupi suami berkurang. Laki-laki harus bekerja lebih keras, namun persaingan bisnis di jalanan, seperti supir angkutan umum dan tukang roti keliling, tidaklah mudah.
Perubahan dari convenience store telah hilang dan berubah menjadi keuntungan dari mini market modern yang juga dilakukan melalui franchising. Ketika negara memutuskan bahwa masuknya modal dalam jumlah besar akan mengambil alih usaha-usaha rakyat kecil dan juga perempuan, negara tersebut sama sekali tidak memasukkan kajian PUG ke dalam kebijakannya.
Hal serupa juga kita temukan di wilayah pesisir. Nelayan yang pulang dari melaut langsung menjual ikan hasil tangkapannya. Istirahatlah, kadang ada juga yang ke dangdutan. Ugh.
Apa peran perempuan di pesisir? Menurut Anda siapa yang bersusah payah mengolah ikan menjadi ikan asin dan ikan asap agar memiliki nilai tambah dan tahan lama? Itu semua dilakukan oleh perempuan. Mereka memutar otak agar ikan dan hasil laut lainnya tetap awet karena tidak ada pabrik es dan listrik yang sangat terbatas.
Lalu apa peran pemerintah dalam perikanan laut? Yang diberikan berupa kapal, jaring, bahan bakar, dan pinjaman lunak. Apakah itu penting? Sangat penting.
Namun pertanyaan saya, apakah negara ini memprioritaskan PUG dalam kebijakan perikanan lautnya? Adakah program nyata bagi perempuan nelayan yang tangannya begitu terampil dalam mengolah hasil laut menjadi ikan asin, ikan asap, kerupuk, petis, dan sebagainya?
Apakah pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan agar pabrik-pabrik yang memproduksi makanan olahan di pesisir pantai harus memberikan perhatian serius terhadap industri rumah tangga yang dijalankan oleh ibu-ibu? Menjadikan mereka mitra strategis dan bukannya mematikan bisnis mereka dengan kekuatan modal.
Juga program pertanian. Yang terlintas di benak kita adalah subsidi pupuk, bibit, traktor yang ternyata ditarik kembali, waduk besar yang bisa menelan biaya lebih dari Rp 5 triliun per unit, fokus kembali swasembada, dan banyak lagi.
Apakah itu semua perlu? Alami. Namun apakah pemerintah memberikan dukungan kepada perempuan petani?
Saya pernah bertemu dengan direktur sebuah perusahaan benih. Katanya, tangan perempuan Indonesia seolah menyimpan keajaiban. Ketersediaan benih sayur dan buah hibrida berkualitas bergantung pada ribuan, bahkan mungkin puluhan ribu, perempuan petani Indonesia.
Untuk menghasilkan benih unggul, serbuk sari harus dikumpulkan dari tanaman jantan. Kemudian disebarkan pada tanaman betina. Kedengarannya mudah, saya sendiri sudah melakukannya dan sulit untuk meminta maaf. Itu keahlian para petani perempuan, tidak ada satupun petani laki-laki yang memiliki kualifikasi tinggi untuk menjadi penyerbuk.
Di masa lalu, perempuan di pedesaan juga memelihara ayam kampung. Saat ke pasar, mereka kerap membawa beberapa butir telur ayam untuk dijual di pasar. Taburkan juga bibit bayam dan sawi untuk diikat kecil-kecil dan dijual ke pasar.
Kini telur dan ayam musnah akibat kuasa modal ayam petelur dan ayam pedaging. Apakah masih ada telur ayam kampung dan daging ayam kampung? Tetap. Namun dari segi volume, hal ini tentu sangat merugikan industri peternakan.
Begitu pula ketika harga komoditas pertanian anjlok padahal hasil panen melimpah. Yang mengolah sayur dan buah menjadi acar, jus apel, aneka makanan lokal, dan sejenisnya.
Seluruh fungsi produksi produk pertanian segar dilakukan oleh petani perempuan – dan tentu saja pabrik. Negara tidak pernah hadir dalam kebijakan yang mendukung bisnis perempuan. Sekali lagi PUG tidak terjadi khawatir negara.
Bagaimana dengan daerah perkotaan? Artikel yang saya tulis tentang cuti hamil – yang saya bilang #batuk menginspirasi banyak orang – sepertinya sudah menjadi program nasional, saya mencobanya google Kemarin.
(BACA: Mengapa saya mengambil cuti hamil 6 bulan?)
Sayangnya, itu hanya rencananya. Sebagai halaman, beberapa pihak mengusulkan cuti hamil minimal 6 bulan. Namun hal itu tidak pernah terwujud. Demikian pula saran hari-peduli di kantor-kantor sehingga para pekerja perempuan dapat menitipkan anak-anak mereka bersama mereka dan mungkin memberikan ASI langsung kepada anak-anak mereka.
Semuanya masih rencana dan belum ada langkah konkrit. Seperti rencana swasembada gula yang digagas pada tahun 2003-2004, kemudian direvisi pada tahun 2006, kemudian terus direvisi hingga saat ini.
Begitu pula dengan upaya peningkatan produksi kedelai yang menghabiskan dana sebesar Rp 1,45 triliun pada tahun 2014 saja, mengakibatkan produksi tidak meningkat, malah turun, dan impor kedelai meningkat.
Sayang anggarannya terbuang percuma untuk dua slogan kosong: swasembada dan nasionalisme. Jika gagal, berlindung lagi pada dua kata ini.
Cuti hamil dan juga hari-peduli dalam kerangka PUG hal tersebut bukan menjadi perhatian negara kita tercinta. Perusahaan harus berargumentasi bahwa biaya operasional tinggi. Benarkah jika biaya operasional rendah dan laba tinggi, maka sebagian besar hasilnya akan dinikmati karyawan?
Seharusnya pemegang saham dan manajemenlah yang mendapatkan hasil besar terlebih dahulu. Karena alasan sebagai pemilik modal, menanggung risiko, dan sebagainya.
Uniknya, perusahaan besar selalu mempopulerkan kebijakan yang berpihak pada perusahaan dari negara lain. Misalnya listrik. Ada industri yang bilang, kalau listrik di negara maju, tarifnya disubsidi untuk industrinya.
Tarif bagi masyarakat pun ditinggikan agar efisien. Giliran anda kalau ada tambahan beban tarif mengacu ke luar negeri, giliran anda mendengar negara maju memberikan cuti melahirkan 6 bulan bahkan setahun, dan berkata: pengeluaran usaha dan kita ikuti peraturan pemerintah. Kemudian peraturannya dibahas di mana dan kapan.
Silakan hitung jumlah perempuan yang bekerja di pabrik, toko pendingin, sektor jasa dan sebagainya di kota-kota besar. Jumlahnya signifikan. Begitu pula kontribusinya terhadap perekonomian negara ini.
Apa jadinya jika para calon pekerja ini harus bekerja sepanjang waktu saat hamil dan meninggalkan bayi-bayi mereka yang rentan di rumah demi mempertahankan karier mereka tanpa berpikir untuk memberi mereka kebebasan sedikit pun untuk menikmati peran sebagai ibu.
Laju pertumbuhan penduduk Indonesia menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang saya baca dari tahun 1990-2010 per tahun adalah 1,49%. Dekade sebelumnya adalah sekitar 2%. Dekade 1971-1980 genap 2,31%. Apa artinya? Jumlah kelahiran semakin berkurang.
Ketakutan seorang karyawan untuk hamil berkali-kali merupakan salah satu bentuk perilaku yang berlebihan. Kedepannya, jumlah generasi muda penerus bangsa ini mungkin akan lebih sedikit per generasinya dibandingkan pada zaman saya yang lahir pada tahun 90an. Tidak, lahir di tahun 70an. Karena jumlahnya lebih sedikit, generasi berikutnya tentu harus memiliki kualitas yang lebih tinggi.
Namun bagaimana bisa memiliki kualitas jika terlahir dari seorang ibu yang kebingungan dalam memilih karir atau… terima kasih karena cuti hamil yang terbatas. Generasi apa yang ingin kita ciptakan dari bayi yang tidak bisa menyusui langsung dari ibunya selama 6 bulan?
Jawabannya ada pada generasi yang menikmati asupan nutrisi dari ibunya sambil mendengarkan irama jantung ibunya yang berdetak dengan damai. Ini bukan generasi yang harus buru-buru ke induknya karena dikenai pajak tenggat waktu atau berangkat pagi-pagi sekali untuk menghindari kemacetan lalu lintas. Generasi ini juga bukan generasi yang harus menggunakan dot plastik.
(BACA: Siapa yang mendukung cuti hamil 6 bulan?)
Kembali ke Pak Jokowi, betapa pentingnya PUG dimasukkan dalam kebijakan strategis yang nyata. Bukan sekedar slogan yang ditulis dalam kajian pemerintahan. Juga mengingatkan kita akan pentingnya kajian PUG di negara-negara Asia-Afrika.
Bagaimana kekerasan seksual di India, perempuan mengalami pelecehan dan harus mengungsi kesana kemari karena perang berkepanjangan di Afrika. Kajian PUG tidak kalah pentingnya dengan kritik terhadap PBB yang tidak menjalankan fungsinya dengan sempurna.
Pak Jokowi juga harus mengingatkan kita bagaimana politik di Bangladesh – yang pada dasarnya didominasi oleh laki-laki – mencampuri urusan Bank Grameen. Bank untuk produktif lengan dirancang dari awal hingga akhir, ditujukan untuk wanita.
Dan masih banyak wilayah di Asia dan Afrika yang patut menjadi perhatian dunia. Ujungnya adalah penghormatan terhadap perempuan, kesetaraan dan PUG tentunya.
Negara-negara Asia dan Afrika harus benar-benar mengutuk negara-negara maju yang menyedot kekayaan Asia dan Afrika, sehingga mengakibatkan perang dan penindasan.
Namun, sebelum kita mulai menghina pekarangan tetangga kita yang tidak tertata rapi, ada baiknya kita juga memperhatikan dan merawat pekarangan kita yang gundul dan tidak terawat. Tapi Pak Jokowi, pidatonya keren. #cariamancoy—Rappler.com
Kokok Herdhianto Dirgantoro adalah mantan jurnalis, mantan pegawai bank. Kini beliau menjalankan kantor konsultasi di bidang komunikasi strategis. Namun Kokok sangat tertarik mempelajari masalah ekonomi. Gaya tulisannya lucu, namun penuh analisis. Ikuti Twitter-nya @kokokdirgantoro.