Dilanjutkan pada KTT perubahan iklim
- keren989
- 0
Pembahasan mengenai minyak sawit Indonesia akan berlanjut pada pertemuan puncak perubahan iklim di Lima, Peru. Bagaimana sikap Indonesia terhadap tekanan media AS?
Pada tanggal 4 November, surat kabar berpengaruh The New York Times menjadi headline sebuah editorial Taruhan besar Amerika terhadap Indonesia. Intisari redaksi NYT adalah menyambut era Presiden Joko “Jokowi” Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia. Diskusi ini membahas tentang posisi strategis Indonesia sebagai negara demokratis dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, serta pertumbuhan ekonomi yang menempatkan Indonesia pada kelompok G20.
Meski dianggap sebagai negara model demokrasi, NYT juga menyebutkan masih ada 100 juta penduduk Indonesia yang hidup dengan pendapatan US$2 sehari, atau bahkan kurang. Presiden Jokowi juga menyinggung perlunya menghentikan produksi minyak sawit, yang menurut NYT menghancurkan seperlima kawasan hutan sejak tahun 1990 hingga 2010 dan menjadikan Indonesia sebagai penghasil emisi gas rumah kaca (GRK).
Tekanan AS untuk melindungi industri minyak kedelai dari minyak sawit Indonesia tidak pernah berhenti. Editorial NYT adalah yang terbaru. Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington, DC menanggapi secara rinci putusan terkait kelapa sawit tersebut. Salinan tanggapan itu saya dapatkan dari Dubes Budi Bowoleksono ketika saya berkunjung beberapa hari setelah editorial NYT terbit.
Menurut pihak KBRI, ini kedua kalinya NYT menuduh seperlima hutan Indonesia habis akibat perkebunan kelapa sawit. “Pada tanggal 5 Mei 2014, editorial NYT menerbitkan pernyataan yang sama mengenai minyak sawit Indonesia, deforestasi dan emisi gas rumah kaca. Pernyataan itu salah dan kini diulangi lagi, kata KBRI.
Di mata KBRI, kalimat NYT yang menyebutkan 20 persen hutan Indonesia hilang akibat perkebunan kelapa sawit adalah sebuah kesalahan. Luas total perkebunan kelapa sawit di Indonesia kurang dari 10 juta hektar, bahkan kurang dari 10 persen luas hutan Indonesia.
KBRI juga menolak usulan NYT agar Indonesia menghentikan seluruh aktivitas industri kelapa sawit. Dalam perspektif Indonesia, industri kelapa sawit telah mengangkat harkat dan martabat masyarakat sekitar untuk keluar dari kemiskinan. Indonesia menghargai pentingnya melindungi hutan untuk menghadapi tantangan global perubahan iklim. “Kami melindungi perekonomian kami dan menciptakan kesejahteraan bagi rakyat kami. Kami tidak melihat pertumbuhan dan keberlanjutan sebagai sebuah proposisi, begitu pula dengan New York Times,” tulis KBRI.
Indonesia percaya bahwa dengan dukungan kebijakan dan keuangan yang memadai, pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan dapat berjalan beriringan.
Industri kelapa sawit dinilai penting karena sekitar empat juta orang bekerja langsung di industri kelapa sawit ini. Sebanyak 12 juta orang secara tidak langsung bergantung pada sektor ini untuk penghidupan mereka. Industri kelapa sawit Indonesia, menurut catatan KBRI Washington, menghasilkan US$20 miliar setiap tahunnya dari ekspor, dan berperan penting dalam mengurangi kemiskinan di desa-desa sekitarnya.
Apa yang lupa dibahas oleh editorial NYT, kata Duta Besar Bowoleksono, adalah bahwa Indonesia berada di garis depan dalam upaya internasional untuk mengurangi gas rumah kaca dan deforestasi. Pada tahun 2009, pada Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, Indonesia mengumumkan komitmen untuk mengurangi emisi GRK hingga 26 persen pada tahun 2020. Jumlah yang besar.
Indonesia juga telah membangun lembaga-lembaga untuk memerangi deforestasi, yaitu REDD+, dan mencakup pembangunan berkelanjutan di semua tingkat perencanaan pembangunan. “Hutan dan lahan gambut yang diselamatkan berdasarkan kebijakan moratorium Indonesia lebih besar dari gabungan daratan California dan Florida atau tiga kali lebih besar dari total luas 59 taman nasional di AS,” demikian balasan dari KBRI. Nadanya agak galak.
Pada pertemuan puncak perubahan iklim di PBB, September 2014, empat pemain besar agribisnis Indonesia menandatangani Pelat Minyak Sawit Indonesia. Plakat ini memastikan bahwa proses produksi di industri kelapa sawit Indonesia mematuhi prinsip keberlanjutan dan pengurangan emisi GRK. Penandatanganan ikrar ini merupakan bagian dari setengah dekade kolaborasi dengan organisasi non-pemerintah seperti Green Peace, WWF, The Nature Conservancy dan The Forest Trust.
Pembahasan mengenai industri kelapa sawit serta kelapa sawit sebagai sumber energi biofuel akan dilanjutkan pada Konferensi Perubahan Iklim COP 20 yang dibuka kemarin (1/12) di Lima, Peru.
Delegasi Indonesia akan dipimpin oleh Rachmat Witoelar, Ketua Dewan Perubahan Iklim, yang juga mantan Menteri Lingkungan Hidup yang membantu merumuskan posisi Indonesia dalam komitmen penurunan GRK.
“Kami sepakat, mereka yang bandel, perusahaan yang membakar hutan, harus ditindak tegas. Namun, kami juga tidak ingin persaingan bisnis membuat industri kelapa sawit kita terpojok. Sejauh ini, Indonesia telah melaksanakan komitmen penurunan emisi dengan baik. “Masih banyak yang perlu diperbaiki, namun kami tidak tinggal diam,” kata Rachmat Witoelar.
Tadi malam saya hadir pada rapat terakhir persiapan delegasi Indonesia ke COP 20 di Lima yang juga dihadiri Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.
Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap COP20 dan perundingan Indonesia di Lima? Saya akan melaporkan langsung untuk pembaca, dari ibu kota Peru. —Rappler.com
Uni Lubis, mantan Pemimpin Redaksi ANTV, menulis blog tentang 100 hari pemerintahan Jokowi. Ikuti Twitter-nya @unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com.