Kebobrokan mencari kambing hitam
- keren989
- 0
Setelah kalah 0-5 dari Thailand di semifinal SEA Games 2015 pada Sabtu 13 Juni, surat kabar nasional Jawa Pos menjatuhkan judul: Anda mungkin mendapatkan seng. Tentu saja hajatan olah raga dua tahunan di Asia Tenggara ini tidak mempertontonkan medali yang terbuat dari bahan seng, lembaran besi (baik galvanis maupun besi). datar) yang sering menjadi atap warung tegal atau kandang ayam.
Arti dari judul tersebut adalah tim Merah Putih terancam pulang tanpa membawa pulang medali. Barangkali penulis judul tersebut terpengaruh ungkapan terkenal di Jawa Timur untuk menggambarkan kekalahan telak: pulang membawa kalung omplong alias pulang membawa kalung timah. Medalinya adalah kaleng.
Dua hari berselang, Manahati Letusen dkk justru pulang tanpa gelar. Garuda Muda dihancurkan Vietnam dengan skor yang sama melawan Thailand. Kiper Teguh Amiruddin yang tampil apik sejak game kedua SEA Games 2015 tiba-tiba kehilangan kemampuannya. Ia digantikan Hong Quan melalui tendangan penalti (menit ke-13), Huy Toan (21′ dan 40′), Huu Dung 45+1′, dan Ngoc Hai (70′).
Thailand juga menjadi juara sepak bola SEA Games 2015 kembali ke belakang alias back to back setelah menjuarainya pada edisi 2013. Mereka telah memenangkan medali emas sepak bola sebanyak 15 kali. Terbanyak dibandingkan negara mana pun di ASEAN.
Kekalahan yang wajar, bukan kambing hitam
Kehilangan timnas, bagi pecinta sepak bola Indonesia, sebenarnya merupakan hal yang wajar. Kami lelah berharap. Maklum, sejak medali emas diraih era Yusuf Ekodono di SEA Games 1991, tak ada lagi yang mampu menandinginya.
Fandi Eko Utomo, putra Yusuf yang tampil di final SEA Games 2013 dengan membawa medali emas milik ayahnya, masih gagal meraihnya. Saat itu, Indonesia kalah dari Malaysia di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta melalui adu penalti.
Sejak SEA Games pertama kali digelar pada tahun 1977, kita hanya mampu membawa pulang dua medali emas. Selain edisi 1991, Merah Putih berhasil menjuarai cabang olahraga sepak bola di SEA Games 1987.
Namun skor mencolok membuat publik sepak bola mencari sasaran. Maklum, kekalahan 0-5 melawan Vietnam menjadi rekor kekalahan terberat Indonesia melawan tim berjuluk Pendekar Merah. Total kebobolan Timnas juga menjadi yang terbesar sepanjang keikutsertaan Indonesia di SEA Games. Garuda Muda kebobolan 15 gol. Rinciannya, masing-masing lima gol saat kalah melawan Thailand dan Vietnam, empat gol melawan Myanmar, dan satu gol melawan Kamboja.
Lalu siapa yang menjadi sasaran kegagalan? Pelatih timnas Aji Santoso memberi “kode” siapa yang harus bertanggung jawab. Kambing hitamnya adalah skorsing Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang dilakukan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi. “Pembekuan mempengaruhi mental pemain,” kata Aji.
Hal tersebut bukanlah pernyataan baru dari eks pemain Persebaya tersebut. Kalimat itu sudah dihafal Aji sejak Indonesia kalah 2-4 dari Myanmar pada 2 Juni 2015. Menurut dia, Indonesia kalah karena pemainnya gugup dengan sanksi FIFA. “Saya tidak menyalahkan para pemain. “Kalau saya jadi mereka, saya juga akan merasakan hal yang sama,” kata Aji.
Aji memerintahkan kambing hitam atas kegagalan tersebut adalah skorsing PSSI oleh Menpora Nahrawi. Ia berdalih, absennya kompetisi memperburuk kondisi para pemain menjatuhkan. Sanksi FIFA membuat mereka was-was sehingga tidak bisa mengantisipasi serangan Myanmar.
Persaingan tidak bisa menjadi alasan mutlak terjadinya kegagalan. Saat Indonesia mengikuti Piala AFF 2014, kompetisi Liga Super Indonesia (ISL) baru selesai kurang dari dua pekan. Artinya, tingkat kebugaran sang pemain masih bagus. Namun Indonesia malah tak bisa lolos dari babak penyisihan grup.
Namun, tingkat kegagalan ini tidak lagi terlihat sekilas kubus kubis. Ungkapan yang juga populer di Jawa Timur ini lebih buruk dari memakai rantai timah. Kurang lebihnya berarti “tidur di pasar di atas bantal kubis” karena Anda telah kehilangan segalanya.
Alasan minimnya persaingan juga semakin tidak relevan dibandingkan dengan Myanmar. Para pemain tidak mengikuti kompetisi yang terhenti sejak April 2015 itu. meskipun Mereka mampu mencapai final sebelum dihentikan 0-3 oleh Thailand.
Soal kegelisahan, jurnalis senior Tatang Mahardika mencontohkan Irak saat menjuarai Piala Asia 2007. Bahkan mereka harus menjalani pelatihan di luar negeri karena faktor keamanan. “Setelah menang, tidak semua pemain bisa pulang karena parahnya konflik sektarian,” kata Tatang.
Jika alasan Aji diutarakan kepada generasi muda masa kini, mereka akan menjawab, “Kamu kalah saja. Saya tidak perlu membuat alasan.”
Bukan kali ini saja rekor kekalahan telak Aji terjadi. Ini daftarnya.
- Indonesia 0-10 Bahrain di ajang Pra Piala Dunia 2014.
- Indonesia 0-6 Thailand pada laga grup E Asian Games 2014.
- Indonesia 1-4 Korea Utara di babak 16 besar Asian Games 2014.
- Indonesia 0-4 Korea Selatan di ajang Piala U-23 Pra-Asia U-22.
Oleh karena itu, ada baiknya Aji meluangkan waktu untuk memikirkan alasan teknis kekalahan melawan Vietnam sebagai berikut:
Mengapa dia menurunkan Abduh Lestaluhu yang notabene bek kiri menjadi bek kanan (yang kemudian dikembalikan posisinya saat Indonesia kalah 0-4)?
Mengapa bek tengah memilih Hansamu Yama dibandingkan Manahati Lestusen padahal beberapa kali melakukan blunder (Hansamu menit ke-13 bola tangan dan Indonesia mendapat hadiah tendangan penalti)?
Mengapa Manahati yang kuat sebagai bek tengah harus bermain sebagai gelandang bertahan padahal posisi tersebut sudah solid diisi oleh duet Adam Alis dan Zulfiandi?
Mengapa Evan Dimas dicadangkan?
Lebih baik daripada Aji menyalahkan hal-hal yang berada di luar jangkauannya, di luar kendalinya.
Sepak bola sebagai hiburan dan kegembiraan
Hingga hari ke-11 SEA Games 2015, Merah Putih berhasil meraih 45 medali emas. Beberapa cabang olahraga yang menyumbangkan banyak medali emas adalah atletik (7 medali) dan dayung (13 medali).
Indonesia bukanlah bangsa yang lahir untuk sepak bola. Tapi Anda masih bisa mendapatkan yang terbaik dari sepak bola.
Jangan bicara ikut Piala Dunia, negara ini mungkin tidak akan pernah menjuarai Piala Asia. Namun warganya tetap bisa bersenang-senang bersama di dalam stadion menyaksikan pahlawan mereka bertarung melawan klub lawan. Para pesepakbola bermain secara profesional dan pengurus klub mengelola klub dengan baik. Itu saja sudah terasa berat, apalagi membicarakan prestasi. –Rappler.com
Agung Putu Iskandar adalah seorang penulis lepas yang tinggal di Surabaya. Pria yang masih bersaudara dengan legenda Persebaya Eri Irianto ini sempat tinggal di Brasil selama dua bulan untuk meliput Piala Dunia 2014. Bisa dihubungi melalui @aagung.