Rayakan toleransi dan kemenangan di Bali dengan meriah
- keren989
- 0
DENPASAR, Indonesia – Dua hari libur di Bali datang pada waktu yang hampir bersamaan tahun ini. Hari Galungan, perayaan kemenangan kebaikan (dharma) atas kejahatan (adharma), dirayakan oleh umat Hindu pada hari Rabu, 15 Juli. Idul Fitri tahun ini dirayakan dua hari kemudian.
Tak hanya dari segi waktu, kedekatan kedua hari raya ini juga menjadi momentum saling menghormati antara umat Hindu dan Islam di Bali. Keduanya punya sejarah panjang berdampingan di Pulau Dewata.
Di tingkat akar rumput, terdapat beberapa praktik yang menunjukkan betapa ramahnya sesama umat Hindu dan Islam di Bali maupun dengan pemeluk agama lain. Salah satu tradisi yang dipertahankan adalah ngejot.
Ngejot merupakan tradisi memberi makanan kepada tetangga menjelang Idul Fitri. Umat beragama yang akan merayakan hari raya menyediakan beragam menu khas Bali, baik berupa jajanan maupun makanan berat yang disebut jotan.
Untuk kami sekeluarga yang merayakan hari raya Idul Fitri, di tengah bulan Ramadhan kami mengantarkan jotan kepada tetangga kami, baik sesama muslim maupun yang berbeda agama. Tradisi ini sudah kami lakukan sejak kami mulai tinggal di sebuah gang di pinggiran kota Denpasar 10 tahun lalu.
Bagi saya yang lahir dan besar di Pulau Jawa, tradisi jogging ini merupakan sesuatu yang baru. Namun saya senang melakukannya karena menurut saya banyak nilai positif dalam membangun toleransi di Bali melalui adat ini. Ini adalah salah satu cara untuk menghormati agama lain.
Tradisi jogging ini saya pelajari dari mertua dan tetangga. Biasanya menjelang Galungan dan Nyepi, tetangga saya yang sama-sama merayakan akan mengantarkan makanan ke rumah.
Berisi beberapa menu khas Bali, seperti nasi campur, ayam betutu, dan jukuetares (sayuran dari batang pisang). Selain makanan, ada juga kue-kue dan makanan ringan, seperti jaja kukus, Begina (sejenis rengginang), tape ketan, dan jaja uli.
Mereka mengisi ingke (piring dari anyaman bambu) yang dibawa pulang oleh tetangganya. Warna kue yang berbeda-beda pada tinta seolah menggambarkan betapa beragamnya keyakinan kita di gang tersebut.
Dorongan ini tidak hanya dilakukan umat Hindu menjelang hari raya. Umat Muslim dan Katolik di kelompok kami juga melakukan hal yang sama. Bu Risma, tetangga kami yang merayakan Idul Fitri, sempat menumpang awal pekan ini. Sedangkan Pak Antonio yang beragama Katolik membagikan jotan setiap Natal.
Kembangkan toleransi dengan tradisi
Namun Ngejot tidak hanya sekedar berbagi makanan dengan tetangga, tapi juga sebagai upaya menebar kebahagiaan menjelang hari raya. Biasanya pada saat mengantarkan jotan ini, pihak pengantar mendapat ucapan selamat hari raya. Sebaliknya, penerima jotan tidak hanya sekedar menerima jotan, namun juga menerima kenyataan bahwa ia hidup berdampingan dengan orang lain.
Bagi saya, ngejot adalah bentuk dan perayaan keberagaman di Bali. Itu sebabnya cetakan tahun ini yang hampir sama terasa lebih istimewa. Kita yang bertetangga dan berbeda agama bisa saling mengirimkan jotan untuk merayakan dua hari raya yang berbeda.
Selain mendorong, berbagai praktik yang menunjukkan akulturasi antara Islam dan Bali juga masih dilakukan di pulau ini.
Di beberapa desa di Bali, seperti Saren Jawa di Karangasem dan Pagayaman di Buleleng, nama Bali dipadukan dengan nama Islam. Maka tak heran jika warga di kedua desa ini memiliki nama seperti I Nengah Abdullah, Nyoman Siti Aisyah, dan sejenisnya.
Tradisi lainnya adalah Nampah yang dilakukan masyarakat Bali menjelang Idul Fitri, khususnya saat Galungan. Pada Penampahan Galungan, sehari sebelum Hari Raya, umat Hindu di Bali melakukan tradisi nampaha, atau menyembelih babi.
Umat Islam di Pegayaman dan Saren Jawaban juga melakukan hal yang sama. Mereka melakukan Penampahan Idul Fitri. Tentu yang disembelih bukan daging babi, melainkan kambing atau sapi. Dagingnya kemudian dibagikan ke tetangga untuk menjadi menu utama saat perayaan Idul Fitri.
Saya sudah beberapa kali mengunjungi dan melaporkan komunitas desa Muslim di Bali, dan pernyataan yang sama selalu saya dapatkan dari warga desa, “Kami orang Bali padahal kami Muslim.”
Ada semacam klaim dari mereka bahwa Bali juga memiliki warna yang berbeda-beda termasuk agama. Meski beragama Islam, mereka tetap menjalankan beberapa tradisi Bali. Keduanya bisa saling melengkapi.
Bom yang mengganggu keharmonisan
Jika dilihat dari sejarahnya, Bali sejak awal sudah terbuka terhadap agama lain, termasuk Islam. Komunitas Islam lama di Bali, seperti Pegayaman di Buleleng, Loloan di Jembrana, Saren Jawa di Karangasem, atau Pemogan dan Serang di Denpasar, umumnya berdamai.
Tidak ada perang atau misi khusus untuk membawa Islam ke Bali. Misalnya nenek moyang masyarakat Bugis-Muslim di Serangan adalah para pelaut yang tersesat.
Menurut tokoh Penyerang Haji Mansur, para pelaut Bugis terdampar di bagian selatan Pulau Bali yang saat itu dikuasai Kerajaan Badung. Para pelaut tersebut diberi tempat khusus yang kini dinamakan Pulau Serangan. Mereka melahirkan anak-anak yang berkembang menjadi masyarakat Bugis di pulau ini.
Oleh karena itu, umat Islam di Pulau Serangan, Bali, memiliki ikatan khusus dengan Puri Badung di Denpasar hingga saat ini. Hal serupa juga terjadi pada komunitas Muslim di Kepaon, Denpasar. Setiap hari raya misalnya, mereka bersilaturahmi atau mengundang raja salah satu kerajaan ke Bali.
Namun toleransi tersebut tidak selalu mulus. Terkadang naik dan turun. Salah satu peristiwa besar yang mengganggu keharmonisan hubungan Islam dan Bali adalah dua ledakan bom di Bali pada Oktober 2002 dan 2005. Apalagi teroris seperti Amrozi dan Imam Samudra membawa nama Islam dalam aksinya.
Ketegangan muncul akibat aksi para teroris. Misalnya, muncul rumor akan terjadi penyerangan terhadap masjid atau musala. Namun sejauh yang saya tahu, persoalan hanyalah persoalan. Hingga saat ini umat Islam di Bali masih hidup damai berdampingan dengan umat Hindu Bali.
Momentum seperti Galungan dan Idul Fitri yang terjadi berdekatan pada tahun ini diharapkan dapat memperkuat toleransi tersebut. Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan serta Idul Fitri 1436 H. Selamat merayakan kemenangan dalam kebersamaan dan keindahan.
— Rappler.com