Pengusaha menggugat 5 PKL Yogyakarta senilai Rp 1,12 miliar
- keren989
- 0
YOGYAKARTA, Indonesia — Bagaikan tersambar petir di siang bolong, Budiono, warga Prawirodirjan, Yogyakarta, terdiam saat surat tuntutan senilai Rp 1,12 miliar diserahkan kepadanya oleh petugas Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta, 20 Agustus 2015.
Dia membaca surat itu berulang kali. Pria berusia 58 tahun itu terus meyakinkan dirinya bahwa surat tersebut ditujukan ke alamat yang salah. Tapi tidak, surat itu benar-benar ditujukan padanya.
“Saya tidak menyangka akan seperti ini,” kata pria yang sehari-hari bekerja sebagai duplikator kunci di pinggir Jalan Brigjen Katamso, Gondomanan, Yogyakarta itu.
Ia kemudian memanggil 4 pedagang kaki lima (PKL) lainnya yang namanya juga tercantum sebagai terdakwa dalam surat tersebut. Keempatnya adalah Sutinah yang berjualan nasi rames, Agung sang tukang kunci yang juga anak Budiono, serta pasangan suami istri Sugiyadi dan Suwarni yang berjualan mie.
Kelimanya digugat pengusaha Eka Aryawan karena dituduh menempati lahan yang digunakan untuk usahanya tanpa izin.
Eka mengklaim, mereka berhak memanfaatkan lahan berukuran 4×5 meter yang mereka tempati untuk berbisnis. Mereka digugat kerugian materil sebesar Rp30 juta per tahun sejak 2011 dan kerugian tidak berwujud sebesar Rp1 miliar.
Totalnya Rp 1,12 miliar.
“Kami menggunakan tempat ini bersama-sama. Dari pagi hingga sore ada orang yang berjualan nasi. Saya dan Agung menyediakan jasa duplikasi kunci. “Malam hari waktunya berjualan mie,” kata Budiono.
Budiono bingung karena harus membayar begitu banyak uang kepada Eka. Pasalnya, penghasilannya per hari hanya berkisar Rp 100 ribu, padahal pelanggannya banyak.
Sutinah dan Suwarni pun demikian. Pendapatan dari penjualan makanan hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari.
“Kami bingung mau bayar dengan apa. Kami tidak melakukannya memahami hukum. “Orang hebat yang tahu cara menangani hal seperti itu, kami tidak bisa berbuat apa-apa,” keluh Budiono.
Kasus ini sebenarnya dimulai pada tahun 2011. Budiono yang menempati lahan tersebut sejak tahun 1960 kaget saat ada pengusaha yang hendak menggusurnya berdasarkan surat Kekancingan Magersari.
Surat Perjanjian Magersari adalah surat perjanjian pinjam pakai atas tanah milik Keraton Yogyakarta yang diterbitkan oleh Keraton Yogyakarta.
Budiono pun tak mau kehilangan klaim tersebut. Ia juga mempunyai bukti bahwa ia mempunyai hak atas sebidang tanah yang ia tempati.
“Saya punya izin dari zaman Belanda. Mengapa seseorang tiba-tiba mengklaim hal ini?” dia berkata.
Usut punya usut, ternyata tanah yang ditempati Budiono dan rekan-rekannya tidak termasuk dalam luasan tanah Magersari yang dikuasai Eka Aryawan. Hal itu terbukti dalam pengukuran bersama yang dilakukan pihak Camat, Budiono dan Eka.
Usai pengukuran tersebut, kedua pihak mengadakan kesepakatan bersama mengenai batas antara lahan yang dikelola Eka dengan lahan yang digunakan Budiono dan keempat rekannya.
“Tahun 2013 kita sudah sepakat. Lahan yang Pak Eka gunakan tidak termasuk lahan yang kami gunakan. Tidak ada masalah setelah itu. Tapi tiba-tiba mereka menggugat, bagaimana ceritanya? “Sudah ada kesepakatannya,” kata Budiono.
Kejanggalan dalam klaim
Ikhwan Sapta Nugraha, kuasa hukum Budiono dari LBH Yogyakarta, menilai kasus penuntutan terhadap Budiono dan empat rekannya ada kejanggalan.
Kejanggalan pertama terkait adanya kesepakatan bersama antara Budiono dan Eka Aryawan tertanggal 13 Februari 2013. Dalam perjanjian tersebut terdapat delapan poin kesepakatan yang intinya terkait batas tanah yang dimanfaatkan masing-masing pihak.
“Sudah ada kesepakatan, kenapa ini jadi masalah lagi. “LBH sudah membantu Yogya sejak 2011, tahun 2013 sudah ada kesepakatan, kami kira sudah selesai,” kata Ikhwan.
Keanehan lainnya adalah terbitnya surat simpul Magersari secara tiba-tiba dari Keraton Yogyakarta pada 2011. Ikhwan menilai kemunculan simpul tersebut merupakan awal mula permasalahan.
“Kamu seharusnya melihatnya sebelum melepas tombolnya. Siapa yang menempati tanah itu, kenapa tiba-tiba muncul? “Pak Budiono sudah menduduki lahan itu sejak tahun 1960 dan baru pada tahun 2011 muncul komplotan yang ingin menggusur mereka,” ujarnya.
Kejanggalan berikutnya adalah pembayaran tahunan Pajak Bumi dan Bangunan yang dilakukan Budiono. Kalau Budiono tidak punya hak, kenapa Budiono tetap membayar PBB setiap tahun?
“Klien kami juga merasa mempunyai dasar hak, karena dia mempunyai surat dari pemerintah Belanda periode 1933. Atas dasar itu dia membayar pajak,” imbuhnya.
Gugatan senilai Rp 1,12 miliar pun terkesan dipaksakan. Sebab dari dokumen Magersari Eka, diketahui Eka hanya membayar Rp 274 ribu per tahun untuk meminjam guna memanfaatkan tanah milik Keraton Yogyakarta seluas 73 meter persegi.
Perjanjian tersebut juga menjelaskan bahwa Eka menyewa tanah tersebut hingga 28 November 2021.
‘Topo pepe’ mencari keadilan
Karena merasa belum mendapat keadilan, Budiono, Agung, Sugiyadi dan Suwarni melakukan ritual permenMinggu sore, 13 September 2015.
Dalam tradisi Keraton Yogyakarta, permen (Meniru sambil berjemur) Hal ini biasa dilakukan warga untuk meminta keadilan kepada Sultan atau memprotes adanya ketidakadilan yang terjadi di masyarakat.
Mereka punya permen dengan mulai berjalan kaki dari tempat jualannya di Jalan Brigjen Katamso menuju Keraton Yogyakarta. Sesampainya di alun-alun utara, mereka berhenti di antara dua pohon beringin dan duduk bersila menuju Keraton Yogyakarta. Mereka mengabaikan panasnya matahari untuk mendapatkan keadilan.
“Hal ini kita lakukan agar masyarakat tahu, Istana dan Sultan juga tahu jika ada masyarakat yang tertindas,” kata Agung.
Mereka meminta Sultan membantu mereka dengan mencabut surat lubang kancing Eka Aryawan. Sebab, menurut alasan mereka, surat yang diikat itu justru digunakan Eka untuk menindas orang kecil seperti mereka semaunya.
“Kami meminta Sultan mencabut gugatan surat penundaan tersebut karena digunakan secara sewenang-wenang dengan mengusir kami. Kalau kami diusir, untuk apa kami mendapat makanan?” katanya lagi.
Mereka mengharapkan tindakan permen Hal ini didengar oleh Sultan. Keinginan mereka satu-satunya adalah mendapatkan keadilan dan bisa terus berjualan di lokasi yang sudah mereka gunakan selama puluhan tahun.
“Kami tetap ingin memanfaatkan lahan itu karena keluarga kami sudah turun temurun tinggal di sana, dan kami mendapatkan makanan dari usaha kami di sana,” kata Agung. —Rappler.com
BACA JUGA: