Para ulama tidak perlu malu untuk terjun ke sawah untuk menjadi petani
- keren989
- 0
Sebagai negara yang mengandalkan beras sebagai makanan pokok, petani di Indonesia membutuhkan perlindungan dan dukungan yang lebih besar dari pemerintah
JAKARTA, Indonesia — Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras membuat pemerintah harus mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan ketergantungan terhadap impor ini dapat mengancam ketahanan pangan dalam negeri.
Menurut pendiri bank tani, Masril Koto, salah satu cara untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras dan beras serta melakukan diversifikasi pangan adalah dengan meningkatkan konsumsi pisang.
“Makanlah pisang sebelum nasi karena selain menyehatkan juga bisa mengurangi konsumsi nasi,” kata Masril dalam sesi ekonomi festival Indonesia Youth Conference (IYC) 2014, Sabtu (8/11) pekan lalu.
Selain Masril, sesi yang dimoderatori oleh Maulana Muhammad dan membahas ketahanan pangan dan energi ini juga menghadirkan pembicara Ari Perdana, ekonom dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), sebuah lembaga pemerintah di bawah naungan Wapres. kantor presiden. .
Masril adalah petani asal Baso, sebuah kecamatan di Kabupaten Agam, Sumatera Barat dan merupakan pendiri lebih dari 900 lembaga keuangan mikro agribisnis yang tersebar di seluruh Indonesia.
Masril yang hanya mengenyam pendidikan formal hingga kelas 4 SD ini mengatakan, teori-teori pembangunan pertanian yang dihasilkan para akademisi, berdasarkan pengalamannya, tidak diterapkan di lapangan.
Hal senada juga diakui Ari yang merupakan lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
“Permasalahan yang dialami petani terkadang disebabkan oleh solusi yang mereka peroleh yang tidak membendung permasalahan tersebut, misalnya pupuk berbentuk tablet,” kata Ari.
Tampaknya pupuk berbentuk tablet kurang cocok diaplikasikan oleh petani di Indonesia karena petani harus membungkuk setiap kali harus mengaplikasikan pupuk tablet dan hal ini menyebabkan laju kerja petani menjadi lambat.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi petani, Masril mendirikan bank petani dengan menggunakan pendekatan kearifan lokal, seperti gotong royong dan kolektif.
Menurutnya, kedua ciri tersebut sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia. Selain itu, keduanya juga mencerminkan sifat berjamaah menurut Islam.
Melalui bank petani, Masril menggagas berbagai jenis tabungan yang tidak hanya berkaitan langsung dengan pertanian. Namun, ia juga menggagas tabungan lain yang berkaitan dengan kehidupan petani, seperti tabungan ibu hamil.
Tabungan ini ia bentuk berdasarkan tingginya angka kematian ibu hamil di kotanya. Selain itu, Masril juga memulai tabungan haji bagi para petani kurang mampu yang ingin menunaikan ibadah haji ke Mekkah.
Untuk anak-anak petani, Masril juga mendirikan “rekening tabungan iPad” untuk anak-anak sekolah. Terlepas dari namanya, Masril mengatakan penghematan tersebut bukan hanya untuk pembelian iPad produksi Apple saja, melainkan untuk pembelian komputer tablet pada umumnya yang bisa menggantikan buku sehingga anak sekolah tidak perlu membawa banyak buku dalam tasnya. jangan membawa tas.
Ari juga menyarankan agar generasi muda sering melakukan perjalanan untuk bertemu dengan petani seperti Masril dan melihat apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Harga tiket pesawat kini juga jauh lebih terjangkau dibandingkan saat ia baru lulus kuliah pada tahun 1998.
“Dengan jalan-jalan, generasi muda bisa mendapatkan observasi nyata permasalahan petani di lapangan, bisa mengidentifikasi permasalahan sebenarnya,” kata Ari.
“Petani membutuhkan bank yang tidak hanya sekedar meminjamkan uang, tapi bisa memberdayakan petani, misalnya melalui pengelolaan keuangan,” imbuhnya.
Ari juga menyampaikan bahwa terdapat pemahaman bahwa ketahanan pangan tidak hanya menyangkut pemenuhan pangan, namun juga produksi pangan itu sendiri. Ari menambahkan, untuk bisa memproduksinya sendiri ada konsekuensinya, yakni alih fungsi lahan bekas bangunan menjadi lahan pertanian, namun untuk itu perlu kemauan politik.
Masril menyayangkan anggapan masyarakat umum bahwa generasi muda yang sudah sarjana tidak perlu pergi ke sawah dan kalau hanya ingin jadi petani, buat apa kuliah.
Hal ini didasari karena masih banyak generasi muda di desanya yang bergelar sarjana, tidak terjun ke ladang dan hanya ayahnya yang bertani.
“Padahal untuk menjadi petani yang baik juga memerlukan pendidikan yang tinggi seperti sarjana,” kata Masril. —Rappler.com