Mengenal lebih dekat para korban bencana Masjid Agung
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia— Lambung kapal terjatuh secara tidak sengaja derek atau alat berat di Masjidil Haram, Mekkah, 11 September, memakan korban jiwa 10 jamaah WNI. Sementara 42 umat paroki lainnya mengalami luka-luka.
Beberapa diantaranya meninggal karena tertimpa puing-puing dan mengalami luka di bagian kepala dan kaki. Namun, ada juga yang meninggal karena serangan jantung.
Nama mereka juga terpampang di situs Kementerian Agama, beserta nomor paspor dan asal kelompoknya. Tapi siapa mereka dalam kehidupan sehari-hari? Bagaimana mereka sampai ke Mekah?
Pelajari lebih lanjut tentang korban dan perjalanannya ke Mekah dari kisah keluarganya di bawah ini:
Iti Rasti Darmini, ibu rumah tangga yang rajin belajar
Iti merupakan warga Desa Cibogo, Lembang, Bandung Barat. Iti yang menikah dengan Duskarno bin Dasta Kartamiharja (65) ini memiliki 3 orang anak, yakni si sulung Wiwi Widiani (35), Arbani Sodiq (31), dan si bungsu Iman Nugraha (25).
Menurut Arbani, Iti sudah menunggu selama 5 tahun untuk bisa berangkat ke tanah suci Mekkah. Dalam kesehariannya, Iti adalah seorang ibu rumah tangga. Suaminya, Duskarno, adalah pensiunan PNS.
“Ibu ini rajin ke masjid dan aktif dalam berbagai kajian agama,” kata Iman, anak bungsu. Kajian yang dimaksud adalah Kelompok Bimbingan Haji Toyiba
“Ibu rutin salat agar bisa berangkat haji. Doanya juga panjang. “Saat saya berangkat, ibu saya lebih semangat dibandingkan ayah saya,” kata Iman.
Painem Dalio, rajin membaca dan mengaji
Painem (63) adalah warga Medan, Sumatera Utara. Ia juga ibu dari 4 anak dan nenek dari 9 cucu.
Ia berangkat ke Mekah bersama temannya, Saparini, yang juga tertimpa musibah hingga tewas derek. Kedua sahabat ini rajin menghadiri acara arisan yang diselingi pengajian.
Bahkan pada tahun 2010, mereka mendaftar haji bersama-sama menggunakan dana talangan dari bank milik negara.
Menurut salah satu anggota keluarga Painem yang enggan disebutkan namanya, mereka masih berkomunikasi sekitar pukul 13.00 WIB.
“Dia meminta suaminya untuk menjaga anak-anak dan meminta doanya,” ujarnya.
Saparini, tetangga yang ramah
Saparini Baharuddin Abdullah (50) merupakan warga Medan. Ia menikah dengan Ngatirin dan memiliki 3 orang anak dan 2 orang cucu.
Dia pergi ke Mekah bersama temannya Painem. Mereka telah berteman selama beberapa dekade.
Dalam kesehariannya, Saparini dikenal ramah. “Ibu orangnya ramah, kalau ada acara di rumah selalu mengantarkan makanan ke semua tetangga. Yang jauh juga dapat bagiannya,” kata salah satu tetangganya.
Masnauli Hasibuan dan bermimpi untuk dimakamkan di tanah kelahirannya
Masnauli Hasibuan (58) berasal dari Desa Sisoma, Kecamatan Sosa, warga Kabupaten Padang Lawas. Ia menikah dengan mendiang Abdul Nasution dan dikaruniai 6 orang anak: Nur Habiba (41), Dirman Nasution (38), Gabena Nasution (35), Jummiati (30), Siti Eslina (27) dan si bungsu Salmaida (25).
Dalam kesehariannyaMasnauli selalu berpesan kepada putranya bahwa ia ingin pergi ke Mekkah dan pulang dalam keadaan sehat. Kemudian dia meninggal di tanah airnya.
Namun harapannya pupus, dia terpukul derek dan meninggal di Mekah. Sesuai aturan, ia harus dimakamkan di tanah suci.
Nurhayati Rasad Usman, nenek sehat
Nurhayati Rasad Usman (65) adalah warga Bukittinggi, Sumatera Barat. Dia seorang janda dan memiliki tiga orang anak.
Menurut Ketua Ikatan Keluarga Tanjung Raya (IKTR) Bukittinggi, Edison, Nurhayati memiliki fisik yang prima dan tidak pernah menderita penyakit serius.
“Keluarga korban sudah pasrah dengan musibah ini. Keluarga korban juga mendapat informasi bahwa jenazah Nurhayati dimakamkan di Mekah, kata Edison.
Siti Rukayah Abdu Samad, Ketua Muslimat NU
Siti dikenal sebagai guru agama di salah satu SMP Negeri di Kepanjen, Malang, Jawa Timur. Perempuan berusia 50 tahun itu juga tercatat sebagai Ketua Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) di Kecamatan Ngajum.
Setiap malam, 16 murid Siti diajari mengaji dan membaca Al Quran di rumahnya di Desa Banjarsari, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang.
Sonia, murid Siti yang masih kelas 3 SD, Sonia, teringat akan sosok guru mengaji mereka, seseorang yang selalu hadir di musala setiap sore untuk mengajari mereka mengaji. Tak jarang Siti mengajak mereka makan bersama dan memberikan uang jajan.
Sebelum berangkat menunaikan ibadah haji, siswi lain bernama Ella mengaku selalu teringat pesan Siti. “Ibu berpesan agar saya selalu mengaji dan menjadi anak yang baik dan bertakwa. “Kamu juga harus belajar pintar di sekolah,” kata Ella yang diamini oleh teman-temannya.—Rappler.com
BACA JUGA