Ibu dan Ramadhan
- keren989
- 0
Setiap bulan puasa, di keluarga kami, ibu adalah satu-satunya orang yang paling berbahagia. Hampir sepanjang puasa, sang ibu yang biasanya kalut dan banyak bicara, menjadi sangat manis, sangat memanjakan dan sangat sabar.
Ramadhan adalah bulan yang spesial bagi ibuku. Dia mengatakan kedua anaknya, saya dan saudara perempuan saya, lahir bulan ini. Di bulan Ramadhan, ia pertama kali menyelesaikan Al-Qur’an dan banyak lainnya.
Sebulan penuh ibuku memasak untuk berbuka puasa dan sahur, tidak pernah berbuka tarawih, dan seminggu terakhir ini dia melakukan it’ikaf di mesjid, meski dengan mukjizat yang hanya diketahui Allah, dia masih bisa memasak untuk kami untuk berbuka. cepat dan sahur. Tahukah Anda, jarak masjid dan rumah kami hanya dipisahkan oleh tembok halaman.
Ibuku adalah seorang juara puasa. Beliau berpuasa Senin-Kamis dan sejak setahun terakhir beliau mulai berpuasa Nabi Daud. Sehari puasa dan sehari tidak.
Usianya tidak muda lagi, mungkin usianya sudah puluhan tahun. Saya lupa umur pastinya karena ibu saya selalu tersenyum ketika ditanya umurnya. Dan seumur hidupnya tidak pernah dia berbuka hanya karena saya makan atau minum. Ibu saya hanya beberapa kali gagal berpuasa selama bulan Ramadhan, dan itu karena dia sedang sakit.
Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah portal berita yang menulis bahwa Menteri Agama meminta kita untuk menghormati mereka yang tidak berpuasa dan memperbolehkan warung makan buka pada siang hari. Meski aku tahu itu tidak benar.
Saya membaca seluruh tweet yang menjadi dasar laporan tersebut. Menteri Lukman Saifuddin meminta tidak perlu ada penutupan paksa warung saat Ramadhan karena tidak semua orang wajib berpuasa, dalam hal ini non-Muslim misalnya.
(BACA: Menag: Hargai yang Tak Puasa, Toko Tak Perlu Tutup)
Lebih lanjut, apakah konteks kalimat tersebut juga menjelaskan apa yang terjadi jika semua kios tutup? Di manakah orang yang tidak berpuasa akan mencari makan? Dalam penjelasannya, Lukman juga berbicara tentang menghormati orang-orang yang tidak diwajibkan berpuasa di kalangan umat Islam, seperti mereka yang sedang hamil, yang sedang mudik, atau yang sedang sakit.
Hal inilah yang kemudian dimaknai dan dipelintir menjadi maksud Pak. Lukman seolah memaksa masyarakat untuk menghormati mereka yang tidak berpuasa. Karena orang-orang seperti ini dan media seperti ini, saya teringat ibu saya.
Ibu saya yang usianya sudah tidak muda lagi, bahkan tidak peduli apakah warungnya buka atau tidak, acara televisinya bagus atau tidak. Selama Ramadhan, ibu saya hanya fokus pada dua hal. Menyembah dan merawat anak-anaknya. Menjaga kita adalah salah satu bentuk ibadah baginya, sehingga jika nanti ada yang merasa warung harus tutup karena mengganggu puasanya. Saya hanya bisa tertawa.
Kamu lemah. (BACA: Mari Bicara Tentang Bulan Puasa, Bir dan Iman)
Apakah sesulit itu untuk menahan diri dari makan dan minum? Ketimbang menahan makan dan minum, ada hal yang lebih sulit dilakukan saat berpuasa. Berhenti menyebarkan kebencian. Tapi ngomong-ngomong soal makanan, dua menu utama ibu kami di rumah saat sahur adalah Indomie goreng dan tahu telur.
Bukan, bukan karena ibu malas atau tidak suka memasak. Namun kita para ibu pasti tahu kalau sahur itu urusan ribet, makan setelah bangun tidur sebaiknya disesuaikan dengan selera makan. Untung saja saya dan mendiang abang penggemar berat Indomie dan tahu telur, sehingga subuh kedua menu itu sudah pasti matang dan pasti dimakan.
Sebaliknya, berbuka puasa adalah soal pamer. Soalnya, ibuku punya lima anak, empat laki-laki dan satu perempuan. Berbuka puasa bisa seperti mempersiapkan pernikahan. Banyak menu yang disajikan. Kakak pertamaku suka makanan laut, mendiang kakak kedua tidak suka ayam, dan seterusnya. Masing-masing dari kita memiliki makanan favorit.
Menariknya, meski banyak sekali menu yang terbuka, tak membuat kita kebingunan. Karena mereka sudah saling mengetahui porsi, kesukaan masing-masing, dan ingin makan apa. Saya tidak akan makan ikan laut, saudara perempuan saya tidak akan makan ayam, dan saya tidak akan makan apa pun yang mengandung sayuran. Sesimpel itu. Kita tidak perlu menuntut menu buka puasa harus seragam, monoton, dan tunggal.
Mengganggu? Tentu saja ibuku bisa mulai memasak dari siang hari nonstop hingga matahari terbenam. Ada waktu istirahat untuk salat Dzuhur atau Asar. 10 hari terakhir saat ada i’tikaf, kita tahu biasanya kita hanya minta nasi dimasak, lauknya bisa kita masak sendiri atau beli.
Setiap orang sadar bahwa setiap orang mempunyai pilihan, keterbatasan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam hal ini ibu sebagai penguasa rumah hanya memfasilitasi ruang makan, dapur dan nasi untuk makan bersama.
Almarhum kakakku tidak pernah marah, atau memaksaku makan ayam goreng di tempat lain karena dia tidak suka dan benci ayam goreng. Kakak pertamaku juga tidak pernah marah jika mendiang kakak kedua memakan sambal pedas hingga berkeringat deras.
Kami memahami bahwa menyantap hidangan buka puasa sebagai ibadah merupakan suatu kenikmatan bagi setiap orang. Sesuatu yang tidak perlu dipaksakan atau bahkan dilarang hanya karena kita tidak nyaman satu sama lain.
Jadi kalau ada gambar seperti ini, saya hanya bisa mengelus dada saja. Oh jangan salah, jika ingin menjunjung tinggi prinsip keadilan, teks gambar di bawah ini 100% benar. Bayangkan saja, pohon pinus saat Natal itu berbahaya, bisa mengganggu iman kita. Meskipun Nyepi merupakan pelanggaran hak asasi manusia, bayangkan kita harus duduk dan tidak melakukan apa pun.
Aku hanya ingat ibuku dan mendiang adik perempuanku. Mungkin jika mereka berdua membaca ini, mereka akan sepakat pada satu hal.
Aleman, seperti gadis kecil (Manja, seperti anak kecil). —Rappler.com
Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Penulisannya bergaya satir penuh sarkasme. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.