Kebebasan untuk berpikir, kebebasan untuk percaya
- keren989
- 0
Di HUT RI ke 70 ini, sudahkah kita berpikir dan percaya secara mandiri?
Kemerdekaan Indonesia lahir dari keberagaman masyarakatnya. Hal ini tidak boleh dikenang sebagai peristiwa monolitik yang dilakukan oleh individu, namun sebagai sekelompok orang yang memiliki visi yang sama.
Keberagaman adalah identitas lain dari kemandirian kita. Menjadi berbeda harus menjadi sesuatu yang diterima. Namun sayangnya, semangat persatuan terkadang dimaknai secara sempit, sehingga mereka yang berbeda terpaksa menjadi sama, atau lebih parah lagi, mereka dibuat menderita karena tidak mau tunduk pada mayoritas.
Setiap tanggal 17 Agustus ada pertanyaan yang patut kita ajukan bersama: Benarkah kita sudah merdeka? Penting untuk mengukur sejauh mana kita peduli terhadap sesama, bangsa, dan diri sendiri.
Apakah Anda memiliki kebebasan berpikir? Apakah Anda memiliki kebebasan berkeyakinan? Atau yang paling sederhana, apakah pejalan kaki terbebas dari pengendara sepeda motor dan pedagang kaki lima yang menjajah trotoar?
Menjadi pejalan kaki di Indonesia bisa menjadi masalah hidup Anda. Kasus ini mungkin hanya terjadi di Jakarta, tapi bisa menjadi ukuran betapa hal-hal sederhana masih menjajah kita. Bahu trotoar sudah diambil alih oleh pedagang kaki lima dan warung makan, salib zebra didominasi oleh sepeda motor, dan belakangan ini sepeda motor gede bisa seenaknya saja karena merasa terlindungi oleh aturan.
Apakah kita bebas di jalanan?
Kemerdekaan dapat diartikan memberikan hak individu secara penuh dimanapun berada.
Di negara ini, kelompok minoritas masih menjadi kelompok yang paling rentan. Kelompok penyandang disabilitas, perempuan, dan kelompok agama minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah masih dianggap pariya. Penyandang disabilitas masih dianggap sebagai warga kelas dua, aksesnya terbatas, dan seringkali menjadi pilihan terakhir dalam mendapatkan pekerjaan.
Apakah kita benar-benar mandiri?
Beda kepercayaan, maag dianggap sebagai penyakit yang perlu dihilangkan. Indonesia dibangun dari banyak perbedaan. Mungkin Anda tidak mau mengakuinya, namun keberadaan kelompok agama minoritas seperti Ahmadiyah sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.
lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya, disusun oleh WR Supratman, salah satu anggota Ahmadiyah. Kini, 70 tahun setelah Indonesia merdeka, kelompok Ahmadiyah masih menjadi kelompok yang paling banyak mengalami intoleransi dan kekerasan.
Apakah kita masih bebas?
Indonesia adalah negeri surga karena keberagamannya bisa saling bertoleransi. Namun pelan-pelan label tersebut terkikis, kasus-kasus intoleransi menghantui kita. Bisakah kita merayakan kemerdekaan dan kebebasan, sementara masih ada orang yang terusir dari rumahnya karena keyakinan yang dipilihnya?
Pengungsi Syi’ah dan Ahmadiyah Sampang di Lombok masih menunggu untuk pulang, apapun keyakinan yang mereka pilih, apakah kemerdekaan mereka bisa kita rampas?
Konstitusi kita menjamin hak setiap warga negara. Entah mereka mempunyai tuhan atau memutuskan untuk tidak percaya pada tuhan. Setiap keyakinan harus suci, negara tidak berkewajiban mengatur keyakinan seseorang, namun menjamin setiap warga negara terjamin kebebasan berkeyakinannya termasuk memiliki tempat ibadah.
Jangan sampai ada lagi gereja yang dilarang untuk dibangun, seperti halnya masjid yang ditolak berdirinya. Jadi, apakah kita bebas?
Bung Hatta pernah berkata, “Demokrasi hanya akan berjalan jika dibarengi dengan rasa tanggung jawab. Tidak ada demokrasi tanpa tanggung jawab. Dan, demokrasi yang melampaui batasnya dan meluap ke dalam anarki akan berakhir dan untuk sementara digantikan oleh kediktatoran.”
Kita mungkin bisa mengartikan seorang diktator yang mempunyai banyak wajah. Saat ini, diktator adalah kelompok intoleran yang memaksakan keyakinannya kepada orang lain, yang melarang kebebasan berpikir.
Pemikiran Ahmad Wahib semakin relevan saat ini karena kembali menemukan ruangnya. Dalam catatannya tertanggal 16 Agustus 1970 mis. Wahib muda mengkritik agama dan politik sebagai sebuah bangunan yang utuh. Baginya, tidak ada sesuatu pun yang tidak bisa dibongkar dan dipertanyakan kembali nilainya.
Tentunya bisnis ini harus memiliki nilai dan tujuan yang jelas. Bukan sekadar kritik kosong tanpa ada upaya perbaikan. “Cara kita bersikap terhadap ajaran Islam, Al-Quran dan lain-lain, serta terhadap Pancasila harus diubah,” kata Wahib. Artinya, dari sikap orang yang otoriter menjadi sikap orang yang mandiri, yaitu orang yang produktif, analitis, dan kreatif.
Tentu saja kebebasan berpikir harus dibarengi dengan tanggung jawab. Kemandirian tanpa sikap toleran hanya akan melahirkan sikap otoriter lagi.
Wahib menilai pada tahun 1969 umat Islam masih belum mampu menerjemahkan kebenaran ajaran Islam ke dalam sebuah program pertunjukan. Di antara nilai akhir Dalam ajaran Islam, kondisi saat ini memerlukan penerjemahan. Wahib ingin memisahkan Islam sebagai doktrin teologis dan Islam sebagai pandangan hidup.
Baginya, karena bacaannya yang cenderung tradisional dan tekstual, umat Islam menjadi “orang yang selalu tertinggal dalam upaya meraihnya dan cenderung eksklusif”.
Sikap intoleransi muncul dari keterbatasan penafsiran teks. Maka apapun yang ketat akan melahirkan sikap keras. Tentu kita tidak ingin negeri ini terjerumus konflik sektarian karena perbedaan penafsiran kitab suci, bukan?
Akhirnya, apakah kita berpikir dan percaya secara mandiri? —Rappler.com
Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Penulisannya bergaya satir penuh sarkasme. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.
BACA JUGA: