• November 24, 2024
Kisruh bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok hingga berujung suap

Kisruh bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok hingga berujung suap

JAKARTA, Indonesia – Satgas Khusus Polda Metro Jaya mengungkap dugaan suap besar-besaran di Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Daglu) Kementerian Perdagangan dalam kasus tersebut. waktu tinggal di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Kasus ini akhirnya berujung pada empat pejabat internal, termasuk Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Partogi Pangaribuan, dan pihak eksternal sebagai tersangka dalam kasus tersebut.

Dari penelusuran gugus tugas, suap ini terjadi pada proses awal perizinan penerbitan surat izin impor (SPI) bagi importir di waktu tinggal. Dimana dalam waktu bongkar muatwaktu tinggal wadah Ada 3 tahap, yaitu pra-izin, bea cukai Dan, pasca pembersihan.

“Di situlah kami menemukan akar permasalahan dalam proses tersebut waktu tinggal Ini tersedia secara bertahap pra-izindan porsinya 65 persen,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Khrisna Murti, yang membawahi ketua satgas tersebut, kepada Rappler, Sabtu, 1 Agustus.

Stadion pra-izin Hal ini ditentukan oleh proses perizinan impor yang harus diselesaikan sebelum proses tersebut izin bea cukai. Terdapat 18 kementerian/lembaga yang menerbitkan izin impor.

“Dari 18 kementerian/lembaga tersebut, lembaga yang paling banyak mengeluarkan izin impor adalah Kementerian Perdagangan yaitu 74,1 persen dan BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan) sebesar 10,9 persen,” kata Khrisna.

Sebagai anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Indonesia wajib mengikuti peraturan yang ditetapkan WTO dalam perdagangan bebas. Dalam perdagangan bebas sendiri terdapat kebijakan yang diterapkan yaitu kebijakan hambatan tarif (Hambatan Tarif) negara yang sama untuk semua negara (Palingnegara penerima manfaat) dan kebijakan hambatan non-tarif (Hambatan non-tarif).

“Kebijakan tarif penghalangImplementasinya menyoroti bea masuk dan pajak. Sesuai AFTA, akibat perdagangan bebas, barang impor bebas masuk dan hanya dikenakan bea masuk dan pajak sebagai penerimaan negara, ujarnya.

Sementara itu, penerapan kebijakan hambatan non-tarif menekankan pada pengaturan pembatasan dan pelarangan impor yang tidak sejalan dengan AFTA. Hambatan non-tarif tersebut dapat berupa standardisasi, pembatasan kuota, dan peraturan khusus. “Dalam kebijakan tersebut terdapat celah yang dapat dimanfaatkan oleh oknum-oknum di instansi pemerintah yang mempunyai kewenangan mengeluarkan izin awal untuk melakukan tindak pidana,” ujarnya.

Hambatan non tarif terhadap impor komoditas di beberapa negara tetangga seperti Malaysia sebesar 17%, Australia 17%, dan Singapura 11%.

Sedangkan hambatan non-tarif terhadap impor komoditas di Indonesia sangat tinggi yaitu 51%, namun persentasenya semakin hari semakin meningkat sehingga secara tidak langsung bertentangan dengan AFTA.

“Masalahnya banyak importir yang mengimpor barang atas dasar perdagangan bebas yang menggunakan kebijakan ini hambatan tarif. Namun, ketika Anda masuk, Anda dihadapkan pada kebijakan hambatan non-tarif “Jadi mau tidak mau, mereka mengurus izin dengan birokrasi yang berbelit-belit dan secepat mungkin,” jelasnya.

Ada kebijakan penghalang hambatan non-tarif Hal ini memaksa para pengusaha mencari sirkuit internal agar barangnya bisa cepat keluar dari pelabuhan Tanjung Priok. Jika tidak, pengusaha akan dikenakan denda (demurasi), penyitaan barang, pembekuan izin impor, bahkan ekspor kembali yang memerlukan biaya lebih besar dan merugikan importir.

“Kalau pengusaha tahu izin-izin itu bisa diproses dengan cepat dan bisa menggunakan refund, maka tidak jadi masalah. Namun bagi pengusaha yang tidak mengetahui kebijakan ini mau tidak mau akan terkena sanksi tersebut waktu tinggal“Butuh waktu lama untuk melampaui batas waktu normal yang dihitung,” ujarnya.

Permasalahan ini tidak hanya berdampak pada banyaknya kontainer yang menumpuk di Pelabuhan Tanjung Priok. Apalagi berdampak pada kestabilan harga barang di pasaran. “Karena tinggi badannya biaya “Barang-barang tersebut impor, sehingga ketika barang tersebut masuk ke pasaran, harganya menjadi mahal dan tentu saja menambah beban masyarakat,” ujarnya.

Terkena suap

Pertanyaan waktu tinggal Hal ini akhirnya membuat Presiden Joko “Jokowi” Widodo berang ketika saat meninjau Pelabuhan Tanjung Priok pada 17 Juni lalu, ia menemukan banyak kontainer yang menumpuk di pelabuhan. Jokowi bahkan memberi isyarat akan ada yang dicopot karena permasalahan di Pelabuhan Tanjung Priok.

Jokowi kemudian memerintahkan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mengusut permasalahan di Pelabuhan Tanjung Priok, termasuk ada tidaknya tindak pidana. Instruksi Jokowi tersebut langsung ditindaklanjuti oleh Kapolda Metro Jaya Irjen M. Tito Karnavian.

Tito pun memerintahkan Kapolres Pelabuhan Tanjung Priok, Kombes Hengki Haryadi, turun ke lapangan dan mencari akar permasalahannya. Untuk mempercepat proses penyidikan ini, Tito juga membentuk Satgas Khusus di bawah pengawasan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Khrisna Murti dan Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombes Mujiyono.

Proses penyidikan yang dilakukan Satgas Khusus ini cukup singkat. Hanya dalam waktu 3 minggu, Satgas mengetahui bahwa kericuhan tersebut disebabkan oleh oknum yang melakukan tindak pidana di dalamnya waktu tinggal kontainer di pelabuhan Tanjung Priok.

“Kami melihat ada indikasi tindak pidana di sana, mulai dari gratifikasi, suap, suap, dan kemungkinan pemerasan kepada pengusaha. “Kita petakan, hampir sebulan kita selidiki dan kita simpulkan ada tindak pidana suap dan gratifikasi karena izin tersebut,” kata Tito, 29 Juli lalu.

Dalam kasus ini, Satgas menetapkan tersangka yakni mantan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Partogi Pangaribuan dan anak buahnya, Kasubdit Barang Modal, Direktorat Impor Ditjen Perdagangan Luar Negeri. , Imam Aryaanta, dan Musyafa selaku tenaga honorer dan ME importir pemberi suap.

(BACA: Tersangka kasus suap ‘residence time’, Dirjen Kementerian Perdagangan Partogi, menjalani masa pensiun di tahanan)

Dalam penggeledahan yang dilakukan Selasa, 28 Juli lalu, Satgas menyita barang bukti uang senilai USD 40.000 yang ditemukan di meja R – salah satu staf Partogi. 10.000 USD dari tangan N, broker serta sejumlah dokumen impor. Polisi juga menyita rekening atas nama Musyafa yang berisi saldo sekitar Rp6 miliar.

Penggeledahan rumah Partogi di Perumahan Mas Naga, Jl Gununggede II No 59 RT 09/12, Bintara Jaya, Kota Bekasi, menyita sertifikat 4 rumahnya, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) mobil Honda CRV milik Partogi, dan 5 akun milik Partogi dan keluarganya. .

Masalah yang sistematis

Permasalahan yang dihadapi di Pelabuhan Tanjung Priok bersifat sistematis. Dari 18 kementerian/lembaga pemberi izin yang seharusnya memiliki perwakilan di pelabuhan, ternyata tidak berfungsi.

“Sistem satu atap di sana sepertinya tidak berfungsi. “Harusnya ada perwakilan masing-masing 18 instansi ini sehingga tanpa dipungut biaya hanya sehari selesainya, kenyataannya tidak demikian,” kata Tito.

Tidak ada perwakilan 18 kementerian/lembaga di Pelabuhan Tanjung Priok sehingga importir harus bolak-balik mengurus perizinan dan memakan waktu lama. Hal ini juga membuka peluang terjadinya suap karena birokrasi pengurusan izin yang panjang dan berbelit-belit.

Kapolda mengatakan, dari 18 kementerian/lembaga yang menerbitkan izin, permasalahan terbanyak terjadi di Kementerian Perdagangan.

“Ini lebih sering terjadi di Kementerian Perdagangan, tapi kemungkinannya akan kita lihat di 17 kementerian lainnya. “Khusus di Ditjen Perdagangan Luar Negeri, kami melihat melibatkan berbagai broker, baik dari dalam maupun dari luar,” ujarnya. —Rappler.com

agen sbobet