• September 27, 2024

Banyak yang bunuh diri di Bali

DENPASAR, Indonesia – Kepada keluarganya, I Gusti Putu Karpica, 32 tahun, pamit dan ingin melakukan perjalanan spiritual (tirta yatra) di sekitar Bali. Tirta Yatra Umat ​​Hindu Bali biasanya melakukan hal ini dengan mengunjungi berbagai pura.

Selain Bali, tirta yatra sering juga dilakukan ke India, khususnya di Sungai Gangga yang suci dan disakralkan bagi umat Hindu.

Namun jenazah Putu Karpica ditemukan tewas terbakar pada Jumat pekan lalu. Dia tidak sendirian. Di kamar 221 Hotel Tower, Klungkung, pengusaha bengkel mobil dan cuci mobil membakar istri dan 3 anaknya.

Klungkung berjarak sekitar 60 km dari Denpasar, ibu kota provinsi Bali di sebelah timur.

Berdasarkan otopsi di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, 5 orang tersebut meninggal dunia akibat gas monoksida hasil kebakaran. Petugas koroner rumah sakit terbesar di Bali juga menemukan bau minyak tanah pada cairan di perut mereka.

Menurut Kepala Bagian Forensik RSUP Sanglah Dudut Rustyadi, cairan tersebut biasa digunakan sebagai pelarut bisa serangga. Akibatnya, dokter menduga keluarga tersebut meminum racun serangga sebelum dibakar.

Hasil penyelidikan polisi juga mengungkap fakta serupa. Tidak ada bekas luka di tubuh mereka. Oleh karena itu, diduga kuat mereka, atau setidaknya salah satu di antara mereka, melakukan bunuh diri.

Saat polisi masih menelusuri motif bunuh diri keluarga Karpica, kejadian bunuh diri kembali terjadi di kabupaten tetangga, Karangasem. Kali ini dilakukan pegawai Lembaga Perkreditan Desa (LPD) I Made Suarya, 31 tahun.

Caranya kali ini adalah dengan gantung diri di kawasan dekat Candi Dasa, magnet wisata Karangasem. Sebelum bunuh diri, Suarya mengirimkan pesan singkat kepada istrinya untuk meminta maaf dan pamit.

Hampir setiap hari

Beginilah kasus bunuh diri di Bali terjadi berulang kali. Hampir setiap hari terjadi kejadian bunuh diri di Bali.

Hingga minggu ke-3 Januari saja, menurut data lembaga pengelola kesehatan jiwa Suryani Institute, terdapat 15 kasus bunuh diri di Bali, termasuk kasus keluarga Karpica di Klungkung dan Suarya di Karangasem.

Artinya setiap minggunya ada 5 kasus. “Jika kita kalikan 52 minggu dalam satu tahun, maka jumlah kasus pada tahun ini akan lebih dari 200. Ini memecahkan jumlah kasus tertinggi pada tahun 2004 sebanyak 180 kasus,” kata Cokorda Bagus Jaya Lesmana, dokter spesialis jiwa yang juga seorang peneliti di Suryani Institute, di Rappler Indonesia, Senin 26 Januari 2015.

Menurut data, kasus bunuh diri di Bali cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Berdasarkan data Polda Bali yang ditulis Tribun News, sepanjang tahun 2014 terdapat 120 kasus bunuh diri. Artinya hampir setiap tiga hari terjadi kasus bunuh diri. Jumlah kasus pada tahun 2014 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, 2013 sebanyak 95 kasus.

Dibandingkan sepuluh tahun lalu, 2004 dan 2005, jumlah kasus bunuh diri juga kurang lebih sama, yaitu meningkat dari 124 kasus menjadi 137 kasus. Dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah kasus terbanyak terjadi pada tahun 2008 yaitu 150 kasus. Setahun kemudian ada 147 kasus.

Angka-angka di atas tentu saja hanyalah angka di atas kertas. Angka sebenarnya mungkin lebih tinggi karena tidak semua kasus bunuh diri dilaporkan ke polisi. Ada kecenderungan keluarga korban malu untuk melaporkan atau merasa tidak perlu.

Sama halnya dengan kasus HIV dan AIDS, bunuh diri juga merupakan fenomena gunung es, kasus yang terlihat hanyalah puncak dari kasus yang sebenarnya.

Pelaku bunuh diri ini berasal dari berbagai latar belakang. Sembarangan. Pada awal Januari lalu, pelaku bunuh diri adalah anggota DPRD Denpasar, I Wayan Darsa, 48 tahun. Pada periode 2009-2014, Darsa sebenarnya menjadi Ketua DPRD Kota Denpasar dari Fraksi PDI Perjuangan.

Tak ada yang tahu motif Darsa bunuh diri. Dia ditemukan tewas pada 10 Januari dengan mayat tergantung di rumahnya. Darsa masih mengenakan pakaian adat lengkap seperti hendak salat. Sesaji bunga masih menempel di telinganya.

“Bunuh diri tidak memandang tingkat pendidikan, status ekonomi, atau status sosial,” kata dokter Cok Bagus.

Keadaan darurat

Meningkatnya kasus bunuh diri di Bali terasa ironis jika melihat pulau ini sebagai pusat pariwisata. Bulan Januari ini misalnya, majalah Budget Travel memasukkan Bali sebagai salah satu destinasi wisata terbaik dunia bersama Italia Utara, Great Barrier Reef di Australia, dan Istanbul di Turki.

Berbagai penghargaan pun mengukuhkan status Bali sebagai magnet wisata terbaik di dunia. Namun tidak bagi warganya.

Pariwisata yang mendongkrak perekonomian Bali sejak tahun 1960-an perlahan mengubah karakter penduduknya. Melalui pariwisata, waktu diubah menjadi nilai moneter belaka. Masyarakat Bali semakin individualistis. Jika dulu masyarakat Bali lebih santai dalam budaya pertanian, kini mereka saling bersaing.

Pariwisata yang mendongkrak perekonomian Bali sejak tahun 1960-an perlahan mengubah karakter penduduknya. Menurut Cok Bagus, waktu luang bagi masyarakat Bali pada awalnya merupakan waktu untuk menjalin hubungan baik. Satu sama lain rekan dekan atau berbagi lelucon dan tertawa satu sama lain.

Melalui pariwisata, waktu diubah menjadi nilai moneter belaka. Masyarakat Bali semakin individualistis. Jika dulu masyarakat Bali lebih santai dalam budaya pertanian, kini mereka saling bersaing. Suka atau tidak suka, hal ini memberi tekanan pada peningkatan kasus bunuh diri.

Tahun lalu, secara nasional, Bali masuk dalam lima wilayah dengan kasus bunuh diri terbanyak di Indonesia setelah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jakarta.

Maraknya kasus bunuh diri di Bali menunjukkan adanya situasi darurat, tambah Cok Bagus.

Namun tekanan ekonomi sendiri hanyalah salah satu penyebab meningkatnya angka bunuh diri di Bali. Dokter spesialis kejiwaan RS Wangaya Denpasar, I Gusti Rai Putra Wiguna mengatakan, penyebab bunuh diri masyarakat Bali terdiri dari banyak faktor.

Menurut Gusti Rai, kebudayaan Bali memang telah berubah dari ikatan keluarga besar dan banjar menjadi keluarga kecil dan individualistis. Jika dulu mereka umumnya tinggal dalam satu rumah besar dengan beberapa kepala keluarga, kini mereka hanya tinggal di keluarga inti dan tidak terlalu terikat dengan banjar.

Memudarnya ikatan kekeluargaan menyebabkan meningkatnya angka bunuh diri di Bali. Namun, kita juga perlu melihat pengalaman kekerasan pada masa kanak-kanak, riwayat penggunaan alkohol atau narkoba.

Penyebab bunuh diri lainnya adalah penyakit kronis, masalah ekonomi, penyakit jiwa, dan kurangnya komunikasi dengan keluarga.

“Selama ini yang terlihat di permukaan hanyalah kreator sepele. “Misalnya remaja bunuh diri hanya karena tidak membeli ponsel baru atau karena diejek temannya,” kata Gusti Rai kepada Rappler Indonesia.

Terbesar di dunia

Mengikuti jejak sejarah, bunuh diri di Bali sebenarnya bukan hal baru. Puputan Badung, perang besar-besaran melawan penjajah kolonial Belanda pada tahun 1906, merupakan salah satu kasus bunuh diri massal yang pernah terjadi di Bali.

Saat itu pasukan Kerajaan Badung saling tikam agar tidak ditangkap oleh Belanda yang ingin menguasai istana di Denpasar.

Berbagai sumber mengatakan bahwa kejadian tersebut merupakan salah satu kasus bunuh diri massal terbesar di dunia.

Namun menurut Gus Rai, puputan termasuk bunuh diri altruistik, demi kemaslahatan rakyat. Itu juga ada secara budaya di daerah lain.

Selain puputan, ada juga ritual mesati pada masa kerajaan Bali. Ritual ini dilakukan oleh istri raja yang menceburkan diri ke dalam api saat suaminya dibakar berdasarkan tradisi Hindu Bali (ngaben).

“Tetapi (pesan) dilakukan demi kesetiaan. “Seiring berjalannya waktu dan kemajuan ilmu pengetahuan, tentu hal tersebut tidak bisa lagi dilakukan,” kata Cok Bagus.

Menurut ajaran Hindu Bali, bunuh diri termasuk dalam kategori ini jangan mati atau mati dengan cara yang salah. Dia melakukan dosa besar karena memaksakan diri untuk mengambil nyawanya.

Sekali lagi, mereka yang melakukannya jangan mati atau purusaghna ia menerima hukuman adat. Misalnya tidak bisa dibawa pulang, tidak bisa dirayakan dan dikuburkan seperti binatang.

Sejak tahun 1988, aturan adat tersebut dihapuskan karena dianggap tidak manusiawi. Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) menetapkan pelaku bunuh diri tetap dikuburkan seolah-olah meninggal secara wajar.

Pembakaran jenazah saat kremasi di Bali.  Foto oleh Anton Muhajir/Rappler

Pencegahan

Menurut Cok Bagus, penegakan kembali hukum adat terhadap pelaku perbuatan pati dinilai mampu menekan maraknya kasus bunuh diri di Bali. Upaya ini diimbangi dengan pendekatan tradisional kepada setiap warga.

Penerapan kembali hukum adat harus dilakukan melalui kerja sama dengan pemerintah, pelayanan kesehatan, dan keluarga. Pemerintah harus mengambil sikap tegas dengan menyatakan situasi bunuh diri di Bali adalah darurat.

Jika dibiarkan, warga pada akhirnya akan menganggap bunuh diri sebagai hal biasa.

Dinas Kesehatan hendaknya melakukan upaya preventif dengan melakukan kampanye dan sosialisasi dampak buruk bunuh diri. Selama ini, kata Cok Bagus, dinas kesehatan hanya menerima laporan jika ada kasus bunuh diri yang gagal. Mereka tidak mencegahnya dengan turun ke lapangan.

Terakhir, tentu saja keluarga adalah benteng terakhir. Pada beberapa kasus bunuh diri yang gagal, biasanya karena adanya intervensi keluarga melalui hal-hal sederhana. Misalnya, ada keluarga yang mengetuk pintu saat calon pelaku sedang bersiap-siap di kamar mandi atau menelepon saat pelaku hendak gantung diri.

“Perhatian keluarga sekecil apapun terhadap calon pelaku akan menggugurkan niatnya,” kata Cok Bagus. –Rappler.com

Anton Muhajir adalah seorang jurnalis, blogger, editor dan (terkadang) provokator yang tinggal di Bali. Dia menulis blog di anton.nawalapatra.com dan tweet di @antonemus.


Togel Sydney