Mereka yang terjebak di Paradise Island
- keren989
- 0
Denpasar, Indonesia – Ruang Seminar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (FK Unud) yang dingin dan harum, Denpasar, Senin, 18 Mei lalu terasa sepi. Pagi itu, sekitar 280 siswa menonton bersama film dokumenter tentang penderita gangguan jiwa yang diisolasi.
Sebuah film dokumenter diputar di layar Terdampar di Pulau Surga merekam dan bercerita tentang orang-orang yang terbelenggu di Bali. Misalnya saja ada adegan seorang wanita dengan ekspresi seperti sedang menangis. Giginya tidak beraturan, kuning dan kotor. Dia dikurung di ruangan sempit dan pengap.
Dalam adegan lain, seorang pria berusia 40-an kakinya diikat dengan rantai. Menatap mata. Kosong. Lalu dia tertawa sendiri.
Gambar-gambar tersebut merupakan bagian dari film dokumenter yang dibuat oleh Rudi Waisnawa, seorang fotografer dan videografer di Denpasar. Rudi kini bekerja di Suryani Institute for Mental Health (SIMH), sebuah yayasan yang mendampingi Orang Dengan Masalah Kesehatan Jiwa (OMDK) di Bali.
Sejak setahun lalu hingga saat ini, Rudi dan kawan-kawan dari SIMH mendatangi ODMK yang diborgol. Para OMDK dikurung oleh keluarganya sendiri.
“Film ini untuk memberikan inspirasi kepada pemerintah, masyarakat dan keluarga bahwa penderita gangguan jiwa adalah bagian dari kita. “Mereka harus mendapat pelayanan dan perlakuan yang sama dengan masyarakat,” kata Rudi.
Menurut Rudi, Bali yang dijuluki Paradise Island juga punya persoalan yang sepertinya sengaja tidak dipublikasikan. Untuk itu, Rudi dan SIMH terus mengkampanyekan perlunya perlakuan yang lebih manusiawi terhadap penderita gangguan jiwa.
Pada bulan Agustus 2014, SIMH juga menyelenggarakannya pameran foto serupa di Bali. Judul pameran Lenstrane: Baca fenomena orang yang diborgol. Tiga belas fotografer dari tujuh negara memamerkan 70 karya tentang penderita gangguan jiwa di Bali.
Dalam pameran di Bentara Budaya Bali, fotografer memperlihatkan masyarakat diborgol oleh keluarganya sendiri karena dianggap berbahaya. Sebagian besar fotonya berwarna hitam putih, menambah kesan suram dan emosional orang-orang yang dipasung akibat gangguan jiwa.
Pameran foto dan video dokumenter baru tahun lalu nampaknya mengungkap fakta yang selama ini belum banyak dibicarakan, yakni banyaknya penderita gangguan jiwa di Pulau Dewata.
Ironi
Dari hasil survei SIMH tahun 2008 di Karangasem, Buleleng dan Denpasar Timur, diperkirakan 7.000 orang di Bali mengalami gangguan jiwa berat. Bahasa lainnya adalah skizofrenia, gila, atau tuli dalam bahasa Bali.
“Tidak pernah terpikir oleh saya bahwa Pulau Bali, yang dijuluki Pulau Dewata, memiliki begitu banyak gangguan jiwa yang serius,” kata Luh Ketut Suryani, Direktur SIMH.
Setelah membantu di empat kecamatan di Karangasem selama satu tahun pada tahun 2009, jumlah keluarga ODMK yang datang ke SIMH untuk meminta bantuan meningkat dari 339 orang menjadi 684 orang.
Menurut perkiraan SIMH, jumlah masyarakat Bali yang mengalami gangguan jiwa berat meningkat menjadi lebih dari 9.000 orang pada tahun 2010. Sekitar 0,23 persen penduduk Bali. Sekitar 350 orang terjebak. Tersebar hampir di seluruh kabupaten di Bali seperti Jembrana, Denpasar, Gianyar, Klungkung dan Karangasem.
Persentase penderita gangguan jiwa di Bali sebenarnya lebih kecil dibandingkan data nasional Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan tahun 2013. Berdasarkan penelitian tersebut, satu juta penduduk Indonesia atau sekitar 0,46 persen mengalami gangguan jiwa berat. Totalnya 18 ribu beberapa dari mereka berada dalam keadaan terbelenggu.
Namun ironisnya, banyaknya penderita gangguan jiwa berat di Bali. Lebih dari 3,5 juta wisatawan asing berlibur ke pulau ini setiap tahunnya. Jumlah wisatawan domestik meningkat hampir dua kali lipat, yaitu sekitar 6,4 juta. Wisatawan ini datang berlibur untuk menjadi bagian dari bisnis pariwisata di Bali.
Bagi banyak orang, Bali masih menjadi ikon sebagai pulau tempat mereka mencari hiburan dan liburan. Untuk kesenangan.
Namun ketika pulau tersebut menjadi pilihan utama sebagai destinasi wisata, sebagian warga Bali justru tinggal serumah. Mereka diikat dengan rantai. Terkunci di ruangan kecil dan pengap. Dibelenggu agar tidak keluar rumah dan dianggap aib keluarga.
Penderita gangguan jiwa berat yang diborgol tidak pernah mendapat perhatian pemerintah melalui Dinas Kesehatan. Tidak banyak orang disekitarnya yang mengetahuinya.
Saat ditanya pihak keluarga mengenai pengobatan, menurut Suryani, sebagian besar mengaku menyerah karena pasien tak kunjung sembuh. Mereka juga mencoba memberikan pengobatan kepada hampir semua orang Bali di Bali. “Sempat dibawa ke RS Jiwa Bangli untuk mendapat perawatan, namun tidak kunjung sembuh,” kata Suryani yang juga seorang psikiater.
Jadi, mengunci ODMK dipandang sebagai jalan keluar. Meski sebenarnya tidak.
Bisa disembuhkan
Menurut Rudi, orang yang diborgol bukanlah manusia karena tidak mendapatkan haknya. Bukannya sembuh, gangguan mental mereka malah semakin parah.
Rudi menambahkan, gangguan jiwa merupakan penyakit yang bisa disembuhkan. “Tidak perlu menyembunyikannya dengan mengurung atau memborgol penderitanya,” kata Rudi.
Pendapat Rudi tersebut sejalan dengan hasil pendampingan SIMH selama ini. Sebanyak 326 penderita gangguan jiwa mendapatkan pengobatan pada tahun 2009. Dari jumlah tersebut, 31 persen sembuh tanpa pengobatan, 3 persen tidak mengalami perbaikan, dan 66 persen sembuh dengan perbaikan namun masih memerlukan pengobatan.
Jika banyak ODMK yang tidak bisa sembuh, itu karena pengobatan yang tidak tepat.
Menurut Suryani, gangguan jiwa kronis di Indonesia cenderung menggunakan model berbasis rumah sakit, seperti rumah sakit. Hal ini dapat berupa pengobatan rawat inap atau di daerah terpencil dengan bantuan Puskesmas yang dikombinasikan dengan Rumah Sakit Jiwa (MHH).
Padahal, lanjut Suryani, penanganan gangguan jiwa di masyarakat tidak boleh dilakukan dengan pasien rawat inap. Perawatan harus bersifat preventif dan tidak membatasi. “RSJ harus diubah menjadi pusat pengobatan yang dekat dengan masyarakat,” kata Suryani.
Pengobatan gangguan jiwa berat tidak hanya dilakukan sekali saja dengan terapi lalu masalahnya teratasi. Pengobatan harus dimulai dari promotif dan preventif, kemudian kuratif dan rehabilitatif.
“Ini sesuatu yang tidak ada di Bali atau Indonesia,” kata Suryani. —Rappler.com