Samad dan PDI-P: Anomali Cinta Menjadi Benci
- keren989
- 0
Masyarakat yang tidak mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa saja mengaitkan kegagalan Ketua KPK Abraham Samad sebagai calon wakil presiden Joko “Jokowi” Widodo pada Pilpres 2014.
Biasanya mereka akan menyebut fakta bahwa “Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mulai mengusut transaksi mencurigakan Komjen Pol Budi Gunawan sejak Juli 2014”. Dan akan berlanjut ke momen “Samad gagal menjadi calon wakil presiden, lalu sehari atau beberapa hari kemudian Budi Gunawan mulai diperiksa.”
Apa yang terlupakan dalam hiruk pikuk KPK terhadap polisi mungkin yang paling penting: Siapa yang pertama kali menunjuk Abraham Samad sebagai pimpinan lembaga antirasuah? Untungnya, saya mencermati apa yang terjadi pada pemilihan pimpinan KPK tahun 2011.
Komisi III DPR RI periode 2009-2014 lah yang memilih Samad menjadi Ketua KPK saat ini, setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan. Komposisi DPR periode sebelumnya berbeda dengan periode sekarang. Saat itu, Partai Demokrat menguasai pemerintahan dan lembaga legislatif. Partai Demokrat sangat kuat dalam kepemimpinan koalisi Sekretariat Gabungan (Setgab) dalam kondisi persoalan politik normal.
Masalahnya, dalam terpilihnya Samad ada isu besar yang didorong: Century.
Partai Demokrat terpecah menjadi kelompok tengah di sisa Setgab. 3 Fraksi Setgab memilih menentang Demokrat, yakni Golkar, PPP, dan PKS yang memilih bergabung dengan 3 fraksi oposisi; PDI-Perjuangan, Gerindra dan Hanura.
Dari 56 anggota Komisi III, 43 di antaranya memilih Samad. Jika Setgab kotor, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini tidak mungkin dijabat oleh Samad.
3 tahun satu bulan setelah terpilihnya Ketua KPK yang jatuh pada 2 Desember 2011, konstelasi politik berubah menjadi “Samad Cinta”.
Ia tak menduduki peringkat teratas hasil seleksi panitia seleksi KPK. Sisa suara sebanyak 13 suara dibagikan kepada nama 4 calon Ketua KPK lainnya yang saat ini menjabat sebagai Komisioner KPK: Bambang Widjojanto, Busyro Muqoddas, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnain. Masa jabatan Busyro telah berakhir pada 14 Desember 2014, dan DPR belum menetapkan penggantinya.
Sosok ‘Religius’
Apakah keengganan PDI-P terhadap KPK saat ini hanya karena kegagalan Samad dalam pencalonan presiden? Ataukah karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggagalkan langkah Budi Gunawan sebagai Kapolri? Atau karena beberapa kader partai dijerat KPK dalam 3 tahun terakhir?
(BACA: PDI-P: Abraham Samad bermain api)
Jika mengingat 3 tahun lalu, momen PDI Perjuangan yang berkonflik dengan Setgab memutuskan bersatu dalam pemilihan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan suatu hal yang bersejarah.
PDI-P telah lama dikenal sebagai partai yang kuat mengusung isu sekularisme. Jadi sebenarnya PDI-P sulit menerima profil yang sangat religius seperti Samad. Saya masih ingat, salah satu alasan utama PKS memilih Samad adalah karena sosok Samad “jauh lebih religius dibandingkan calon Ketua KPK lainnya”.
Bagaimana PKS dan PDI-P bisa menyepakati satu profil figur? Sejujurnya, pada malam tanggal 2 Desember 2011, saya cukup terkejut ketika PDI-P bisa menyetujui pendirian Samad, padahal sebelumnya sudah ada lobi terhadap Samad selama berbulan-bulan.
Apa yang terjadi Kamis (22/1) lalu, saat Plt Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menuding Samad melanggar kode etik, sebenarnya ada maksud lain. absurd lagi.
Kita asumsikan Samad memang (calon) calon wakil presiden PDI-P dari nama-nama yang dikumpulkan sebelum akhirnya dipersempit dan memilih Jusuf Kalla. Bagaimana mungkin, Samad, yang dulunya adalah seorang “Sayang“Kalau PDI-P 6-7 bulan ke depan jadi musuh besar partai berlogo banteng?
Apakah hanya karena sosok Budi Gunawan Samad mengaku menyadap teleponnya? Jika iya, hebatnya “faktor Budi Gunawan” mampu mengubah PDI Perjuangan dari cinta menjadi benci Samad.
‘Salah Samad, salah KPK’
Boleh jadi, fraksi parpol lain di DPR kini tersenyum-senyum melihat tindakan PDI-P. Belakangan, popularitasnya turun dengan sendirinya.
Mari kita lihat lebih jelas. Jika proses pencalonan presiden dan wakil presiden dimulai setelah pemilu legislatif pada April 2014, berarti ada waktu kurang lebih 2,5 tahun bagi PDI Perjuangan untuk menilai kiprah Samad di KPK sebagai salah satu calon wakil presiden.
Pada periode itu ada sejumlah nama elite PDI-P yang dijerat KPK. Meski KPK berhasil menangkap banyak anggota PDI-P, namun PDI-P yang mencalonkan Samad sangat obyektif menilai kinerja KPK dan Samad. Partai Moncong Putih tak menunjukkan rasa dendam meski kadernya ditangkap.
Namun, mengapa dalam semalam, ketika Samad mendapat informasi tak dicalonkan sebagai calon wakil presiden Jokowi, PDI Perjuangan tak lagi obyektif melihat kinerja Samad dan KPK? Benarkah perubahan drastis tersebut disebabkan oleh seseorang bernama Budi Gunawan? Jika benar, itu bagus.
Banyaknya kader PDI-P yang didakwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak menyurutkan “kecintaan” PDI-P terhadap Samad. Namun hanya dengan satu nama, “cinta” kini berubah menjadi “benci”.
Anggota Komisi III PDI-P periode 2009-2014 yang masih bertahan di Komisi III periode ini hanya 1 orang, yakni Trimedya Panjaitan.
Secara keseluruhan, hanya 7 anggota Komisi III lintas fraksi periode sebelumnya yang terpilih kembali untuk ditempatkan di Komisi III periode 2014-2019. Dan sejujurnya, dari ketujuh orang tersebut, tidak semuanya pro Budi Gunawan uji kelayakan dan kepatutan calon Kapolri awal bulan ini.
Boleh jadi, fraksi parpol lain di DPR kini tersenyum-senyum melihat tindakan PDI-P. Biarlah PDI-P bosan dengan dirinya sendiri, mungkin pikir mereka. Belakangan, popularitasnya turun dengan sendirinya.
KPK bukan sekadar Samad. Ketika PDI-P menggeneralisasi “salah samad, salah KPK”, berarti PDI-P mengubur popularitas yang telah dibangun dengan susah payah selama 10 tahun terakhir.
Pemilihan komisioner dan ketua KPK periode 2015-2019 pada Desember ini bakal sangat dilematis.
Adi Mulia Pradana adalah salah satu pendiri WikiDPR. Sehari-harinya ia memantau langsung rapat-rapat di Gedung DPR di Senayan, Jakarta. Ikuti Twitter-nya @adimuliapradana.
Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan institusi manapun.