• September 20, 2024

Apabila lahan dibakar, hal tersebut dianggap sebagai kearifan lokal

Pada awal Agustus saya pergi ke Xinjiang, Tiongkok. Provinsi yang berstatus otonomi khusus ini merupakan jantung dari program Presiden Xie Jinping untuk membangun sabuk ekonomi Jalur Sutra.

Salah satu tempat yang saya kunjungi adalah Danau Surgawi, atau Danau surgawisebuah danau yang terletak di kawasan pegunungan Tian Shan, 2,5 jam berkendara ke timur Urumqi, ibu kota Xinjiang.

Jalan tol mulus dihubungkan dengan jalan aspal berkelok-kelok menuju kawasan destinasi wisata. Udara di Xinjiang sangat panas, berkisar 40-42 derajat Celcius. Sepanjang perjalanan menuju Danau Surgawi, saya menikmati rerumputan dan tanaman hijau. Tampaknya tumbuh liar.

Tapi tebakanku salah. Rumput, ilalang, dan perdu sengaja ditanam dan disiram. Sesampainya di puncak bukit kawasan wisata dipasang alat penyiram air otomatis untuk menyiram rumput. Sangat rajin! Itulah yang terlintas dalam pikiran. Danau ini berada di kawasan hutan konservasi geologi.

Rahim, pemandu wisata kami, mengatakan bahwa pemerintah Tiongkok sedang giat melakukan penghijauan lahan terbuka dari pusat hingga daerah. Kami? Ya, saya dan beberapa teman jurnalis dari Indonesia dan Malaysia diajak mengunjungi Xinjiang.

Saat berada di Beijing, saya melihat sejumlah orang melakukan protes terhadap polusi udara di depan Kementerian Lingkungan Hidup Tiongkok. Adegan seperti ini menjadi semakin rutin dan diabaikan. Baru tahu kalau protes diperbolehkan di Tiongkok, yang dikuasai oleh satu partai, Partai Rakyat Tiongkok.

Tiongkok dilanda kebakaran hutan parah pada tahun 2013. Media melaporkan bahwa api telah berkobar selama berhari-hari di Yunnan, sebuah provinsi di barat daya Tiongkok.

Lebih dari 2.800 orang dikerahkan untuk memadamkan api yang disebabkan oleh kekeringan dan angin kencang. Ayam merah melahap 200 hektar hutan di Kabupaten Lufeng, Daerah Otonomi Chuxiong Yi.

Peristiwa kebakaran dan unjuk rasa yang rutin dilakukan masyarakat di Negeri Tirai Bambu membuat pemerintah harus lebih memperhatikan lingkungan. Tiongkok, dengan populasi 1,3 miliar jiwa, dikritik sebagai penghasil karbon dioksida terbesar di dunia.

Saya ingat melihat isu penyiraman rumput ini ketika saya membaca berita memilukan akhir-akhir ini tentang kebakaran hutan dan lahan pertanian di Riau, Jambi, dan Sulawesi Selatan. Pemerintah telah memberlakukan keadaan darurat di Riau.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan kebakaran terjadi di sejumlah tempat sepanjang tahun ini. Di Riau, luas lahan yang terbakar hingga saat ini kurang lebih 2.025,42 hektare.

Di Kalimantan Barat, luas lahan yang terbakar mencapai 900,20 hektar. Di Kalimantan Tengah, lahan yang membara seluas 655,78 hektare. Di Jawa Tengah, lahan terbakar mencapai 247,73 hektare. Di Jawa Barat 231,85 hektar. Di Kalimantan Selatan, luas lahan yang terbakar mencapai 185,70 hektare.

Kebakaran lahan juga terjadi di Sumut seluas 146 hektare, Sumsel 101,57 hektare, dan Jambi seluas 92,50 hektare. Terdapat 944 titik panas di wilayah Sumatera, dan 222 titik panas di Pulau Kalimantan.

Mulai dari cuaca hingga penegakan hukum

Cuaca El Nino (fenomena alam yang ditandai dengan naiknya permukaan air laut) disebut-sebut menjadi penyebab meluasnya kebakaran pertanian dan hutan. Sepanjang Juli-Oktober 2015, Indonesia dilanda El Nino tingkat sedang yang mudah menyebabkan kekeringan dan kebakaran hutan.

Menteri Lingkungan Hidup di negara tersebut ASEAN bertemu pada bulan Juli 2015 untuk membahas potensi bencana asap kebakaran hutan transnasional. Sayangnya pertemuan tersebut tidak menghasilkan solusi bagaimana mencegah kebakaran hutan.

Penyebab lainnya adalah upaya perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan untuk membuka lahan secara murah dengan memerintahkan membakar lahan hutan. Karena itu? Puluhan penerbangan terkena dampaknya. Tapi ini lebih tentang bisnis.

Yang paling menyedihkan dan mengkhawatirkan adalah dampaknya terhadap kesehatan warga di wilayah yang terkena dampak asap. Di Kalimantan misalnya, 100 ribu orang menderita penyakit pernafasan akibat merokok.

Penegakan hukum juga selalu menjadi sorotan.

“Banyak aparat penegak hukum hanya mengandalkan bukti fisik. “Kesulitan yang kami hadapi adalah ketika menjawab pertanyaan para pembela perusahaan yang ingin melakukan pembakaran, mengenai dampak kerusakan lingkungan dan kualitas tanah,” kata senior saya di Institut Pertanian Bogor.

Ia memiliki pengalaman mengikuti proses membawa pelaku pembakaran hutan ke pengadilan. Persoalannya, Indonesia belum memiliki pengadilan khusus untuk menangani kasus kejahatan lingkungan hidup.

Ambil contoh ketika Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) merumuskan dan menghitung denda yang tinggi untuk kebakaran hutan. Salah satu alasannya adalah dampak kerusakan bunga tanah (lapisan atas tanah) akibat kebakaran.

“Pengadilan akan bertanya, bagaimana cara membuktikan lapisan tanah masih bagus, subur, atau rusak sebelum kebakaran terjadi?”

Hal inilah yang membuat banyak tuntutan pidana hanya berakhir dengan hukuman penjara bulanan dan denda kecil kurang dari Rp 10 miliar. Yang terkena dampak bukanlah pemilik perusahaan.

Jadi, ketika Mahkamah Agung pada bulan lalu memutuskan menolak banding atas kasus yang melibatkan PT Kalista Alam dan menjatuhkan hukuman denda Rp366 miliar untuk biaya restorasi 1.000 lahan gambut yang dibakar sendiri oleh perusahaan tersebut, banyak pihak yang menyambut baik. Putusan MA ini bisa menjadi kasus hukum untuk menjerat pelaku karhutla.

Kemarin, Badan Reserse Kriminal Mabes Polri mengumumkan tiga perusahaan sebagai tersangka kebakaran hutan di wilayah Sumatera. Salah satunya adalah anak perusahaan Sinar Mas Group yang dikenal sebagai konglomerat papan atas Indonesia dan memiliki skala bisnis besar di sektor perkebunan kelapa sawit.

Selasa pagi, 15 September, saya menghubungi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, soal kapan pemerintah akan mengumumkan pelaku kebakaran hutan?

Menteri menanggapinya dengan mengatakan akan mengumumkan dua hingga tiga perusahaan yang akan terkena sanksi dan akan diumumkan pada minggu ini. Pihaknya mengumpulkan dokumen lapangan untuk membawa pelaku ke pengadilan.

Sebanyak 13 perusahaan diduga melanggar hukum pidana terkait kebakaran hutan dan kerusakan lingkungan. Dua puluh empat perusahaan sedang diselidiki untuk kasus yang sama.

Hanya beberapa jam kemudian, polisi mengidentifikasi tersangka. Ini adalah sebuah perkembangan sehingga menimbulkan harapan bahwa penegakan hukum terhadap kebakaran hutan dan perusakan lingkungan hidup akan lebih tegas di era Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Catatannya, Jokowi dan Kabinet tidak tersandera utang kepada korporasi besar, apalagi saat kampanye Pilpres, sehingga bisa bertindak tegas tanpa diskriminasi. Termasuk kalau harus melawan birokrasi maka aparat TNI dan Polri cadangan kejahatan lingkungan hidup.

Diperlukan tinjauan hukum

Jaksa Agung HM Prasetyo ketika ditanya tentang pentingnya penegakan hukum yang konsisten dan berkelanjutan dalam kasus kejahatan kehutanan, menegaskan akan mengubah cara pandang dalam penanganan kasus kebakaran hutan. Penyidikan dan penyidikan tidak cukup hanya menyasar pelaku pembakaran, tapi juga pemberi perintah pembakaran. Perusahaan yang bertanggung jawab atas kebakaran lahan juga harus dihukum berat.

Siapa pun yang menunjuknya harus ditindak tegas dan dicari, kata Prasetyo.

Ada hal yang juga patut menjadi perhatian, yakni ketidakjelasan rumusan undang-undang. UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, misalnya pada Pasal 69 mengatur tentang larangan yang berarti tindak pidana.

Pada ayat 1 huruf h disebutkan: “Larangan pembukaan lahan dengan cara membakar.”

Ayat 2 pasal tersebut menyatakan bahwa “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memberikan perhatian yang serius terhadap kearifan lokal di setiap daerah.

Kearifan lokal? Apa artinya???? Jawabannya saya temukan pada bagian penjelasan undang-undang di atas. Yang dimaksud dengan kearifan lokal adalah, “membakar lahan dengan luas lahan paling banyak 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman varietas lokal yang dikelilingi jalur api untuk mencegah meluasnya api ke wilayah sekitar.”

Menurut saya, susunan kalimat di atas sangat rentan dijadikan alasan untuk membakar lahan hutan. Bayangkan jika penerapan kearifan lokal dilakukan pada saat-saat yang sedang memanas seperti bulan-bulan ini?

Saya membaca sejumlah analisis bahwa pelaku kebakaran hutan sebenarnya adalah para petani yang tinggal di sekitar hutan. Mungkin ada. Tetapi bahaya moral Hal ini lebih besar ada di benak para pengusaha yang menginginkan cara yang cepat dan murah, sehingga berujung pada bencana lingkungan.

Mengharapkan pemerintah menyirami rumput liar dan rumput di perbukitan, seperti yang dilakukan di Xinjiang, mungkin terlalu berlebihan untuk saat ini. Selain itu, kondisi kekeringan membuat penyiraman menjadi sulit.

Penegakan hukum yang minim bisa menjadi cara untuk membuat jera para pelanggar. Tinjau juga peraturan hukum yang membuka peluang terjadinya moral hazard bagi pemilik modal.

Saya harap ini yang ditanggapi serius oleh pemerintahan Jokowi. Saat ini saya terdengar sangat optimis, bukan? — Rappler.com

BACA JUGA:

Uni Lubis adalah jurnalis senior dan Eisenhower Fellow. Dapat dihubungi di @UniLubis.

Togel Singapura