• November 22, 2024

Ancaman UU ITE terhadap kebebasan berekspresi

Penyair Saut Situmorang dijemput paksa Polres Jakarta Timur dari kediamannya di Yogyakarta setelah dua kali tidak hadir sebagai saksi.

Hal itu disampaikan penyair lainnya, Fatin Hamama, karena Saut dituduh menghina Fatin dengan kata-kata bajingan. Pos di dinding grup Facebook ‘Anti Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh’. Saut digugat berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 27 ayat 3.

(BACA: Polisi menangkap Saut Situmorang karena mengkritiknya di Facebook)

Namun Saut bukanlah orang pertama yang menghadapi kasus pencemaran nama baik di Internet. Sebelumnya, Florence Sihombing ditahan karena dianggap menghina masyarakat Yogyakarta. Florence dibebaskan dan penahanannya ditangguhkan.

Mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada ini dijerat UU ITE karena dianggap menebar penghinaan terhadap masyarakat Yogyakarta.

(BACA: Florence menghina Yogyakarta hingga 6 bulan penjara)

Menghitung korban UU ITE

Kasus ini mengingatkan kita sekali lagi akan ancaman undang-undang ini. Florence dan Saut bukanlah korban pertama dan terakhir yang diburu ITE karena mengutarakan pendapatnya di media sosial.

Mirza Alfath, dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh, sedang dipertimbangkan Menyinggung hukum Islam atas komentarnya di Facebook. Dalam status Facebooknya pada 3 Juli 2012, Mirza menulis bahwa hukum syariat Islam memiliki banyak kelemahan dan kekurangan.

Ia mengkritisi penerapan hukum syariah di Aceh yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Menurutnya, hukum syariah sudah tidak layak lagi dipertahankan oleh masyarakat modern dan masyarakat maju.

Karena status dan kritik tersebut, Mirza ditahan polisi. Bahkan rumah Mirza pun menjadi sasaran amukan massa. Kasus ini menjadi kontroversi luas akibat surat pembaca di Harian Serambi Indonesia yang berjudul Akun Facebook ‘Mirza Alfath’ menghina Islam.

UU ITE berpotensi jadi alat sensor terhadap kelompok minoritas?

Banyak pihak yang menganggap pasal 27 ayat 3 UU ITE mengatur pencemaran nama baik atau pencemaran nama baik on line dapat ditargetkan pada suatu kelompok masyarakat, etnis atau agama.

Di negeri ini, kritik seringkali dianggap sebagai bentuk kebencian, upaya mempertanyakannya dianggap sebagai bentuk protes, dan setiap protes seringkali dibalas dengan upaya untuk membungkamnya. UU ITE berpotensi menjadi instrumen sensor, dan sensor hanya akan melanggengkan ketidaktahuan.

UU ITE tidak lebih baik dari semu kaum liberal yang mengaku memuja pluralisme tetapi menganut keyakinan menindas yang tidak mereka sukai.

UU ITE dimanfaatkan banyak pihak untuk membungkam kritik terhadap kebijakan publik. Dalam kasus Mirza, ia menyampaikan pendapat mengenai kebijakan publik yang dirasa kurang berjalan baik. Dalam konteks ini, UU ITE menjadi sensor yang digunakan untuk membungkam orang yang ingin menyampaikan pendapat.

Berdasarkan catatan Pemungutan suara yang aman Indonesia, jika dilihat dari sejarah terbentuknya UU ITE, Pasal 27 UU ITE dibangun berdasarkan asas dan konstruksi yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya pemahaman terhadap KUHP, sehingga UU ITE tidak perlu menjelaskan konsep atau ruang lingkup kesusilaan, perjudian, pengancaman dan pemerasan, serta penghinaan dan pencemaran nama baik.

(BACA: Fadhli, Pejabat Pemerintah Gowa Terpidana Kasus LINE)

Subjektivitas nama baik

Sebenarnya apa nama yang bagus itu? Apakah semua orang punya nama baik? Jika ya, bagaimana cara mendapatkannya? Apakah nama baik itu benar-benar ada? Ataukah itu hanya sekedar gelar yang diberikan kepada orang-orang yang berkedudukan rendah?

Begitu kuatnya label “nama baik” sehingga bisa melarang ide dan menghancurkan kebebasan orang lain. Kebanyakan pemberitaan ITE bertumpu pada logika bahwa setiap orang mempunyai kehormatan dan nama baik.

Delik penghinaan pada pasal 27 ayat 3 UU ITE bersifat subyektif. Artinya perasaan nama baik atau kehormatan seseorang diserang adalah hak sepenuhnya bagi korban. Korbanlah yang dapat menentukan bagian mana dari informasi atau dokumen elektronik yang menyerang kehormatan atau nama baiknya.

Penilaian subjektif ini harus diimbangi dengan kriteria yang lebih objektif. Jangan biarkan UU ITE membungkam pihak-pihak yang ingin mengkritisi atau mengoreksi kebijakan atau isu publik yang bermasalah.

Dalam praktiknya, UU ITE lebih sering digunakan untuk menjerat pihak-pihak yang mengkritik permasalahan sosial. Padahal, orang-orang tersebut adalah warga negara yang mengutarakan pendapat.

Haruskah situs radikal diblokir?

Kebebasan berpendapat dijamin dan diberikan oleh hukum kepada setiap warga negara. Dalam hal ini, UU ITE seringkali hanya ditangkap dan tidak dimanfaatkan fungsinya.

(BACA: Kementerian Komunikasi dan Informatika: Pemblokiran 19 Situs Radikal Tidak Permanen)

Salah satu hal yang sering ditemukan di Internet adalah website yang menyebarkan kebencian terhadap kelompok minoritas. Dalam beberapa kasus, situs web tersebut menggunakan bahasa kasar yang vulgar untuk menyerukan kekerasan.

Namun UU ITE tidak digunakan untuk menghentikan situs-situs tersebut. Yang lebih gilanya lagi, keberadaan situs ini tersebar secara bebas tanpa kontrol di media sosial kita.

Karena kritik tersebut, pemerintah kemudian melakukan sensor dan memblokir situs-situs yang dianggap mempromosikan radikalisme. Sensor dan pembungkaman kritik merupakan bentuk kelemahan pemerintah yang genit.

Alih-alih mencari solusi yang paling rasional dan manusiawi, negara malah menerapkan sensor. Sementara itu, pengkritiknya dijebloskan ke penjara dalam kasus lain.

Katanya ada situs kebencian yang protes tapi kalau diblokir kenapa protes? Apakah saya banyak bicara? Tampak. Ide adalah satu-satunya hal yang antipeluru, ide-ide itu antipeluru.

Anda tidak dapat menghentikan atau meminta seseorang untuk berhenti berpikir, namun Anda dapat meningkatkan pemahaman orang lain dengan memberikan mereka pilihan berpikir alternatif.

Menariknya, terlalu banyak orang dengan mentalitas “munafik” merayakan penyensoran terhadap situs-situs radikal. Siapa yang tidak? Website-website radikal ini menyebarkan kebencian, menyebarkan berita bohong, dan lebih dari itu, mengganggu rasa nyaman kita.

Namun hanya sedikit dari orang-orang ini yang mau memahami, mau mencari dan mau memahami mengapa kebencian ini muncul. Dari mana asalnya? Seperti biasa kita mengabaikan dan menolak untuk peduli.

Saya yakin radikalisme, apapun itu, baik agama maupun primordialisme, muncul karena kesenjangan sosial. Jika kesenjangan ini tidak diatasi, jangan berharap kesenjangan ini akan hilang. Aktivis pluralisme yang mengaku memperjuangkan kebebasan berpendapat dan berkeyakinan harus turun tangan.

Kita tidak hanya berbicara tentang kebebasan di hotel mewah dengan AC yang nyaman dan dingin. Jika hal ini terus berlanjut, radikalisme hanya akan menemukan legitimasinya sendiri.

Dimana sebenarnya posisi pemerintah?

Berdasarkan temuan yang ada, posisi pemerintah Indonesia terhadap Internet sebagai media kebebasan berekspresi dan informasi terbilang aneh.

Sebab, secara tidak langsung Indonesia menyatakan pada International Telecommunication Union/World Congress on International Telecommunication Session di Dubai, 3-14 Desember 2012 bahwa Indonesia mempunyai perspektif yang sama dengan Iran, China, Rusia, dan Arab Saudi dalam konteks tata kelola Internet.

Padahal 4 negara ini masuk dalam “Musuh internet” pada tahun 2012. Pada tahun 2013, Iran dan Tiongkok berganti nama menjadi “Musuh Internet” karena rajin memata-matai on line pengguna internet warganya sendiri.

Suara Savenet menilai pasal 27 ayat 3 UU ITE seperti pedang bermata dua. Selain berpotensi digunakan sebagai alat sensor, hal ini juga kontraproduktif terhadap perlindungan hak asasi manusia, khususnya kebebasan berekspresi.

Sebab, alih-alih melindungi masyarakat dari bahaya penyebaran kebencian, yang ada justru menghalangi masyarakat untuk melakukan kritik sosial. Mungkin V benar, dalam V untuk Vendetta.

“Tentu saja ada yang tidak ingin kita bicara. Saya menduga bahkan saat ini perintah sudah diteriakkan melalui telepon, dan orang-orang bersenjata akan segera berangkat. Mengapa? Karena meskipun kotak tombol dapat digunakan sebagai pengganti percakapan, kata-kata akan selalu memiliki kekuatannya. Kata-kata memberikan makna, dan bagi mereka yang mau mendengarkan, ucapan kebenaran. Dan kenyataannya, ada yang tidak beres dengan negara ini, bukan?”

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Penulisannya bergaya satir penuh sarkasme. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.


Togel Singapore