Apakah isu perbudakan penangkapan ikan telah membangkitkan semangat para pejabat ASEAN dan masyarakat?
- keren989
- 0
Isu-isu terkait agenda ASEAN dinilai kurang menarik sehingga kurang diberitakan. Informasi berasal dari pejabat tinggi, kepala pemerintahan, pejabat, dan pakar. Liputan investigatif dapat mengubah kebijakan.
Empat puluh anak asal Myanmar diperbudak untuk menangkap ikan di perairan Indonesia. Mereka dikurung tanpa dibayar dan dipaksa bekerja setiap hari.
Itu berita menarik. Investigasi hampir setahun dilakukan kantor berita Associated Press (AP) terhadap perbudakan yang dilakukan oleh PT Pusaka Benjina Resources, milik perusahaan Thailand. Kabar ini semakin menarik karena hasil laut hasil tangkapan anak-anak tersebut diekspor ke beberapa negara, termasuk Amerika Serikat.
Tahukah Anda ikan yang Anda makan di restoran mewah adalah hasil perbudakan manusia? Pertanyaan yang menarik.
Kisah tentang perbudakan menyebar dengan cepat, menyebar melalui puluhan media di seluruh dunia dan menjadi topik perbincangan di media sosial. Di Indonesia, dan saya yakin di negara lain juga, banyak perbincangan di media sosial dipicu oleh pemberitaan media tradisional. Penghargaan ini diperoleh melalui karya jurnalistik yang baik, yang biasanya merupakan hasil pemberitaan investigatif yang kaya akan data dan informasi serta karya-karya yang bertemakan nasib kehidupan masyarakat kelas bawah.
Berita yang perlu diketahui masyarakattidak hanya berita yang ingin diketahui masyarakat.
Liputan AP mengenai perbudakan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang beroperasi di perairan Aru, Maluku, menuai reaksi balik. Asosiasi Perikanan Thailand jelas merasa malu dan mengutuk keras praktik tersebut.
Dampak bisnisnya adalah banyak masyarakat yang berhenti membeli ikan dari perusahaan. Dampak stop buy bisa menjangkiti perusahaan perikanan milik Indonesia dan milik Thailand, karena pemberitaan AP menimbulkan pertanyaan, apakah praktik tersebut hanya dilakukan oleh PT PBR?
Pemerintah Thailand bahkan mengambil langkah lebih jauh dengan mengubah undang-undang mengenai perdagangan manusia. Pelaku akan dijatuhi hukuman mati. Laporan AP menyebutkan ada nelayan asal Thailand yang bekerja di PT PBR. Akankah negara-negara ASEAN lainnya mengikuti kebijakan ini untuk mencegah perdagangan manusia?
Penolakan juga muncul dari pemerintah Indonesia. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyayangkan praktik perbudakan masih terjadi di perairan Indonesia, mengingat pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo gencar menindak praktik penangkapan ikan ilegal di perairan pemerintah.
Pertanyaannya, apakah PT mengoperasikan PBR secara ilegal? Saya tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaan ini. Yang ada adalah penolakan dari pemerintah daerah, seperti apa adanya dapat dibaca di sini.
Tahukah Anda ikan yang Anda makan di restoran mewah adalah hasil perbudakan manusia? Adakah anak Indonesia yang harus bekerja seperti ini?
Adakah anak Indonesia yang harus bekerja seperti ini? Dulu, media di Indonesia memuat kisah sedih anak-anak yang bekerja di jermal dan mencari ikan. Bagaimana dengan warga negara Thailand? Warga negara lain di kawasan ini? Negara anggota ASEAN, anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa (PBB) di Asia Tenggara?
Permasalahan yang bergulir menjadi lebih menarik. Hari ini media memuat bantahan pengusaha Tomy Winata yang diketahui memiliki perusahaan perikanan di Maluku. Tomy membantah perusahaannya akan mengambil alih PT PBR jika pemerintah Indonesia mengambil tindakan terhadap perusahaan tersebut. Dari pemberitaan media selama ini, publik mengetahui pengusaha Tomy punya hubungan dekat dengan Menteri Susi. Sanggahan Tomy dimuat di halaman tersebut BeritaSatu.com.
Mengapa isu ASEAN tidak menarik perhatian media dan publik?
Saat saya menulis ini, saya menghadiri acara tiga hari Melaporkan ASEAN: Forum Media diadakan di Bangkok, Thailand. Acara ini diselenggarakan oleh IPS Asia-Pacific, sebuah lembaga penelitian kajian media.
Jawabannya, menurut saya, karena pemberitaan tentang ASEAN selama ini didominasi oleh narasumber elit, baik itu kepala pemerintahan di ASEAN, pejabat di Sekretariat ASEAN, maupun pakar yang bekerja di lembaga penelitian terkait isu ASEAN.
Kontennya seringkali terlalu akademis, terlalu rumit untuk dicerna oleh jurnalis, apalagi bagi konsumen media. Padahal, resep tradisional yang masih berlaku hingga saat ini, di era media digital, adalah memilih dan menyajikan isu-isu yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Pichai Chuensuksawadi, editor Bangkok Post yang berbicara pada sesi pembukaan Reporting ASEAN, juga menekankan bahwa para pemimpin ASEAN semakin menjauhi media. Liputan di acara-acara ASEAN menjadi semakin sulit karena jurnalis ditempatkan di dalamnya Pusat mediasulitnya mendapatkan pernyataan langsung dari pimpinan.
Mengapa mengirim jurnalis dengan biaya tinggi untuk meliput kegiatan yang semakin rahasia? Belum tentu ada penilaian dan keputusan yang menarik. Pencapaian konsensus telah menjadi isu penting sejak ASEAN didirikan, terutama sejak keanggotaannya bertambah menjadi 10 negara. Sistem politik, situasi ekonomi, dan budaya yang berbeda menjadi kendala.
Menghasilkan berita yang penting bagi masyarakat. Publik apa? masyarakat Indonesia? Masyarakat ASEAN yang memiliki 600 juta penduduk dan menjalankan perekonomian senilai US$2,1 triliun?
Selain Indonesia sebagai tuan rumah dan presiden memberikan pidato, isu-isu terkait ASEAN tidak pernah menjadi berita utama.
Sabtu, 28 Maret lalu, saya mengunggah cerita lewat Twitter tentang nasib buruk perusahaan gula di Indonesia, khususnya yang dijalankan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Mereka terancam gulung tikar, kalah bersaing dengan gempuran gula impor dari Thailand jika Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) diterapkan. Indonesia akan menjadi negara pengimpor gula terbesar karena teknologi pabrik gula yang ada sudah ketinggalan jaman, dan banyak lahan tebu yang tergeser oleh perkebunan kelapa sawit.
Tweet tersebut mendapat reaksi yang cukup besar. Ada kekhawatiran jika MEA 2015 berlaku dan kita tidak siap, maka Indonesia hanya akan menjadi pasar saja.
Apakah kekhawatiran ini disebabkan oleh sentimen nasionalis terhadap produk impor? Apakah pengumpulan kekhawatiran terhadap isu masuknya barang dan jasa dari negara lain saat berlakunya MEA 2015 menginspirasi perubahan kebijakan yang melindungi kepentingan Indonesia? Apakah kepentingan Indonesia (dan negara lain di ASEAN) mengganggu pencapaian target integrasi ekonomi ASEAN?
Puluhan pertanyaan lainnya bisa saya sampaikan di sini, dan ini hanyalah sebagian kecil dari isu-isu terkait ASEAN yang selama ini luput dari pemberitaan media, termasuk saya. Sebab di Indonesia, setiap hari kita dikepung oleh puluhan isu yang dianggap lebih penting, lebih menarik, sehingga menghasilkan rating televisi dan pengunjung media siber. Bagi media cetak, ukuran itu relatif, tapi sejauh yang saya tahu, kecuali Indonesia menjadi tuan rumah dan presiden berpidato, isu-isu terkait ASEAN tidak pernah menjadi berita utama.
Pemberitaan yang menginspirasi dan memicu perubahan kebijakan di negara-negara ASEAN seperti yang dilakukan oleh kantor berita AP menjadi contoh bagaimana isu perdagangan manusia di kawasan ini diangkat ke publik dan mendapat perhatian. Juga hal-hal lain yang berorientasi pada kemanusiaan. Untuk kehidupan orang-orang. Bukan persoalan yang ditentukan oleh agenda para politisi ASEAN. —Rappler.com
Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Ikuti Twitter-nya @unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com.